Teo meletakkan lilin di atas alas besi mirip mangkuk nasi. Kami diam sebentar, berpikir, bisa jadi angin kembali membuat nyala api buyar. Pucuk api memang bergoyang-goyang, tapi tak sampai padam. Dan setelah beberapa saat, Teo berkata, “Siapa yang menjaga?”
Aku mengangkat jari telunjuk seperti murid sekolah dasar hendak menjawab pertanyaan.
Teo menggerutu, “Kau yang mengusulkan ini, harusnya aku yang angkat jari.”
“Tapi kau yang bertanya, tak mungkin kau yang menjawab juga. Lagipula ini masalahmu,” balasku.
Teo terdiam sejenak, sebelum berucap, “Baiklah, belum tentu juga mantranya bekerja.”
Keputusan sudah bulat. Teo harus sepakat. Aku bisa lihat wajahnya mengeras. “Ayo, cepat!” seruku dengan suara sedikit kubuat-buat.
Teo menarik napas panjang, lalu memejam. Aku mendengar Teo merapal mantra. Aku tahu mantra itu sebab aku yang memberi beberapa hari lalu. Mantra yang bisa membuatmu berubah jadi apa yang kau mau.
Seorang lelaki tua memberiku mantra itu ketika secara tak sengaja aku bertemu dengannya. Waktu itu hari Kamis, menjelang magrib, hujan turun demikian bengis. Aku sedang berjalan pulang dan merasa harus menepi, kaki hampir keram dan badan seperti kapal akan karam. Jarum air menusuk-nusuk kepala dan kulit. Jalanan sepi seakan orang-orang tak berani keluar lantaran takut penyakit. Sebuah bangunan kayu di tepi jalan terlihat cukup rindang untuk kujadikan tempat berteduh. Hanya ada seorang lelaki di situ, bersedakap menahan dingin. Tak ada kendaraan terparkir di dekatnya. Lelaki itu pasti berjalan kaki, pikirku. Aku tersenyum padanya sembari mengibas-ngibaskan air dari baju.
“Deras sekali hujannya,” ucapku.
Dia tak menanggapi. Bunyi jatuhnya air demikian keras, hingga wajar bila dia tak mendengar. Aku perhatikan sekitar dan mengira-ngira untuk apa bangunan ini didirikan. Kecuali atap, seluruh bagian bangunan terbuat dari kayu. Ada lima tiang dan beberapa palang, menopang asbes yang disusun sebagai atap. Tak ada tanda apa-apa selain itu. Di tiang-tiang kayu memang ada gurat tulisan, macam-macam isinya, tapi yang dominan nama-nama orang, juga sketsa jantung tertancap panah.
Si lelaki tua menoleh padaku dan berkata, “Nak, saya mau minta sedikit bantuanmu.”
Lelaki ini lebih tua dari ayahku. Kukira dia lebih pantas menjadi kakekku. Tampaknya dia suka mengunyah sirih, mulutnya merah dan tiba-tiba kubayangkan dia seperti vampir yang suka mengisap darah. Tapi segera aku berseru, “Apa yang bisa saya bantu?”
Dia mengeluarkan bungkusan dari gulungan sarung. Dari bungkusan itu dia keluarkan tembakau, korek kayu, dan sebatang lilin yang tinggal setengah. Setelah memisahkan lilin dan korek, dia masukkan lagi tembakau ke dalam gulungan sarung. “Saya harus segera sampai rumah. Tapi seperti bisa dilihat, hujan kelihatannya masih akan lama. Saya mau menyalakan lilin, bisakah anak bantu saya menjaga nyalanya?”
Aku bingung. Kusangka kakek itu pasti sudah linglung. Tapi tanpa menunggu jawaban, dia minta aku memegang lilin.
“Lindungi dengan tangan. Hujan memang deras, tapi kelihatannya angin tak begitu keras,” katanya.
Setelah aku bersiap-siap, dia segera menggesek batang korek. Api menyala sebentar, lalu padam. Berkali-kali dia mencoba, tapi sia-sia. Aku merapat lebih ke dalam, bersandar ke tiang tengah. Di belakangku sebatang pohon menjulang. Angin takkan menjangkau dari belakang, dan aku bisa melindungi nyala api lebih gampang.
Akhirnya api menyala, pindah dari korek ke sumbu lilin. Si kakek lega, dia usapkan kedua tangan ke kain sarung.
“Nak, sebenarnya saya jarang melakukan ini. Hanya saat-saat terpaksa saja. Saya tak bisa melakukan sendiri. Karena anak sudah membantu, nanti saya beri imbalan. Sekarang, tolong jaga nyala lilin ini sampai lilinnya hilang.”
