seolah saudara dekat yang besok tak kutemui lagi. Tapi, mengapa semua berubah hanya dalam satu kedipan mata. Seperti tak ada yang berdiam dalam waktu. Tiap kedip seakan membuat hidup yang berbeda. Tak seperti got di sisi semua jalan, manusia di kota tak pernah berhenti. Bahkan di halte. Halte ini bernyawa. Lalu mati. Bernyawa lagi. Mati lagi…
Aku memejam mata, berusaha tak peduli. Bersandar di tiang besi, mengeja yang nyata dengan alifbata terbata. Mengejan kata dengan huruf tak terbaca. Detik bersiur tanpa angka. Suara-suara berdesak tanpa makna. Aku menghirup udara sehabis hujan, memprosesnya menjadi air di tenggorokanku. Tapi kota tak membutuhkan waktu. Ia memperalat atau mungkin membunuhnya.
Tetes gerimis masih jatuh dalam rombongan-rombongan kecil, seperti tertib peziarah di petilasan, ketika seorang tua yang sudah pensiun cukup lama menyeberang dengan tangan kanan membawa bungkusan. Tiga karyawan sebuah perusahaan bercakap di sisi kiriku seperti tiga radio. Yang seorang menatap tekun LCD smartphone, lainnya mengamati seksama iklan di dinding halte, dan seorang lainnya seperti tukang obral yang rajin mengelilingkan matanya.
Beberapa klakson terdengar, kakek pensiunan sudah menyeberangi sepertiga jalan, saat sebuah motor yang masih baru cicilannya meliuk dengan gerengan mesin yang telah diubah. Satu suara memekik dari dalam sebuah angkot. Lalu suara keras mengejutkan, benturan menyakitkan benda-benda keras dan lunak. Sejenak semua suara hilang, kepala-kepala berpaling, mata terdiam, hati tercekat: motor cicilan baru itu terseruduk angkot yang sedang keras menyalip. Tubuh pengendara motor terbang seperti potongan kertas koran, bodi motor meluncur deras berderit di aspal dengan laju 30 km/jam, dan menghantam satu tubuh yang rapuh. Kakek pensiunan memejam matanya pasrah ketika pengendara motor berdebam di aspal basah yang ia warnai dengan dar*h kental dari kepalanya. Ban mobil sebuah sedan setengah milyar perak telah melindas kep*la itu, lengkap dengan helmnya.
Siang mulai rubuh, ketika waktu yang pucat terpaku dipecah teriakan, seruan, jeritan dan gerak cepat beberapa orang menuju titik-titik kejadian. Dengan refleks wajar, aku melaju ke arah tubuh tua pensiunan. Dia jatuh, lemas, tapi tanpa luka. Kubopong ia ke tepi, memberinya air putih yang dibawa dalam bungkusannya dan kembali pada seorang ibu yang dengan tubuh rapuhnya menampung luncuran bodi motor tadi.
Aku coba mengangkatnya, tapi membuat tasnya terjatuh dengan isi berserak yang memerlihatkan plastik obat dan sebuah tester penanda kehamilan. Aku memandang wajah wanita yang bertele di lengan kananku. Matanya rapat terpejam bagai kuburan.
Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yang sepi. Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung yang menjual kopi dan seduhan mi instan, 15 meter dari halte. Ia meminjam lap dan sebotol air bersih. Lima pengunjung warung menatapnya seperti adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua dengan peci sedikit kucal coba menahannya.
“Ada yang mati, mas?” tanya si peci. “Kurang tahu,” jawab pemuda itu ringkas.
“Supirnya, kabur?” sela pemuda berkaus “barcelona” diujung kursi.
“Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum jelas.”
“Barcelona” menggeleng kepala. “Hari kalau celaka bukan sa kitnya yang membuat pedih, tapi ongkos berobatnya.” Entah ke luh, kesal atau frustrasi, “barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai ampasnya.
“Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang tua yang nongkrong di pojokan, “karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yang makin ciut. Sama saja dengan ruang di warung ini, yang tambah sesek sama ocehan.”
“Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yang nyeberang seenaknya,” si peci coba mencoba menyanggah.
“Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak hebat begini.” Kali ini seorang pemuda tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi tanggapan.
“Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. Dia kurang cepet ngerem sampai pengendara motor hancur kep*lanya kelindes,” sambung yang lain.
“Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah nganggur,” seorang pemuda seakan menggeram untuk dirinya sendiri.
“Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.” Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa. Kejadian tak kalah seru juga terjadi di sebuah kafe modern penuh kaca, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dari kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat saat terdengar suara keras tubrukan, untuk menonton apa yang terjadi dari balik kaca rayban kafe itu. Seseorang yang tetap duduk namun dapat mengintip di sela-sela badan, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi dan sambil menghisap rokok mildnya.
“Di detik yang sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada diri sendiri.
“Kalau kita tidak bisa atau tidak sempat ikut menolong, setidaknya kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dengan jelas peristiwanya.” Pengunjung lain, dengan dasi yang disampirkan di pundak, melirik tajam orang di kursi.
“Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dengan tontonan di layar kaca TV? Simpati saja tampaknya tidak cukup. Karena ini bukan fiksi. Kalau mampu, kenapa tidak berbuat?” Satu anak muda dengan rambut acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni tangga, dan keluar.
“Anak itu ngapain sih? Mau jadi hero? Jangan-jangan dia yang terlalu diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.” Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30- an awal kembali ke kursi, di sisi kiri lelaki dengan mild tadi.
“Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, lalu kamu apa? Kamu kerja apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja yang tampak senior, berbalik dari kaca dan menghadap wanita yang tampaknya teman sekerja.
“Masak bekerja saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja, sekadar sebagai kebutuhan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” wanita itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
“Tak ada yang alamiah, ketika ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah artifisial. Buang air pun sekarang menjadi komoditas,” seorang anak muda yang dahinya rajin berpikir, seperti bergumam, bersender di kaca membiarkan peristiwa di jalan terus berlangsung di baliknya.
“Mungkin itu masalahnya. Hidup yang sakral sudah mati. Hidup dunia tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran kalau di Eropa 80 persen anak muda atheis atau agnostik. Kita pun segera menuju ke situ.” Mungkin yang bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari
perguruan tinggi ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dengan majalah kafe di depan matanya. Bergeming dari semua peristiwa.
“Lagakmu seperti pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun kamu harus berhitung dengan kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness woman menyambut ketus.
“Haha…kalau setiap bertindak kamu menggunakan sipoa, seharusnya kamu jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum nyinyir tanpa menyingkap majalah di mukanya.
“Anak muda sok begini yang bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.
“Waktu di zaman seperti ini memang macam kaus kodian, tidak lentur, membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yang bisa lepas dari kaus kodian? Apalagi hanya dengan membaca.” Seorang pria setengah tua, seperti memberi argumen yang membela rekan wanita bisnis sekaligus menyergap pikiran sang mahasiswa.
“Hahaha….” sekonyong pria dengan mild tertawa. Di saat yang sama, pemuda yang tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas dan duduk di mejanya. Semua diam memandang pemuda itu yang segera kembali ke mejanya dan cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung pelatuk di kaca rayban.
Sirene yang meraung menjadi monolog di kafe itu.
“Mengapa sih kamu kalau nyupir selalu terlalu dekat dengan mobil di depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dengan tajam ke wajah lelaki di sebelahnya yang masih kosong menatap ke depan.
“Sudah tahu mobil ini baru mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras lagi. Pasti bonyok. Memangnya kamu punya anggaran untuk ke bengkel, diakhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yang sangat tidak puas bahkan pada kata-katanya sen- diri.
Lelaki agak tua di sebelahnya masih terpaku.
“Kenapa bengong kaya macan mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah mobil kita? Siapa yang harus bayar perbaikannya?”
“Ya, seharusnya mobil di depan. Dia berhenti mendadak,” lelaki yang suami sang nyonya itu akhirnya bersuara.
“Dia itu tabrakan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
“Apa benar dia mati, Ma?” suara lima belas tahunan terdengar dari kursi belakang.
“Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membenahi gelung rambutnya yang jadi sedikit kacau. “Yang harus dipedulikan justru papamu yang br*ngsek ini. Kita dibikinnya telat ke resepsi, malah mungkin harus nongkrong di bengkel. Nyebelin.”
“Siapa yang mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib, apalagi di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter dibelakang mobil depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, dan pasti lambat sampai di tujuan.”
“Siapa yang suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
“Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi juga bajaj atau motor-motor. Mungkin kita yang akan nabrak motor seperti angkot di depan.”
