Baru-baru ini, ibuku punya seorang teman kencan. Seorang lelaki gundul bertubuh tambun. Ia sosok yang kurang menarik. Ini bukan semata soal fisik. Ada hal lain yang sulit kudeskripsikan. Entah bagaimana ceritanya, ibu bisa menyukai lelaki seperti itu. Lelaki itu memang tidak jahat, tapi ia menjijikkan. Dan kalau dipikir-pikir, sebenarnya, menjadi menjijikkan adalah sebuah kejahatan. Sebab, bisa memberi akibat buruk bagi seseorang. Lelaki gundul itu begitu, memberiku akibat buruk.
Bapakku meninggal belum genap satu tahun karena terjangkit Covid-19. Tapi, menurut ibu, itu tidak benar. Menurut ibu, bapak meninggal karena serangan jantung. Dokter yang merawat bapak mengatakan, dari gejala-gejalanya, kemungkinan besar bapak terpapar. Sebuah tindakan pengamanan harus diambil. Sambil menunggu hasil tes keluar, kami dipaksa menjalani serangkaian pemeriksaan, dan kami harus melakukan isolasi mandiri. Sebagai orang yang paham kesehatan, ibu paham itu semua. Kami menjalaninya dengan patuh. Termasuk ketika bapak harus dimakamkan dengan tata cara Covid-19. Rumah kami dijaga ketat. Kami tak boleh ke mana-mana. Dan tak satu pun dari tetangga maupun kerabat boleh datang melayat. Hasil tes keluar dua pekan kemudian: bapak positif. Menyusul hasil tes kami berdua yang menunjukkan hasil negatif.
“Bagaimana mungkin?” Ibu mengelak.
Hari-hari menjelang kepergian bapak, ibu tak pernah jauh dari bapak. Kalau bapak positif, seharusnya kami juga positif. Kami makan satu piring bersama. Kami minum dari gelas yang sama. Bagaimana mungkin? Ketika ia meminta penjelasan lebih, dokter tidak bicara banyak. Kata dokter, kondisi imunitas bapak sedang anjlok dan jelas sekali bahwa ia punya riwayat jantung yang mencemaskan.
Selepas kepergian bapak, kami didera kesedihan selama berhari-hari, berbulan-bulan. Kesedihan itu seperti wabah itu sendiri. Mengerikan dan terus merundung kami. Sampai kemudian kami benar-benar sadar bahwa hidup harus kami lanjutkan. Kami terus hidup sambil berusaha menemukan kebahagiaan kami. Dan sebuah usaha untuk menemukan kebahagiaan tidak selalu mudah. Wabah sedang hangat-hangatnya dan sepertinya masih akan berlangsung lama, ketika suatu malam, dengan mata berbinar-binar, ibu mengatakan, “Sepertinya ibu sudah menemukan kebahagiaan ibu.”
Ibu mengatakannya seolah-olah ia anak remaja yang baru saja mendapat teman kencan. Aku turut bahagia mendengar itu. Beberapa malam berselang, ibu mengundang lelaki itu ke rumah.
“Nanti, kalau teman ibu datang ke rumah, jangan pernah tampakkan batang hidungmu! Tetaplah berada dalam kamar! Kau tak boleh mengganggu!”
Bukankah akan lebih baik kalau ibu mengenalkan lelaki itu kepadaku, pikirku. Tapi aku tidak membantah. Dan ibu memang tidak suka dibantah. Dari dalam kamar, aku mengintip dari lubang kunci yang mengarah tepat ke ruang makan. Dan dari balik lubang kunci, aku bisa melihat lelaki itu datang dan melepaskan maskernya. Ia mengenakan setelan hitam mengkilap. Jas yang dikenakannya begitu besar, membuatku membayangkan ada banyak hal mengerikan di baliknya. Ia mengenakan dasi mungil berwarna gelap, yang lebih mirip tali penjerat leher ketimbang sebuah dasi. Lelaki itu duduk memenuhi kursi. Lalu ia tersenyum kepada ibu, dan ibu tersenyum kepadanya. Begitu melihat sosoknya untuk pertama kali, aku merasakan kebahagiaan yang kubangun untuk ibu runtuh ke lantai, hancur porak-poranda. Sulit membayangkan ibu jatuh hati kepada orang seperti itu. Apakah lelaki itu akan menggantikan posisi bapakku? Oh Tuhan, tidak, terima kasih.
Lelaki itu melirik ke arah ibu dan tersenyum sekali lagi. Ia mengedipkan matanya dengan nakal. Lambat laun, aku mengenali perasaanku: sebuah perasaan jijik. Mungkin itu tak adil. Melihat seseorang tanpa mengenalnya lebih dekat dan tiba-tiba kau merasa jijik. Aku membayangkan, barangkali perasaan itu sama seperti perasaan ketika aku melihat belatung yang mengerubungi bangkai tikus di bawah lemari beberapa waktu lalu. Berhari-hari setelah kejadian itu, aku tidak doyan makan. Itulah mengapa menjadi menjijikkan adalah sebuah kejahatan.
Malam itu, ibu menyiapkan begitu banyak makanan, seolah-olah jamuan makan malam itu akan dihadiri orang sekampung. Selama memasak, ibu melarangku mendekat. Ia mengenakan masker dan sarung tangan. Supaya higienis, katanya. Dan setelah semua masakan terhidang, ibu berseru, “Jangan sentuh apa pun yang ada di meja makan ini! Ini khusus untuk teman ibu! Mendekat pun jangan! Masuklah ke kamarmu! Teman ibu akan segera datang.”
“Kalau begitu, izinkan aku membuat roti lapis untuk teman ibu,” kataku. Ini hari bahagia ibu dan aku harus andil di dalamnya, pikirku.
“Lakukanlah dengan cepat,” ibu menyahut.
Dan roti lapis buatanku pun selesai dalam waktu kurang dari lima belas menit. Tak lama berselang, bel pintu berbunyi. Ibu menggusahku supaya masuk ke kamar. Setelah sekian lama, mungkin ini malam yang sangat berarti bagi ibu. Malam yang ia tunggu-tunggu. Dan ia tak mau aku mengganggunya. Aku mencoba memahami itu.
Ibu duduk berhadap-hadapan dengan lelaki itu. Lelaki itu di ujung meja yang satu, dan ibu berada di ujung yang lainnya. Menurutku, untuk sebuah kencan makan malam, jarak itu terlalu jauh. Tapi, pada masa pandemi seperti ini, menjaga jarak adalah hal terbaik. Mereka tampak mengobrol santai. Lelaki itu mengutarakan sesuatu dan ibu membalasnya. Setelah basa-basi sekitar sepuluh menit, ibu berdehem agak lantang, dan bilang: sudah waktunya makan.
Mereka berdoa sebelum menyentuh santapan. Dan begitu doa selesai, lelaki itu menyerukan sesuatu yang tak jelas, tapi dari ekspresi wajahnya, ia seperti berseru: Hore! Waktunya pesta!
Lelaki itu menyendok puding buah dalam sendokan besar dan menghabiskannya dalam tiga suapan. Selanjutnya ia menenggak jus jeruk sampai separuh gelas, kemudian menciptakan gunungan nasi dalam piringnya, mencongkel paha kalkun, menyendok sambal goreng kentang, menyendok beberapa potong tumis brokoli, menumpahkan ke gunungan nasi dan melahapnya. Selanjutnya, pai nanas tandas jadi bulan-bulanannya. Sekarang aku paham mengapa ibu masak begitu banyak dan aku tak boleh menyentuhnya. Ia harus memberi makan babi besar yang lapar luar biasa malam ini. Bahkan ibu sendiri tidak menyentuh menu-menu itu.
Melihat lelaki itu makan membuatku kenyang mendadak. Seleraku pada makanan yang terhidang di meja menguap begitu saja. Malam itu, ibu lebih mirip penonton yang terpukau menyaksikan lomba banyak-banyakan makan ketimbang terlibat dalam sebuah jamuan makan malam yang santun dan romantis. Aku membayangkan adegan selanjutnya, lelaki itu muntah di atas meja, tapi itu tidak terjadi. Seiring dengan waktu, makanan di atas meja seperti menghilang satu per satu. Dan aku begitu heran, mengapa perut itu tidak juga meledak.
Melihat lelaki itu makan dengan lahapnya, seolah-olah ibu mendapat kepuasan yang tak terlukiskan. Di atas meja makan, semua makanan telah disentuhnya. Menyisakan beberapa tangkup roti lapis buatanku. Sambil terus menggumam sesuatu yang tidak jelas, lelaki itu melirik roti lapis buatanku. Dan terjadilah….
Irisan tomat dalam roti itu, aku yang mengirisnya dengan penuh kasih. Begitu pelan, supaya bentuknya terlihat cantik dan simetris. Semula, aku membayangkan, seorang lelaki tampan dan berwibawa mengunyah roti lapis itu dengan santun, dengan kunyahan paling manis, tanpa menyisakan sedikit saus pun di bibir atau ujung jari. Tapi jelas, itu semua hanya omong kosong. Lelaki menjijikkan itulah yang menamatkan roti lapisku dengan cara paling sadis.
Aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi irisan tomat dalam setangkup roti lapis itu. Tubuh yang teriris tipis, terbaring tak berdaya, diselimuti daun selada yang dingin, ditindih daging panggang, becek oleh saus dan mayones. Sepasang tangan gemuk mencengkeram kuat-kuat roti lapis itu, tubuh yang tipis terjepit, terayun, dan masuk ke mulut beraroma busuk. Puluhan gigi menumbuknya bersama yang lain, bercampur liur, sampai halus, lalu meluncur lewat kerongkongan, teraduk dalam lambung. Begitu menderita. Mengalami perjalanan panjang dan berlendir. Dari usus ke usus, terkontaminasi bakteri, sebelum akhirnya terjun bebas, terempas ke lubang jamban. Perjalanan itu belum selesai, tapi aku enggan membayangkan adegan-adegan selanjutnya. Begitu mengerikan.
Dan, hoeeek…. Isi perutku hampir tumpah. Lelaki itu menghentikan kunyahannya dan menatap tajam ke arah pintu di mana aku mendekam di seberangnya sambil membekap mulut. Ibu memelototiku dari jarak jauh. Aku duduk bersandar pintu dengan dada berdegup. Beberapa menit kemudian, aku mendengar ibu tertawa-tawa. Aku kembali memasang mata dari balik lubang kunci. Lelaki itu sudah berdiri di balik meja dan sepertinya sedang siap-siap undur diri. Aku tak menyangka, dan tentu saja merasa lega, pesta menjijikkan itu begitu cepat selesai. Sebuah jamuan makan malam yang aneh. Seolah-olah ibu tak menginginkan apa pun, kecuali melihat lelaki itu makan semua masakannya dengan lahap.
Begitu lelaki itu pergi, ibu bergegas mengambil kantong sampah besar, dan dengan masker di wajah serta sarung tangan yang masih utuh membungkus jemarinya, ia memasukkan semua sisa makanan itu ke dalam kantong sampah, beserta wadahnya, beserta taplak mejanya. Mangkuk, piring, sendok, gelas, terdengar pecah berantakan dalam kantong plastik hitam. Ibu menyeret kantong sampah itu ke belakang, menumpahkan sebotol bensin, dan membakarnya. Suara ribut barang pecah belah menggema dari liang pembakaran. Aku berdiri terpana menyaksikan tingkah laku ibu yang ganjil.
“Apa artinya ini, Bu?” aku mendesak. Ibu masih saja gusar. Ia melepas sarung tangan, melepas masker, dan melemparkannya ke liang pembakaran. Ia bergegas menuju kamar mandi dan mengguyur tubuhnya selama hampir sepuluh menit. Begitu keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang disampirkan di bahu, ibu duduk dengan napas terengah-engah. Rambutnya yang masih basah sebagian menutupi wajah. Memberi kesan seolah-olah ia habis membunuh seseorang dan menyembunyikannya di suatu tempat.
“Lelaki itu, ia teman ibu di rumah sakit! Ibu tahu, dia salah satu oknum yang menukar hasil tes bapakmu! Sudah lama ibu menunggu kesempatan ini. Mungkin ibu tak berhasil mengundang dokter itu untuk makan malam, tapi setidaknya, ibu berhasil mengundangnya,” ibu mendengus penuh kesumat, wajahnya mengingatkanku pada banteng matador yang kelewat marah. “Suatu saat dokter itu akan mendapatkan bagiannya,” ia melanjutkan.
“Lalu?” Aku masih benar-benar bingung.
“Kau tahu mengapa ibu melarangmu menyentuh semua makanan itu?”
Aku menggeleng.
“Ada ludah-ludah pasien yang ibu rawat pada makanan-makanan itu.”
Aku menelan ludahku sendiri. Berusaha merangkai sesuatu. Dan sebuah gambar besar mulai muncul dalam kepalaku: ledakan sebuah dendam. Ibu berpikir, membalas dendam akan menambal luka hatinya beberapa waktu silam. Tapi ibu keliru. Nyatanya, membalas dendam adalah menciptakan luka baru yang lebih menganga.
Ibu tak tahu, ketika ibu membukakan pintu untuk temannya, aku sempat menyelinap ke meja makan untuk mencicipi saus puding buah, mencuil sedikit daging kalkun, serta mencomot beberapa potong brokoli. (*)
Bapakku meninggal belum genap satu tahun karena terjangkit Covid-19. Tapi, menurut ibu, itu tidak benar. Menurut ibu, bapak meninggal karena serangan jantung. Dokter yang merawat bapak mengatakan, dari gejala-gejalanya, kemungkinan besar bapak terpapar. Sebuah tindakan pengamanan harus diambil. Sambil menunggu hasil tes keluar, kami dipaksa menjalani serangkaian pemeriksaan, dan kami harus melakukan isolasi mandiri. Sebagai orang yang paham kesehatan, ibu paham itu semua. Kami menjalaninya dengan patuh. Termasuk ketika bapak harus dimakamkan dengan tata cara Covid-19. Rumah kami dijaga ketat. Kami tak boleh ke mana-mana. Dan tak satu pun dari tetangga maupun kerabat boleh datang melayat. Hasil tes keluar dua pekan kemudian: bapak positif. Menyusul hasil tes kami berdua yang menunjukkan hasil negatif.
“Bagaimana mungkin?” Ibu mengelak.
Hari-hari menjelang kepergian bapak, ibu tak pernah jauh dari bapak. Kalau bapak positif, seharusnya kami juga positif. Kami makan satu piring bersama. Kami minum dari gelas yang sama. Bagaimana mungkin? Ketika ia meminta penjelasan lebih, dokter tidak bicara banyak. Kata dokter, kondisi imunitas bapak sedang anjlok dan jelas sekali bahwa ia punya riwayat jantung yang mencemaskan.
Selepas kepergian bapak, kami didera kesedihan selama berhari-hari, berbulan-bulan. Kesedihan itu seperti wabah itu sendiri. Mengerikan dan terus merundung kami. Sampai kemudian kami benar-benar sadar bahwa hidup harus kami lanjutkan. Kami terus hidup sambil berusaha menemukan kebahagiaan kami. Dan sebuah usaha untuk menemukan kebahagiaan tidak selalu mudah. Wabah sedang hangat-hangatnya dan sepertinya masih akan berlangsung lama, ketika suatu malam, dengan mata berbinar-binar, ibu mengatakan, “Sepertinya ibu sudah menemukan kebahagiaan ibu.”
Ibu mengatakannya seolah-olah ia anak remaja yang baru saja mendapat teman kencan. Aku turut bahagia mendengar itu. Beberapa malam berselang, ibu mengundang lelaki itu ke rumah.
“Nanti, kalau teman ibu datang ke rumah, jangan pernah tampakkan batang hidungmu! Tetaplah berada dalam kamar! Kau tak boleh mengganggu!”
Bukankah akan lebih baik kalau ibu mengenalkan lelaki itu kepadaku, pikirku. Tapi aku tidak membantah. Dan ibu memang tidak suka dibantah. Dari dalam kamar, aku mengintip dari lubang kunci yang mengarah tepat ke ruang makan. Dan dari balik lubang kunci, aku bisa melihat lelaki itu datang dan melepaskan maskernya. Ia mengenakan setelan hitam mengkilap. Jas yang dikenakannya begitu besar, membuatku membayangkan ada banyak hal mengerikan di baliknya. Ia mengenakan dasi mungil berwarna gelap, yang lebih mirip tali penjerat leher ketimbang sebuah dasi. Lelaki itu duduk memenuhi kursi. Lalu ia tersenyum kepada ibu, dan ibu tersenyum kepadanya. Begitu melihat sosoknya untuk pertama kali, aku merasakan kebahagiaan yang kubangun untuk ibu runtuh ke lantai, hancur porak-poranda. Sulit membayangkan ibu jatuh hati kepada orang seperti itu. Apakah lelaki itu akan menggantikan posisi bapakku? Oh Tuhan, tidak, terima kasih.
Lelaki itu melirik ke arah ibu dan tersenyum sekali lagi. Ia mengedipkan matanya dengan nakal. Lambat laun, aku mengenali perasaanku: sebuah perasaan jijik. Mungkin itu tak adil. Melihat seseorang tanpa mengenalnya lebih dekat dan tiba-tiba kau merasa jijik. Aku membayangkan, barangkali perasaan itu sama seperti perasaan ketika aku melihat belatung yang mengerubungi bangkai tikus di bawah lemari beberapa waktu lalu. Berhari-hari setelah kejadian itu, aku tidak doyan makan. Itulah mengapa menjadi menjijikkan adalah sebuah kejahatan.
Malam itu, ibu menyiapkan begitu banyak makanan, seolah-olah jamuan makan malam itu akan dihadiri orang sekampung. Selama memasak, ibu melarangku mendekat. Ia mengenakan masker dan sarung tangan. Supaya higienis, katanya. Dan setelah semua masakan terhidang, ibu berseru, “Jangan sentuh apa pun yang ada di meja makan ini! Ini khusus untuk teman ibu! Mendekat pun jangan! Masuklah ke kamarmu! Teman ibu akan segera datang.”
“Kalau begitu, izinkan aku membuat roti lapis untuk teman ibu,” kataku. Ini hari bahagia ibu dan aku harus andil di dalamnya, pikirku.
“Lakukanlah dengan cepat,” ibu menyahut.
Dan roti lapis buatanku pun selesai dalam waktu kurang dari lima belas menit. Tak lama berselang, bel pintu berbunyi. Ibu menggusahku supaya masuk ke kamar. Setelah sekian lama, mungkin ini malam yang sangat berarti bagi ibu. Malam yang ia tunggu-tunggu. Dan ia tak mau aku mengganggunya. Aku mencoba memahami itu.
Ibu duduk berhadap-hadapan dengan lelaki itu. Lelaki itu di ujung meja yang satu, dan ibu berada di ujung yang lainnya. Menurutku, untuk sebuah kencan makan malam, jarak itu terlalu jauh. Tapi, pada masa pandemi seperti ini, menjaga jarak adalah hal terbaik. Mereka tampak mengobrol santai. Lelaki itu mengutarakan sesuatu dan ibu membalasnya. Setelah basa-basi sekitar sepuluh menit, ibu berdehem agak lantang, dan bilang: sudah waktunya makan.
Mereka berdoa sebelum menyentuh santapan. Dan begitu doa selesai, lelaki itu menyerukan sesuatu yang tak jelas, tapi dari ekspresi wajahnya, ia seperti berseru: Hore! Waktunya pesta!
Lelaki itu menyendok puding buah dalam sendokan besar dan menghabiskannya dalam tiga suapan. Selanjutnya ia menenggak jus jeruk sampai separuh gelas, kemudian menciptakan gunungan nasi dalam piringnya, mencongkel paha kalkun, menyendok sambal goreng kentang, menyendok beberapa potong tumis brokoli, menumpahkan ke gunungan nasi dan melahapnya. Selanjutnya, pai nanas tandas jadi bulan-bulanannya. Sekarang aku paham mengapa ibu masak begitu banyak dan aku tak boleh menyentuhnya. Ia harus memberi makan babi besar yang lapar luar biasa malam ini. Bahkan ibu sendiri tidak menyentuh menu-menu itu.
Melihat lelaki itu makan membuatku kenyang mendadak. Seleraku pada makanan yang terhidang di meja menguap begitu saja. Malam itu, ibu lebih mirip penonton yang terpukau menyaksikan lomba banyak-banyakan makan ketimbang terlibat dalam sebuah jamuan makan malam yang santun dan romantis. Aku membayangkan adegan selanjutnya, lelaki itu muntah di atas meja, tapi itu tidak terjadi. Seiring dengan waktu, makanan di atas meja seperti menghilang satu per satu. Dan aku begitu heran, mengapa perut itu tidak juga meledak.
Melihat lelaki itu makan dengan lahapnya, seolah-olah ibu mendapat kepuasan yang tak terlukiskan. Di atas meja makan, semua makanan telah disentuhnya. Menyisakan beberapa tangkup roti lapis buatanku. Sambil terus menggumam sesuatu yang tidak jelas, lelaki itu melirik roti lapis buatanku. Dan terjadilah….
Irisan tomat dalam roti itu, aku yang mengirisnya dengan penuh kasih. Begitu pelan, supaya bentuknya terlihat cantik dan simetris. Semula, aku membayangkan, seorang lelaki tampan dan berwibawa mengunyah roti lapis itu dengan santun, dengan kunyahan paling manis, tanpa menyisakan sedikit saus pun di bibir atau ujung jari. Tapi jelas, itu semua hanya omong kosong. Lelaki menjijikkan itulah yang menamatkan roti lapisku dengan cara paling sadis.
Aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi irisan tomat dalam setangkup roti lapis itu. Tubuh yang teriris tipis, terbaring tak berdaya, diselimuti daun selada yang dingin, ditindih daging panggang, becek oleh saus dan mayones. Sepasang tangan gemuk mencengkeram kuat-kuat roti lapis itu, tubuh yang tipis terjepit, terayun, dan masuk ke mulut beraroma busuk. Puluhan gigi menumbuknya bersama yang lain, bercampur liur, sampai halus, lalu meluncur lewat kerongkongan, teraduk dalam lambung. Begitu menderita. Mengalami perjalanan panjang dan berlendir. Dari usus ke usus, terkontaminasi bakteri, sebelum akhirnya terjun bebas, terempas ke lubang jamban. Perjalanan itu belum selesai, tapi aku enggan membayangkan adegan-adegan selanjutnya. Begitu mengerikan.
Dan, hoeeek…. Isi perutku hampir tumpah. Lelaki itu menghentikan kunyahannya dan menatap tajam ke arah pintu di mana aku mendekam di seberangnya sambil membekap mulut. Ibu memelototiku dari jarak jauh. Aku duduk bersandar pintu dengan dada berdegup. Beberapa menit kemudian, aku mendengar ibu tertawa-tawa. Aku kembali memasang mata dari balik lubang kunci. Lelaki itu sudah berdiri di balik meja dan sepertinya sedang siap-siap undur diri. Aku tak menyangka, dan tentu saja merasa lega, pesta menjijikkan itu begitu cepat selesai. Sebuah jamuan makan malam yang aneh. Seolah-olah ibu tak menginginkan apa pun, kecuali melihat lelaki itu makan semua masakannya dengan lahap.
Begitu lelaki itu pergi, ibu bergegas mengambil kantong sampah besar, dan dengan masker di wajah serta sarung tangan yang masih utuh membungkus jemarinya, ia memasukkan semua sisa makanan itu ke dalam kantong sampah, beserta wadahnya, beserta taplak mejanya. Mangkuk, piring, sendok, gelas, terdengar pecah berantakan dalam kantong plastik hitam. Ibu menyeret kantong sampah itu ke belakang, menumpahkan sebotol bensin, dan membakarnya. Suara ribut barang pecah belah menggema dari liang pembakaran. Aku berdiri terpana menyaksikan tingkah laku ibu yang ganjil.
“Apa artinya ini, Bu?” aku mendesak. Ibu masih saja gusar. Ia melepas sarung tangan, melepas masker, dan melemparkannya ke liang pembakaran. Ia bergegas menuju kamar mandi dan mengguyur tubuhnya selama hampir sepuluh menit. Begitu keluar dari kamar mandi, dengan handuk yang disampirkan di bahu, ibu duduk dengan napas terengah-engah. Rambutnya yang masih basah sebagian menutupi wajah. Memberi kesan seolah-olah ia habis membunuh seseorang dan menyembunyikannya di suatu tempat.
“Lelaki itu, ia teman ibu di rumah sakit! Ibu tahu, dia salah satu oknum yang menukar hasil tes bapakmu! Sudah lama ibu menunggu kesempatan ini. Mungkin ibu tak berhasil mengundang dokter itu untuk makan malam, tapi setidaknya, ibu berhasil mengundangnya,” ibu mendengus penuh kesumat, wajahnya mengingatkanku pada banteng matador yang kelewat marah. “Suatu saat dokter itu akan mendapatkan bagiannya,” ia melanjutkan.
“Lalu?” Aku masih benar-benar bingung.
“Kau tahu mengapa ibu melarangmu menyentuh semua makanan itu?”
Aku menggeleng.
“Ada ludah-ludah pasien yang ibu rawat pada makanan-makanan itu.”
Aku menelan ludahku sendiri. Berusaha merangkai sesuatu. Dan sebuah gambar besar mulai muncul dalam kepalaku: ledakan sebuah dendam. Ibu berpikir, membalas dendam akan menambal luka hatinya beberapa waktu silam. Tapi ibu keliru. Nyatanya, membalas dendam adalah menciptakan luka baru yang lebih menganga.
Ibu tak tahu, ketika ibu membukakan pintu untuk temannya, aku sempat menyelinap ke meja makan untuk mencicipi saus puding buah, mencuil sedikit daging kalkun, serta mencomot beberapa potong brokoli. (*)
1 komentar untuk "Kejahatan di Meja Makan | Cerpen Mashdar Zainal"
Renny Wahyuni
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar