Iklan Atas

Blogger Jateng

Penabur Bunga | Cerpen Maya Sandita


Lebih tiga pekan. Sejak cerita tentangmu di media sosial bertebaran. Tentang seorang ibu yang namanya tak pernah disebutkan dan sepenggal pesan pada anaknya yang ia titipkan. Pada suatu pagi, Tika, anaknya berpamitan pergi, sebagai seorang demonstran.

Kamu seorang diri sedang menunggu anakmu seperti biasa, di depan sebuah televisi lama. Siaran sinetron yang biasa disiarkan mendadak kamu abaikan. Berita singkat yang muncul di sela iklan membuatmu mengganti program kesukaan dengan berita di stasiun lainnya. Stasiun televisi yang secara langsung menyiarkan aksi demo.

Tidak ada yang melebihi cemasnya seorang ibu ketika itu. Kamu tahan debar dada saat sadar pukul tujuh malam ini anakmu belum mengetuk pintu. Untuk tenang sekuat-kuatnya kamu berusaha walaupun ada segunung kecemasan tumbuh mengakar dari dada ke kepala.

“Dinda, kamu di mana?” tanyamu seketika sembari meraih ponsel di atas meja.

Sepasang matamu tak berhenti menatap layar televisi. Kamu melihat almamater warna-warni. Kuning, biru, hijau, merah, jingga, warna apa saja. Saat itu yang mana anakmu kau tak bisa menerka. Serupa semut mereka.

Ponsel anakmu tidak aktif. Operator yang menyampaikan notif. Pandangan matamu seolah tertutup jerebu yang sama di luar situ, berkabut dan abu-abu. Rasanya hangat dan bulir-bulir air mengalir ke bibir yang kau gigit kuat-kuat. “Kamu di mana, Nak?” dadamu sesak.

Siang tadi, di depan sebuah gedung, langit beberapa hari ini mendung, tapi belum juga hujan. Sementara, nyanyian katak terus terdengar sampai katak-katak itu serak. Matahari sudah merah, marah. Ronanya lama diselimuti asap dari Sumatra. Hutan-hutan terbakar bahkan ular dan monyet liar.

Marahnya matahari sampai juga di kepala mahasiswa. Menembus kabut asap tebal, merasuki bahkan ke kepala manusia bebal. Yang selama ini tak peduli betapa tanah yang ia pijak sedang dalam keadaan ngeri.

Terbakarnya hutan di pulau barat negeri, berembus ke mana saja dengan angin yang memegang kendali. Sesak sekali. Bagaimana pemimpin negeri? Ini kan buah dari investasi?

Ketika pertanyaan semacam itu mengetuk pintu sebuah ruangan di tengah ibu kota provinsi, pemilik kepala pergi, berkeliaran, ke Thailand.

Pertanyaan menanjak ke kursi yang lebih tinggi, tapi tentu semua jauh hari sudah diantisipasi. “Bicara kau soal investasi! Kau bilang jangan alergi! Kau buat oligarki!” teriak seseorang dengan ikat kepala merah putih dan pengeras suara di tangan kirinya.

Siaran berita terus mengalir tak putus-putus. Kamu, seorang ibu yang tadi itu, masih menunggu suara ketukan pintu. Jam dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. Kamu ditelan kekhawatiran, anakmu perempuan.

Teriakan menjadi-jadi menolak banyak hal yang tidak bisa diterima oleh mereka yang punya otak. Negeri ini nyatanya dijadikan lahan tambang. Julukan tanah surga terang sebentar waktu bisa tumbang. Mereka bisa membaca apa yang tak lantang dimaksudkan rancangan undang-undang yang sembarang. Bertitik tolaklah semuanya pada sebuah kata serakah.

“Kau di mana?” tanya sebuah suara lewat ponselnya. Pada seorang kawan yang tak datang.

“Di rumah. Buat apa sih kalian turun ke jalan? Aksi sia-sia, sementara para penguasa cuma tutup mata!” balasnya.

“Rupanya kau hanya punya kepala, tapi tidak ada otaknya.”

Kawannya hanya diam menunggu kalimat lanjutan yang agaknya akan lebih tajam.

“Aku tahu kau takut mati, tapi memikirkan diri sendiri dan tidak berjuang untuk menyelamatkan anak-cucumu di masa depan nanti, sama saja kau tak perlu hidup sama sekali. Neraka sudah menunggu sejak kau menolak ajakanku tadi!”

Telepon diputus. Kawan yang baru selesai bertadarus menutup kitab suci, melipat sajadah yang didudukinya tadi, dan mengenakan almamater yang ia simpan di lemari.