“Itu karena gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir ugal-ugalan. Seperti kalau kamu jalan sendiri atau sama teman-temanmu di mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk, rambutmu itu penanda tua, tauk!”
“Polisi datang, papa.” Kembali ada suara kecil dari sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
“Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
“Bukan melebar, tapi memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau karena gayamu, perbuatanmu, yang gak ngerti umur.”
“Umur cuma sekadar angka, Ma.”
“Dasar lelaki boyot. Umur kok angka, umur itu tanda. Tanda kamu itu tua, kamu itu punya tanggung jawab, kamu itu…bisa mati kapan aja. Kalau angka itu kuitansi di bengkel nanti. Dasar!”
“Pa, boleh aku keluar? Pengen tahu.” Suara sepuluh tahunan mengiba.
“Mama ini memang sebaiknya dulu nerusin bakatnya di teater. Hidup kok didramatisir terus,” suami itu seperti senyum, tapi tak berani mengejek.
“Apa katamu? Kamu yang melarang aku! Kamu yang melarang! Bukan aku yang membuat hidup kita dramatis. Justru kamu! Pikirlah sedikit. Pikirlah!!”
Suara pintu mobil terdengar terbuka.
“Dik, jangan!” Suara lima belas tahunan terkejut coba mencegah.
Anak kecil sepuluh tahunan sudah berlari ke lokasi kejadian. “Prama!! Gila anak itu!” Suami bergegas buka pintu dan mengejar anaknya.
“Itulah produk papanya. Sama-sama gila.”
Nyonya masih membenahi gelung rambutnya. Menyemprot sedikit spray.
Lima belas tahunan tenggelam dalam LCD gadget terbarunya. Dengan terengah aku berhasil membawa tubuh wanita hamil itu ke mobil polisi yang baru saja datang. Mereka tidak segera membawanya pergi, tapi menunggu ambulans yang katanya segera datang.
Tetes gerimis terakhir jatuh sendiri di ujung mataku yang sepi. Seorang anak muda, baru tiga bulan menjadi sales executive distributor peralatan elektronik rumah tangga, memasuki sebuah warung yang menjual kopi dan seduhan mi instan, 15 meter dari halte. Ia meminjam lap dan sebotol air bersih. Lima pengunjung warung menatapnya seperti adegan suspence sebuah film Bollywood. Lelaki setengah tua dengan peci sedikit kucal coba menahannya.
“Ada yang mati, mas?” tanya si peci. “Kurang tahu,” jawab pemuda itu ringkas.
“Supirnya, kabur?” sela pemuda berkaus “barcelona” diujung kursi.
“Bagaimana kabur? Nyawanya masih ada apa nggak juga belum jelas.”
“Barcelona” menggeleng kepala. “Hari kalau celaka bukan sa kitnya yang membuat pedih, tapi ongkos berobatnya.” Entah ke luh, kesal atau frustrasi, “barcelona” monyongkan bibir untuk menghirup kopi sampai ampasnya.
“Semua gara-gara motor kelewat banyak,” sambung seorang tua yang nongkrong di pojokan, “karenanya mereka saling salip, rebutan ruang yang makin ciut. Sama saja dengan ruang di warung ini, yang tambah sesek sama ocehan.”
“Bukan salah motor. Tapi kakek goblok yang nyeberang seenaknya,” si peci coba mencoba menyanggah.
“Tapi kalau angkot nggak ugal-ugalan, kecelakaan nggak hebat begini.” Kali ini seorang pemuda tiga puluhan, tampaknya tukang kredit, memberi tanggapan.
“Yang keterlaluan ya pengemudi sedan mahal itu. Dia kurang cepet ngerem sampai pengendara motor hancur kep*lanya kelindes,” sambung yang lain.
“Semua salah! Semua ini gara-gara polisi nggak kerja. Pemerintah nganggur,” seorang pemuda seakan menggeram untuk dirinya sendiri.
“Kota segede ini memang terlihat kayak dedemit, monster.” Seekor cecak jatuh. Percakapan terhenti. Entah kenapa. Kejadian tak kalah seru juga terjadi di sebuah kafe modern penuh kaca, di lantai dua sebuah gedung, 30 meter dari kejadian.
