TASDI kembali menelan ludah setelah membaca surat edaran Dinas Pendidikan yang bertulis semua sekolah harus tutup kembali, atau lebih tepatnya belajar dengan model daring diperpanjang lagi. Keputusan itu beredar setelah pemerintah mengumumkan penularan wabah terus bertambah. Ia tidak bisa mengelak dari edaran itu. Apalagi sekolahnya hanya sekolah swasta yang berdiri di kaki lembaga yayasan. Sebagai kepala sekolah, Tasdi pun pasrah dengan semua keputusan yang dibuat Dinas Pendidikan.
Tidak lama beredarnya surat itu, Tasdi langsung menugaskan Waka Kesiswaan kembali menerbitkan surat pemberitahuan wali murid agar anaknya melanjutkan belajar di rumah.
Dengan langkah lesu, Tasdi keluar dari ruang kepala sekolah. Ia berjalan di sekitar lingkungan sekolah. Pandangannya menerawang tiap ruang kelas yang tanpa murid, tanpa suara teriakan para siswa yang biasa ia dengar. Papan tulis tanpa kata-kata, lantai kelas berdebu, demikian juga lemari berisi buku-buku pelajaran berserakan.
Tiba-tiba saja kepala Tasdi pening, pandang matanya mengabur, dan badannya terasa lunglai. Ia duduk di depan kelas, meluruskan kakinya, menyandarkan tubuh pada dinding kelas.
“Pak Tasdi, tanda tangan suratnya,” suara waka kesiswaan terdengar lirih.
Dengan tarikan napas sedikit, Tasdi meraih surat itu. Suasana hening, Tasdi sejenak membaca isi surat. Ia serasa kehilangan kata-kata, tidak mengucap apapun. Dengan jemari yang gemetar ia bubuhkan tanda tangan di lembaran surat itu. Kemudian mengembalikan suratnya ke waka kesiswaan.
“Terima kasih, Pak,” ucap kembali waka kesiswaan, lalu meninggalkan Tasdi seorang diri.
Tasdi menghela napas. Meredam kegalauan demi tetap bisa berpikir untuk mencari jalan keluar sebaik-baiknya. Ia melanjutkan mengitari lingkungan sekolah. Ia merasa kasihan kepada muridnya yang terus belajar di rumah. Muridnya terus dijejali dengan materi-materi dari gurunya tanpa mempraktikkan hasil pelajaran yang biasa dilakukan di ruang kelas. Tidak hanya itu, ia pun merasa kasihan pada orangtua murid yang harus tetap membayar biaya sekolah tiap bulan. Namanya sekolah swasta, tanpa ada pemasukan dari orangtua murid, guru tidak menerima honor.
Sebelum kembali ke ruang kepala sekolah, Tasdi sejenak berdiri di depan jendela kelas. Ia usap peluh yang bertetesan di wajahnya. Ia lalu berjalan kembali dengan langkah yang gontai.
*****
Siang itu terik matahari nyaris serupa api yang membakar gigir jalan aspal. Pepohonan diam, seakan angin tak mau lagi memeluknya. Tasdi meninggalkan sekolah sembari menggendong tasnya yang lusuh. Ia pacu motor bebeknya dengan benak yang tetap kalut memikirkan nasib para murid. Seakan ia baru sadar, betapa banyak manusia yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak hanya satu, tetapi ratusan orang di sekolahnya. Kali ini tak hanya keringat yang menetes, tetapi juga airmata.
Matahari semakin terik. Di kejauhan mulai terlihat rumah yang ia tinggali bersama isterinya. Sesekali, kakinya harus turun untuk menyeimbangkan motornya karena jalan yang rusak terbengkalai selama musim wabah ini. Mungkin anggaran perbaikan jalan tersedot untuk mengatasi pandemi yang tengah melanda. Atau entahlah, persoalan itu bukan bidang pekerjaannya.
Setiba di rumah, seusai memarkir motor, Tasdi bergegas mencuci tangan, kebiasaan baru yang ia jalani selama masa pandemi. Istrinya yang mengenakan jilbab abu-abu keluar dari kamar menyambut kepulangan sang suami.
“Pulang gasik, Mas?” tanya sang istri.
“Iya, Bu. Sekolah tutup lagi, anak-anak belajar lagi di rumah,” jawab Tasdi sambil menyembunyikan raut muka yang galau.
“Tidak apa-apa, Mas. Memang situasinya seperti ini. Semoga wabah ini membawa hikmah ke kita. Saya buatkan kopi saja ya, Mas,” ucap istrinya sambil mengelus punggung Tasdi, lalu beranjak ke dapur.
Tasdi bertahan duduk seorang diri di ruang tamu. Dua kancing bajunya sengaja ia lepas. Dibiarkan terbuka. Tasdi mengipasi wajah dan lehernya yang berkucur keringat oleh terik matahari di sepanjang jalan.
Dengan tatapan mata menerawang ia masih terus berpikir bagaimana cara murid-muridnya bisa kembali belajar normal, dengan bertatap muka di sekolah. Namun benaknya selalu mentok. Kenyataannya Tasdi tidak bisa berbuat banyak. Ia tak berani melanggar instruksi pemerintah. Jika itu ia lakukan, dirinya dan sekolahnya pastilah mendapat teguran, bahkan sanksi dari pemerintah. Lebih parah lagi, jika ia langgar instruksi itu, sama artinya dengan mempertaruhkan nyawa manusia satu sekolah.
Istrinya kembali, sambil tangannya membawa segelas kopi dan sepotong ubi rebus.
“Ini kopi dan ubi rebusnya, Mas,”
“Terima kasih, Bu,” ucap Tasdi sambil sedikit mengangkat tubuhnya mendekat ke meja.
Dengan tangan yang masih lemas, Tasdi pelan-pelan mengangkat gelas kopi lalu meniup permukaannya. Ia menyeruput kopi dengan perlahan, meski sebenarnya masih terlalu panas. Tak seperti biasanya, kali ini kopinya terasa lebih pahit.
Waktu beranjak sore, meski cahaya matahari masih memantul di kilauan keringat kening Tasdi. Ia dan istrinya masih duduk bersama di ruang tamu. Sebisa yang ia mampu, dihadapan sang istri wajahnya terus mencoba menyembunyikan kekalutan dalam benaknya, seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi nyatanya tak sepenuhnya berhasil.
“Sudahlah, Mas, sudah, jangan terlalu dipikirkan. Sebentar lagi wabahnya pasti mereda, dan sekolah akan kembali normal.”
Tasdi hanya mengangguk dan tersenyum pada si istri. Ia tak ingin istrinya ikut bersedih karena persoalan yang dihadapinya. Ia raih ubi rebus yang ditawarkan sang istri, lalu mengunyahnya.
*****
Kemarau kemarin menyisakan guguran daun-daun yang berserak. Jalanan kering dan berdebu. Sepagi mungkin, seperti biasa Tasdi berangkat ke sekolah dengan mengendarai motor bebek tuanya.
Tasdi berhenti di sebuah perempatan ketika lampu rambu-rambu menyala merah. Kendaraan lain pun berbanjar di belakangnya. Deru knalpot mobil yang melintas membuat bising. Ada bunyi knalpot yang memekik seperti teriakan-teriakan sapi saat disembelih. Mobil-mobil lain melintas menepiskan angin.
Saat menunggu lampu hijau menyala, seorang anak melintas di depannya sambil memegang setumpuk koran. Diperhatikannya anak itu oleh Tasdi. Tak ia sangka, anak itu salah satu murid di sekolahnya. Setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, sambil menjalankan motornya, Tasi kembali menengok ke arah anak itu. Ia semakin yakin anak itu salah satu anak didiknya. Tak puas dengan penglihatannya, akhirnya Tasdi membelokkan motornya. Setiba di bahu jalan perempatan itu, Tasdi memakir motornya di sebelah becak.
“Titip motor sebentar ya, Kang,” pinta Tasdi sambil membungkukan tubuhnya.
Tasdi mendekati anak itu dengan wajah penuh tanya.
“Nak,” Tasdi menyapa anak itu.
Sontak anak itu kaget melihat Tasdi yang muncul menyapanya. Mereka berdua saling pandang.
“Loh Bapak Kepala Sekolah. Bapak lagi ngapain di sini?” si anak itu yang kaget itu bertanya.
“Tadi Bapak lihat kamu pas berhenti di perempatan,” jawab Tasdi sambil tangannya menepuk pundak anak itu.
“Sejak kapan kamu berjualan koran di sini?”
“Sejak seminggu lalu, Pak. Saya berjualan koran untuk membantu orangtua. Ayah saya baru saja dikenai PHK oleh pabriknya.”
Tasdi yang merasa iba, tidak melanjutkan pembicaraan kecuali terus memandangi anak itu. Akhirnya, ia pun pamit ke anak itu setelah membeli beberapa koran yang dijajakan anak itu. Tasdi melanjutkan perjalanan. Dibawah langit yang terang dan panas itu, wajah Tasdi semakin mendung. (*)
Posting Komentar untuk "Kepsek Tasdi | Cerpen Aditya Setiawan"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar