Hingga musim pemilu datang menggoda. Ia tertantang untuk mengikuti. Sahabat-sahabatnya meyakinkan. “Bos, kamu punya modal Bos. Eman-eman jika tidak digunakan. Dalam perebutan kekuasaan begini, tidak hanya modal uang yang dibutuhkan, tapi juga popularitas dan mesin penggerak. Kamu punya itu. Kamu mantan ketua organisasi kepemudaan tingkat provinsi. Punya anak buah di setiap kabupaten. Anak buahmu itu tinggal dioperasikan, jadi. Tidak semua calon punya modal seperti kamu. Banyak yang cuma modal nekat,” rayu temannya yang nanti menjadi ketua tim sukses.
Memang, hidupnya kini monoton. Ia hanya bergumul dengan anak-istri, mengecek toko, begitu-begitu saja. Hanya sesekali junior di organisasinya dulu datang meminta saran atau mengajak diskusi tentang politik. Kadang-kadang memintanya menjadi pembicara pendidikan politik dasar.
Itu berbeda dengan saat ia menjabat sebagai ketua organisasi kepemudaan. Ia dulu sibuk luar biasa. Ia keliling provinsi membuka dan menutup acara, melantik pengurus tingkat kabupaten, koordinasi ke pusat, audiensi dengan pemerintah, dan segala kesibukan lain. Berpolitik pernah ia jalani, bukan politik praktis, ya politik merebut kursi ketua itu. Penuh tantangan dan persaingan. Ada lobi-lobi, konsolidasi, bahkan uang juga bergerak. Politik ialah dunianya. Teman-temannya banyak yang sudah melangkah ke jalur ini.
Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan mengikuti saran teman-temanya untuk melangkah ke pertarungan memperebutkan satu kursi anggota dewan di tingkat provinsi.
Ia hubungi kolega-koleganya. Ia bentuk tim pemenangan sampai tingkat kecamatan. Ia ambil utang dengan tanah sebagai jaminan. Ia pesan kaus, ia pasang iklan, ia bagi uang.
Ia hubungi kolega-koleganya. Ia bentuk tim pemenangan sampai tingkat kecamatan. Ia ambil utang dengan tanah sebagai jaminan. Ia pesan kaus, ia pasang iklan, ia bagi uang.
Setiap malam orang datang ke rumah. Memuji-mujinya, melaporkan keadaan di lapangan dan prediksi-prediksi mereka. Mereka menawarkan bantuan masuk ke dalam tim dan ujung-ujungnya minta uang. Kepalang tanggung. Hingga akhirnya waktu pemilihan telah tiba. Orang-orang memberikan suaranya, penghitungan suara dimulai. Ia mendapat suara banyak, tetapi belum cukup untuk mendudukkannya di kursi dewan. Orang-orang yang tadinya mendekat, mulai menyingkir. Orang-orang yang tadinya memanggilnya bos, hilang entah ke mana.
Yang datang justru orang-orang yang menagih bayaran ongkos cetak alat kampanye, kaus, hingga makanan. Hartanya ludes. Tanah berikut tokonya terpaksa ia jual untuk menutup semua utang itu. Ia ditawari tetap tinggal di partai sebagai pengurus, tetapi ia menolaknya, ia ingin hidup seperti sediakala.
*****
Sudah lima tahun peristiwa itu, ketika pemilu mau menjelang lagi, keadaan ekonominya belum pulih. Ia sekarang bekerja di sebuah perusahaan sebagai pegawai administrasi. Gaji yang tidak seberapa itu ia gunakan menghidupi keluarga dan berusaha menabung sedikit demi sedikit untuk membuat usaha lagi. Ia sudah ke sana-ke mari meminta pinjaman untuk membangun usaha lagi, tetapi tidak ada yang memberi. Bahkan, keluarganya sendiri tidak memberi. Utangnya yang kemarin belum terbayar, mungkin itu alasannya. Istrinya terpukul dengan keadaan itu, tetapi menerima. Itu yang membuatnya tetap kuat.
Betapa pun hidup harus dilanjutkan. Anak-anak harus tetap makan, sekolah, dan hidup layak. Anak-anak ikut menerima konsekuensi. Kualitas makan di keluarganya turun, kualitas pakaiannya juga begitu. Jika dulu makan ke luar, jalan-jalan sore menggunakan mobil, saat ini membawa sepeda motor. Saat hujan turun harus ngiyup.
Saat linglung begitu ia mengaji. Saat mengaji itu ia ingat guru ngajinya saat kecil dulu. Tiba-tiba ia ingin bertemu. Ia berkunjung ke sana sendirian. Ia masuk ruangan, tempat ia dulu belajar mengaji bersama teman-teman kecilnya. Di sini ia belajar mengenal huruf-huruf hijaiyah, menghafalkan doa-doa, belajar salat, dan wiridan. Wiridan adalah melafalkan kalimah-kalimah baik, asma Allah, secara berulang-ulang. Guru ngajinya melakukan pengajaran tanpa dibayar. Dia tulus mencintai murid-murid. Ia duduk di ruangan itu menunggu, mengenakan sarung kotak-kotak, baju warna putih.
“Eh Gus Lana, pripun kabare. Kok kadingaren kemari.” Gurunya memang unik, memanggil murid dengan panggilan Gus.
“Injih Yai. Nyuwun ngapunten. Mohon maaf ndalem baru bisa silaturahim.”
“Eh denger-denger kemarin nyalon ya?”
“Injih Yai, tapi tidak jadi.”
“Iya, kalau jadi mana mungkin sampai sini.” Sang guru tertawa terbahak-bahak. Lana merunduk. Ia merasa bersalah. Ketika mencalonkan diri tidak memohon restu, dan saat kalah baru mendekat.
“Mohon maaf, Yai. Mohon petunjuk.”
“Begini Lana. Kamu harus prasangkai baik peristiwa ini. Coba cari sisi baiknya untukmu atas peristiwa ini. Kamu masih ingat hadis Qudsi ini; Aku dalam prasangka hamba-Ku, pada-Ku. Itu artinya kenyataan ditentukan oleh prasangka kita sendiri. Pokoknya kamu harus berprasangka baik atas peristiwa ini, atas kekalahanmu. Setelahnya kamu jalani hidup seperti biasa. Kamu jalani hidupmu sebagai makhluk, sebagai umat Muhammad. Itu saja cukup.”
Sepulang dari rumah gurunya, hatinya tenang. Ia juga tidak lagi memaki-maki, menyalahkan orang lain. Kata gurunya, masalah yang menimpa kita itu dari Allah. Alangkah tidak sopan mengeluhkan Allah kepada manusia. Keluhkanlah yang dari Allah itu kepada Allah.
*****
Sebelumnya Lana makan di kantin, tetapi sudah beberapa bulan ini Lana tidak makan siang. Ia kuat menahan lapar demi menyisihkan uang. Anaknya sudah mulai besar membutuhkan biaya sekolah yang cukup. Ia juga ingin segera punya uang untuk modal, memulai usaha lagi. Saat waktu istirahat tiba ia melangkah menuju masjid ikut salat berjemaah. Setelahnya ia istirahat di masjid sampai waktu istirahat habis.
Mulai hari ini Lana membawa bekal dari istrinya, tetapi ia bingung mau makan di mana. Jika ia memakan bekal di meja kerja, ia tidak enak dengan teman-temannya. Orang-orang mungkin berpikir kalau dia terlalu berhemat. Perutnya sudah memanggil, menyuruhnya untuk membuka tepak bekal dari istrinya. Tangannya sudah mengelus-elus. Tapi ia tidak sampai hati membukanya. Ia ingat sayur kluwih yang dimasak istrinya berbumbu petai beraroma tajam. Ini akan tercium oleh teman-temannya. Bisa mengganggu konsentrasi kerja. Apalagi gereh goreng itu.
Duh. Ia ingin bawa bekal itu ke lantai atas, dan memakannya di sana, tapi ia takut kepergok satpam atau petugas kebersihan. Tentu dia sangat malu jika tertangkap basah makan sembunyi-sembunyi. Kabar itu bisa menjadi pembicaraan orang sekantor. Sampai bel pulang berbunyi, bekal dari istrinya masih terbukus. Ia tidak punya nyali untuk membuka. Gengsi. Ia memilih menahan lapar daripada malu.
Ia bawa bekal itu kembali pulang. Tetapi hatinya juga berkecamuk. Andai tahu dia tidak memakan bekalnya, istrinya pasti sakit hati. Ia bingung. Ia mencari tempat memakan bekal itu. Ia berencana makan bekal itu di pom bensin.
Baru berhenti dan mau membuka jok, ada juniornya di organisasi kepemudaan menghampiri. “Eh Mas, apa kabar? Setelah berbasa-basi, ia berjalan lagi dan berhenti di taman kota. Di taman, lagi-lagi ia kepergok teman.
Akhirnya, ia memantapkan niat untuk menyantap bekal di serambi masjid. Ia sudah tidak peduli ada orang melihat. Ia akan katakan bekal itu ialah tanda cinta istrinya.
Ia sikat bekal itu dengan cepat. Ia masukan nasi dan lauk ke dalam mulut dengan sendokan besar. Tandas sudah. Tepak yang kosong itu akan ia tunjukkan kepada istrinya. Itu lah cara membahagiakan istri.
Ia sikat bekal itu dengan cepat. Ia masukan nasi dan lauk ke dalam mulut dengan sendokan besar. Tandas sudah. Tepak yang kosong itu akan ia tunjukkan kepada istrinya. Itu lah cara membahagiakan istri.
Tepak kosong yang sudah dibungkus plastik ia gantungkan di sepeda motor. Ia menghidupkan sepeda motor. Pada saat ia akan menjalankan sepeda motor, ada seorang bapak mendekatinya. Seorang bapak bermuka memelas mengatakan sesuatu. “Apa Pak?” Lana meminta mengulangi.
Bapak yang tampaknya seusia bapaknya itu mengulang, “Mas, minta uang seikhlasnya buat beli bensin.” Lana membuka dompet dan memberikan uang Rp20 ribu. Bapak itu menerima, “Semoga rezeki mas lancar ya?”
Ia menggerakkan motor, bapak itu juga. Terbersit di pikirannya, mungkinkah si bapak menipu dirinya? Namun, pikiran itu segera tertindih pesan gurunya tentang prasangka baik. “Jika aku tidak membawa bekal dan makan di kantin, aku tidak bisa menyisihkan uang dan menolong bapak itu membeli bensin. Alhamdulillah.”
Lana melanjutkan perjalanan pulang, ia melewati baliho-baliho kampanye di kanan dan kiri jalan. Minggu depan pemilu, akan segera ada orang-orang yang bernasib sama dengannya atau mungkin lebih buruk. (*)