Hampir setengah pengunjung kafe melompat saat terdengar suara keras tubrukan, untuk menonton apa yang terjadi dari balik kaca rayban kafe itu. Seseorang yang tetap duduk namun dapat mengintip di sela-sela badan, justru merilekskan tubuhnya, menelekan punggung ke kursi dan sambil menghisap rokok mildnya.
“Di detik yang sama di negeri ini mungkin ada sepuluh kejadian serupa kecelakaan di luar itu. Mungkin ribuan di semua kota dunia. Kenapa masih gatel menontonnya? Kurang kerjaan!” katanya ketus, seperti pada diri sendiri.
“Kalau kita tidak bisa atau tidak sempat ikut menolong, setidaknya kan bisa bersimpati. Untuk itu kita perlu tahu dengan jelas peristiwanya.” Pengunjung lain, dengan dasi yang disampirkan di pundak, melirik tajam orang di kursi.
“Apa bedanya simpati pada tontonan di balik kaca ini dengan tontonan di layar kaca TV? Simpati saja tampaknya tidak cukup. Karena ini bukan fiksi. Kalau mampu, kenapa tidak berbuat?” Satu anak muda dengan rambut acak menggerung, lalu segera meninggalkan kaca rayban itu, menuruni tangga, dan keluar.
“Anak itu ngapain sih? Mau jadi hero? Jangan-jangan dia yang terlalu diracuni Rambo atau Bollywood. Kesiangan. Makanya sering bangun pagi.” Dengan tubuh agak lunglai, seorang wanita 30- an awal kembali ke kursi, di sisi kiri lelaki dengan mild tadi.
“Kalau anak muda itu pahlawan kesiangan, lalu kamu apa? Kamu kerja apa gak berlagak jadi pahlawan bagi keluarga?” Kali ini seorang pekerja yang tampak senior, berbalik dari kaca dan menghadap wanita yang tampaknya teman sekerja.
“Masak bekerja saja dianggap pahlawan, sih? Aku kerja ya kerja saja, sekadar sebagai kebutuhan alamiah. Seperti tidur atau buang air,” wanita itu coba menyanggah sambil meraih gelas tehnya.
“Tak ada yang alamiah, ketika ia sudah menjadi ilmiah. Semua sudah artifisial. Buang air pun sekarang menjadi komoditas,” seorang anak muda yang dahinya rajin berpikir, seperti bergumam, bersender di kaca membiarkan peristiwa di jalan terus berlangsung di baliknya.
“Mungkin itu masalahnya. Hidup yang sakral sudah mati. Hidup dunia tinggal hanya materi, hari ini. Tidak heran kalau di Eropa 80 persen anak muda atheis atau agnostik. Kita pun segera menuju ke situ.” Mungkin yang bicara ini seorang mahasiswa filsafat dari
perguruan tinggi ternama. Ia duduk saja sedari tadi, dengan majalah kafe di depan matanya. Bergeming dari semua peristiwa.
“Lagakmu seperti pemikir, anak muda. Makan kentang goreng pun kamu harus berhitung dengan kiriman bulanan orangtua,” seorang bussiness woman menyambut ketus.
“Haha…kalau setiap bertindak kamu menggunakan sipoa, seharusnya kamu jangan naik tangga itu untuk nongkrong di sini.” Mahasiswa itu tersenyum nyinyir tanpa menyingkap majalah di mukanya.
“Anak muda sok begini yang bikin sesak napas,” wanita bisnis itu mulai menderu.
“Waktu di zaman seperti ini memang macam kaus kodian, tidak lentur, membuat kita susah bernapas. Tapi siapa yang bisa lepas dari kaus kodian? Apalagi hanya dengan membaca.” Seorang pria setengah tua, seperti memberi argumen yang membela rekan wanita bisnis sekaligus menyergap pikiran sang mahasiswa.
“Hahaha….” sekonyong pria dengan mild tertawa. Di saat yang sama, pemuda yang tadi turun tangga kini sudah kembali ke atas dan duduk di mejanya. Semua diam memandang pemuda itu yang segera kembali ke mejanya dan cepat menghirup kopi susu dinginnya. Gerimis kecil jadi burung pelatuk di kaca rayban.
Sirene yang meraung menjadi monolog di kafe itu.
“Mengapa sih kamu kalau nyupir selalu terlalu dekat dengan mobil di depan?!” seorang nyonya menyorotkan matanya dengan tajam ke wajah lelaki di sebelahnya yang masih kosong menatap ke depan.