Aku tak tahu mesti berkata apa. Tugas menjaga nyala lilin serasa tugas menjaga seluruh semesta. Perasaan tegang menjalar di badan. Lelaki tua itu memejamkan mata, komat-kamit, lalu dengan begitu saja tubuhnya lenyap. Aku terkesiap. Di depanku sekarang berdiri seekor burung. Tak pernah kulihat burung seperti itu. Wujudnya sebesar kalkun, tapi seluruh bulunya hitam pekat. Kakinya panjang dengan selaput lembut dan kelihatan gampang robek sebagaimana selaput di kaki bebek. Burung itu menjulurkan kepala, paruhnya tampak terus-terusan meludahkan cairan merah. Burung itu melihat padaku dan mendengking serupa anjing. Seperti diingatkan, kulindungi nyala lilin dengan lebih hati-hati. Burung itu mengambil ancang-ancang, lalu sayapnya mengepak dan tubuhnya pelanpelan terangkat ke udara. Begitu sampai di ketinggian tertentu, burung itu langsung melesat seperti pesawat. Aku masih tak bisa berpikir jernih, daya tangkapku kacau seakan-akan terpuruk dalam mimpi buruk. Sampai tak kusadari lilin di tanganku sudah lenyap berganti segulung sobekan kain kumal dan lembap.
Kubuka gulungan kain. Ada lima baris tulisan di atasnya. Kubaca baris per baris dan setiap selesai baris-baris itu langsung terhapus. Tanpa bermaksud menghafal, tulisan itu menyumpal pikiran dan tak bisa hilang seolah bakal kekal.
Berpekan-pekan setelah peristiwa itu, mantra kakek tua terus terngiang-ngiang di telinga. Seperti ada desakan mencoba. Makin lama kupikir kian kuat desakan itu. Tapi tak ada situasi bisa memaksa. Sampai aku bertemu Teo.
Teo teman masa kecilku. Kami tumbuh bersama, meski nasib kami berbeda. Sudah lama kami tak bersua, semenjak Teo pergi ke lain provinsi untuk bekerja di perusahaan tambang. Beberapa waktu lalu Teo kembali membawa persoalan: ia melarikan diri, meninggalkan tumpukan utang. Tentu aku tak bisa mengatasi persoalannya. Seperti kubilang, nasib kami berbeda; ia pernah jadi orang kaya, aku masih sama saja sejak remaja. Kenyataan itu membuatku sedikit membenci Teo. Maksudku, seharusnya kami tetap bersama, sama-sama susah dan sebaliknya sama-sama senang. Pernah perasaan terkhianati muncul dalam hatiku ketika Teo hendak pergi ke lain provinsi.
Pada masa kecil kami tergolong bocah nakal yang acap berbuat kriminal. Mencuri dagangan orang di pasar, menggedor pintu rumah di pinggir jalan, curang ketika bermain dengan kawan-kawan, main domino dengan uang hasil curian, sering bolos sekolah dan melakukan hal-hal yang membuat guru marah. Itu kenakalan-kenakalan kecil yang ketika kami beranjak dewasa menguap begitu saja. Namun pertemuan dengan Teo seperti membangkitkan lagi kenangan-kenangan itu. Ketika Teo menghadapi masalah dan sebagai teman aku mesti membantu, mantra kakek tua seperti menemukan waktu untuk bekerja.
Kami memilih rumah kosong ini, bukan hanya karena aku sering kumpul di sini bersama teman-temanku; namun juga lantaran tempat ini jarang disambangi orang lain. Rumah ini dianggap angker. Orang sering melihat macam-macam penampakan. Juga suara-suara aneh. Paling sering suara-suara binatang yang tidak mungkin ada di sekitar sini; harimau, gajah, atau suara yang diduga berasal dari binatang yang tak diketahui namanya. Namun aku dan teman-temanku tak pernah melihat atau mendengar apa pun. Kami, tentu saja, tak menceritakan itu pada orang-orang. Kadang malah kami mengaku melihat hal-hal mengerikan di rumah ini, supaya mereka makin yakin dan kami bisa bebas menggunakan rumah ini sebagai tempat berkumpul.
Di rumah ini, setelah membaca mantra, Teo berubah jadi bebek.
Aku tak tahu kenapa bisa begitu. Kukira ia akan berubah jadi sosok tak terlihat, hingga bisa mudah masuk ke rumah siapa saja untuk mengambil uang mereka, seperti yang dia inginkan. Angin yang tadi membuat pintu dan jendela berderak-derak, kini berkurang. Hujan turun, tidak begitu lebat, dan kudengar di luar langkah-langkah orang berlari mendekat. Teo yang sudah jadi bebek berkwek-kwek.
Aku bimbang. Kalau lilin kupadamkan, Teo akan selamanya terjebak dalam wujud bebek. Pintu digedor. Seseorang memanggil namaku, disusul seseorang yang lain. Itu teman-teman yang sering m*buk bersamaku. Karena tak ada jawaban, salah satu di antara mereka berjalan ke arah jendela yang langsung menghadap ruang tempat aku dan Teo berada. Kulihat wajahnya menempel di kaca, menengok ke dalam. Tiba-tiba listrik menyala. Teman di luar melihat seekor bebek dalam ruang yang terang benderang. Dengan girang, seraya menggedor-gedor kaca, ia berkata, “Waaah, makan bebek panggang kita.”
Teo tampak panik. Sepertinya ia mendengar kata-kata temanku itu. Dalam keadaan begini, ide itu malah terdengar cemerlang. Memang sudah lama aku tidak makan bebek panggang. (*)