“Ibu, Dinda pamit,” katanya.

“Pergi ke mana, Nak?” tanyamu. Kamu, ibu dari anak perempuan bernama Dinda itu.

“Ke…,” Dinda ragu menjawab tanyamu. Khawatir tak dapat restu.

“Gedung Wakil Rakyat,” ia akhirnya menjawab meski lambat. Kamu lihat almamater yang ia sandang di lengan sebelah kanan.

Kamu lihat wajah yang sebelumnya tak pernah diliputi gundah dan marah. Seperti ketika ia berpamitan setelah subuhnya.

Kamu menghirup napas dalam. Kamu tinggalkan ia sendiri di pintu depan, sementara tangannya menggantung menunggu jawaban salam. Dinda menunggu.

Kamu kembali dengan sebotol air minum, lalu berkata, “Nak, tidak perlu tanya rasa khawatirku padamu, tapi ibu punya pesan dan tolong kamu patrikan, kamu akan kembali pulang. Ibu bekalkan ini dan doa yang panjang dari sini. Selamat berjuang, Nak!”

Dinda memelukmu. Gemetar ia. “Terima kasih, Bu!” katanya dan kemudian bergegas pergi. Meninggalkanmu di rumah sendiri.

Di sebuah ruangan yang entah di mana, kesepakatan-kesepakatan dibuat tanpa perlu dibahas atau ditanya. Rencana-rencana dibangun semudah membeli kereta kencana dari pembuatnya yang tidak paham dengan harga. Tapi, mahasiswa itu bukan si pembuat kereta. Mereka tak bisa ditawar bahkan dengan sogokan beasiswa sampai sarjana atau undangan ke istana.

Bukan hanya mereka, siapa saja tentu tak akan bungkam ketika meyadari bahwa negeri sedang dijual diam-diam. Rancangan undang-undang yang dibentuk sampai asap yang membuat semua orang batuk, tentu tidak dirancang oleh seseorang dalam keadaan ngantuk. Mereka tentu sadar, sesadar bahwa atas janji-janjinya mereka telah ingkar. Hanya saja, mereka pura-pura lupa, pura-pura tak punya mata dan telinga.

Iklan memutus berita aksi demo beberapa menit. Dadamu mulai sakit. Meski kamu ingat pagi tadi telah beri restu, tapi sebagai seorang ibu, khawatir sudah jelas akan menggebu-gebu. Di layar bermunculan promosi produk yang saling berebut cari konsumen, mulai dari cara paling amatir sampai mencoba membayar artis paling mahal dari luar negeri untuk membintangi iklan agar dipercayai mutakhir.

Terkadang usaha mereka membuahkan hasil. Konsumen membeli produk atas dasar nilai tanda, bukan nilai guna. Mereka akan membeli barang yang iklannya dibintangi oleh sang idola, bukan membeli karena mereka butuh apa. Apalagi, era ini, dianggap jauh lebih baik kualitasnya produk luar negeri, permainan pun dimulai sejak pemahaman demikian terjadi.

Kamu, duduk di sebuah bangku, yang semula jadi tempat duduk saat menjahit baju. Kamu melihat beberapa helai baju yang kamu jahit dengan pahit. Beberapa dari mereka berbahan sutera impor. Empunya kain mengatakan, ia membeli lantaran merek sutera itu sedang bergengsi dan harganya sangat tinggi.

“Orang tentu tahu, siapa yang berkelas kalau sudah pakai baju yang bahan dasarnya sutera itu,” kata si pelanggan. Sambil sesekali tangannya yang dihiasi jam buatan luar negeri ia kibas-kibaskan ke kanan dan ke kiri.

Tiba-tiba kamu merindukan suamimu, seorang buruh pabrik pengolahan sutera lokal di kota kecil tempat tinggalmu. Selang beberapa bulan sebelum Dinda berpamitan tadi, pabrik itu terbakar habis dan suamimu terkurung di sana bersama buruh lainnya dan tak bisa menyelamatkan diri. Tiba-tiba semakin sesak dadamu.

“Kau yakin kita butuh investor?” tanya seorang lelaki yang membonceng Dinda.

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Negeri kita kaya-raya. Tentu saja. Apa saja ada. Laut kita kaya, hutan rimba kita raya, rempah-rempah juga ada.”

“Apa kau tahu, kita bukan pemilik negeri ini lagi. Jangankan rempah-rempah, remah-remahnya saja aku masih sangsi.”

Dinda terus menjaga pendengarannya tetap jelas di tengah-tengah perjalanan yang masih jauh saja.

“Yang kau bilang kaya dan raya itu akan diekspor ke luar negeri. Kenapa dijual? Karena negeri ini butuh uang sebab banyak utang. Ini peluang? Terang! Banyak negara yang akan berinvestasi, tapi tentu butuh kelonggaran yang itu dan yang ini, butuh jalan besar dan jalan mini. Kau paham hukum ekonomi? Aku lupa kalimatnya, tapi aku punya contohnya. Pembeli yang cerdas akan mencari cacat barang yang akan dibeli dari penjual bodoh yang terlihat butuh uang sekali. Kau paham?”

Dinda mengangguk. Lemas tapi marah. Tiba-tiba helm Dinda terantuk. Lelaki itu mengerem mendadak dan dari mulutnya mengalir darah. Dadanya disarangi peluru besi. Jalan yang mereka lewati sangat sepi. Ia melihat ke segala sisi. Tidak ada sesiapa yang tampak di matanya. Motor yang mendadak oleng dan roboh ditinggalkannya. Ditarik lelaki itu ke sebuah toko yang masih tutup. Kemudian, teriakan minta tolong terdengar sayup-sayup.

Kamu beranjak dari tempat duduk, mengambil segelas air untuk tenggorokanmu yang sedari tadi sudah terbatuk-batuk. Air sudah habis satu gelas. Kamu menoleh ke jam dinding yang menunjukkan angka sebelas.

Televisi masih menyiarkan berita aksi demo tadi siang. Seorang mahasiswa dinyatakan meninggal dunia disebabkan pukulan benda tumpul di kepala dan mengalami patah tulang. Yang tersisa kali itu hanya doa dan harapan semoga anakmu malam ini pulang.

Dua teman datang ketika Dinda tengah menunggui teman lelakinya tadi di lorong rumah sakit. Satu orang menggantikannya untuk menjaga lelaki itu dan seorang lain nya pergi dengan Dinda—ke barisan depan.

Dinda merasa gemeletar lebih hebat dari sebelumnya, tapi seketika tak ada gentar lagi ketika ingat bagaimana temannya ditembak secara misterius di jalan sepi.

“Kau baik saja?” tanya teman yang menjemputnya di rumah sakit barusan, kali ini perempuan.

Dinda mengangguk. Lantas mereka berjalan tegap dengan amarah yang betul-betul menumpuk.

Mereka tahu siapa teman lelaki yang baru saja tertembak itu. Namanya Dewa. Salah satu ahli siber yang memegang sebuah akun media sosial berisi gerakan aktivis. Tidak lama setelah postingan penyeruan aksi demo yang ia bagikan di akun tersebut, rupanya ia telah menjadi intaian seseorang bersenjata api.

“Barang kali sudah lama Dewa ditargetkan, hanya saja mereka belum punya kesempatan. Tentu semua sudah direncanakan, Dinda. Jika tidak, bagaimana mereka tahu Dewa akan lewat di jalan Sisingamangaraja?” terang teman perempuan.

Jalanan macet. Halaman gedung dipenuhi mahasiswa. Poster-poster perlawanan diangkat tinggi-tinggi, sorak-sorai perlawanan diserukan nyaring sekali.

Dinda turun dari motornya, ia kenakan almamater dan pita merah putih di lengannya. Ia maju, menyerbu, merebut megafon yang sementara berhenti digunakan sebab pemiliknya sedang minum diemperan jalan. “Tuan! Kau bukan Tuhan!” teriaknya.

Kamu tidak mengantuk. Kamu masih menunggu pintu itu diketuk. Matamu tertuju hanya pada titik itu. Pada sebidang kayu berwarna abu-abu.

“Bu,” terdengar sebuah suara dari luar sana.

Kamu beranjak cepat, tapi bibirmu masih terkatup rapat. Menahan isak dan air mata yang tak bisa kau sumbat.

Kamu menemukan Dinda, anakmu pulang dengan wajah letih dan segores luka di pipinya. Kamu peluk ia dengan segera.

Lewat tengah malam ini, Dinda masih belum bisa memejamkan matanya. Kamu di sampingnya, memeluk anakmu di bagian perutnya.

Laptop Dinda masih menyala di atas meja. Sebuah tulisan ia kirimkan ke sebuah alamat surat elektronik. Ia sedang menunggu balasan.

Dalam benaknya tak ada lain selain harap; kamu akan baik saja seandainya ia disergap. “Atau, bersediakah kamu menabur bunga, Ibuku?” [*]

Posting Komentar untuk "Penabur Bunga | Cerpen Maya Sandita"