“Sudah tahu mobil ini baru mulai cicilannya, sudah nabrak. Keras lagi. Pasti bonyok. Memangnya kamu punya anggaran untuk ke bengkel, diakhir bulan begini. Ceroboh!” Nyonya itu menampilkan wajah yang sangat tidak puas bahkan pada kata-katanya sen- diri.
Lelaki agak tua di sebelahnya masih terpaku.
“Kenapa bengong kaya macan mabok begitu? Keluar segera. Lihat seberapa parah mobil kita? Siapa yang harus bayar perbaikannya?”
“Ya, seharusnya mobil di depan. Dia berhenti mendadak,” lelaki yang suami sang nyonya itu akhirnya bersuara.
“Dia itu tabrakan, pasti ada penyebabnya. Motor itu? Kita minta ganti sama pengendara motor itu? Sudah mati kali dia.”
“Apa benar dia mati, Ma?” suara lima belas tahunan terdengar dari kursi belakang.
“Apa peduliku?” tukas nyonya sambil membenahi gelung rambutnya yang jadi sedikit kacau. “Yang harus dipedulikan justru papamu yang br*ngsek ini. Kita dibikinnya telat ke resepsi, malah mungkin harus nongkrong di bengkel. Nyebelin.”
“Siapa yang mau celaka seperti ini, Ma? Siapa bisa menolak nasib, apalagi di kota begini. Gak mungkin ayah nyupir lima puluh meter dibelakang mobil depan sesuai aturan. Kita akan terus disalip orang, dan pasti lambat sampai di tujuan.”
“Siapa yang suruh lima puluh? Sepuluh meter kan bisa?”
“Gak mungkin. Kita tetap disalip. Bukan cuma mobil, tapi juga bajaj atau motor-motor. Mungkin kita yang akan nabrak motor seperti angkot di depan.”
“Itu karena gayamu kayak anak muda, kayak supir angkot. Nyupir ugal-ugalan. Seperti kalau kamu jalan sendiri atau sama teman-temanmu di mal, ugal-ugalan. Lirik kanan kiri, cowel kanan kiri. Anakmu dua tauk, rambutmu itu penanda tua, tauk!”
“Polisi datang, papa.” Kembali ada suara kecil dari sepuluh tahunan terdengar di jok belakang.
“Kenapa selalu harus melebar kemana-mana sih, Ma?”
“Bukan melebar, tapi memang itu keadaannya, rumah tangga suka kacau karena gayamu, perbuatanmu, yang gak ngerti umur.”
“Umur cuma sekadar angka, Ma.”
“Dasar lelaki boyot. Umur kok angka, umur itu tanda. Tanda kamu itu tua, kamu itu punya tanggung jawab, kamu itu…bisa mati kapan aja. Kalau angka itu kuitansi di bengkel nanti. Dasar!”
“Pa, boleh aku keluar? Pengen tahu.” Suara sepuluh tahunan mengiba.
“Mama ini memang sebaiknya dulu nerusin bakatnya di teater. Hidup kok didramatisir terus,” suami itu seperti senyum, tapi tak berani mengejek.
“Apa katamu? Kamu yang melarang aku! Kamu yang melarang! Bukan aku yang membuat hidup kita dramatis. Justru kamu! Pikirlah sedikit. Pikirlah!!”
Suara pintu mobil terdengar terbuka.
“Dik, jangan!” Suara lima belas tahunan terkejut coba mencegah.
Anak kecil sepuluh tahunan sudah berlari ke lokasi kejadian. “Prama!! Gila anak itu!” Suami bergegas buka pintu dan mengejar anaknya.
“Itulah produk papanya. Sama-sama gila.”
Nyonya masih membenahi gelung rambutnya. Menyemprot sedikit spray.
Lima belas tahunan tenggelam dalam LCD gadget terbarunya. Dengan terengah aku berhasil membawa tubuh wanita hamil itu ke mobil polisi yang baru saja datang. Mereka tidak segera membawanya pergi, tapi menunggu ambulans yang katanya segera datang.
“Kenapa Anda tidak dahulukan saja ibu ini ke rumah sakit?” Aku menyatakan keheranan.
“Tenaga saya lebih diperlukan di sini. Dan lagi memang tugas saya ini. Soal korban, itu tugas tenaga medis.” Polisi muda itu segera meninggalkan mobil dinasnya. Ia tampaknya mencari “korban” yang lain.
Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yang harus ditolong. Di tempat kejadian, d*rah pengendara motor masih ada yang mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin aku membersihkan segera d*rah manusia yang membuatku selalu merinding keras dan lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan dan membersihkannya.
Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek tua tadi terjatuh lemas. Ada juga darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan karena benturan. Mungkin lantaran kaget. Darah sedikit ini tampaknya keluar dari mulutnya, entah karena penyakit apa. Tentu parah luka dalamnya.
Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yang sedikit dan tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk pada sesuatu sebelum aku mengeluarkan sapu-tangan. Sebuah dompet tua berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dari darah itu. Dompet sang kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak dan melihat kakek masih terduduk lemas di trotoar.
Dia terluka dalam, dompet yang hilang akan membuat hatinya lebih dalam terluka. Aku refleks mengambil dompet itu dan bergerak mendekati sang kakek. Pada saat itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan, lalu ribut, lalu dua atau tiga orang men- dekat. Beberapa orang lain tampak menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa menimpa punukku. Aku terjatuh.
Rasa sakit belum terasa, ketika sebuah kaki dengan keras menghajar pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, kuping, tulang kering, entah mana lagi bagian tubuh yang tidak terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa datang lagi, dalam rombongan agak besar.
Terasa ada sebuah tangan yang merenggut dompet di tanganku. Tapi hantaman itu tidak berhenti. D*rah keluar dari lubang-lubang seputar kepala. Aku mulai merasa atas dan belakang kepalaku berdenyut. Bumi berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, melihat d*rahku sendiri. Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras sudah membantuku.
Tubuhku beku dan merasa sunyi. Mataku mati. [*]
Aku pun tak mungkin tinggal di situ. Masih banyak yang harus ditolong. Di tempat kejadian, d*rah pengendara motor masih ada yang mengental tak tercairkan sisa gerimis. Kulitku menangis. Ingin aku membersihkan segera d*rah manusia yang membuatku selalu merinding keras dan lemas. Untung sisa gerimis membantu mengalirkan dan membersihkannya.
Mataku sekonyong teralihkan pada satu titik di mana kakek tua tadi terjatuh lemas. Ada juga darah di situ. Kakek itu ternyata luka. Bukan karena benturan. Mungkin lantaran kaget. Darah sedikit ini tampaknya keluar dari mulutnya, entah karena penyakit apa. Tentu parah luka dalamnya.
Aku mendekat untuk refleks tanganku coba membersihkan darah yang sedikit dan tak terkena air gerimis itu. Tapi mataku justru tertumbuk pada sesuatu sebelum aku mengeluarkan sapu-tangan. Sebuah dompet tua berwarna coklat gelap tergeletak tak jauh dari darah itu. Dompet sang kakek terjatuh. Aku menoleh sejenak dan melihat kakek masih terduduk lemas di trotoar.
Dia terluka dalam, dompet yang hilang akan membuat hatinya lebih dalam terluka. Aku refleks mengambil dompet itu dan bergerak mendekati sang kakek. Pada saat itu sekonyong terdengar bentakan, lalu teriakan, lalu ribut, lalu dua atau tiga orang men- dekat. Beberapa orang lain tampak menyusul. Lima detik kemudian sebuah hantaman keras terasa menimpa punukku. Aku terjatuh.
Rasa sakit belum terasa, ketika sebuah kaki dengan keras menghajar pinggang. Belum sempat kusadari tendangan itu, sebuah benda keras menimpa dadaku. Lalu beberapa hujaman menimpa wajah, kuping, tulang kering, entah mana lagi bagian tubuh yang tidak terkena. Aku terlempar sana-sini di atas aspal basah itu. Gerimis kurasa datang lagi, dalam rombongan agak besar.
Terasa ada sebuah tangan yang merenggut dompet di tanganku. Tapi hantaman itu tidak berhenti. D*rah keluar dari lubang-lubang seputar kepala. Aku mulai merasa atas dan belakang kepalaku berdenyut. Bumi berputar seperti komidi. Mataku masih terbuka, melihat d*rahku sendiri. Kental merah kehitaman. Ingin kubersihkan, namun gerimis cukup deras sudah membantuku.
Tubuhku beku dan merasa sunyi. Mataku mati. [*]
Posting Komentar untuk "Jalan Sunyi Kota Mati | Cerpen Radhar Panca Dahana"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar