Hanya ada satu jalan yang datar membelah wilayah RT 04 RW 11 di kampung ini. Saat musim kemarau, tanah mendebu beterbangan di sekitar, bahkan sampai ke teras depan rumah. Bila ingin selalu terlihat bersih, masing-masing pemiliknya harus menyapunya saat pagi dan sore.
Bila sedang musim hujan, sangat becek, membuat tidak nyaman. Percikan-percikan lumpur mengotori teras depan. Nyatalah, dituntut untuk rajin mengepel. Selain itu, bila berjalan berpayung atau tidak, lumpur-lumpur mengotori kaki, juga pakaian yang dipakai. Bahkan, kendaraan roda dua yang lewat pun sering slip—sering didorong.
Warga di kampung ini mayoritas bertani, tinggal agak berjauhan, berselang-seling tanah kosong atau sepetak kebun yang tak luas. Rata-rata di depan dan belakang rumah-rumah ada pohon, meskipun tidak banyak, hanya dua sampai tiga batang. Jumlah rumah 30 unit saja, lebih banyak yang dibangun dengan tembok, beberapa masih panggung dengan dinding gedek atau papan. Salah satu yang tinggal di rumah berdinding gedek adalah Mak Iroh yang buta huruf, nenek-nenek. Sendirian dan mulai pikun.
Di kampung ini ada beberapa orang yang memiliki kendaraan roda dua, tetapi tidak ada yang memiliki kendaraan roda empat. Bila berkeperluan ke pasar, sudah umum— anak-anak laki-laki atau perempuan, atau dewasa laki-laki atau perempuan—berjalan kaki, kemudian naik angkutan perdesaan.
Oh iya, di sini ada masjid kecil yang tidak cukup menampung banyak jamaah, hanya ramai saat Maghrib ketika segelintir anak belajar mengaji—dan saat Tarawih bulan puasa seperti sekarang. Setiap Kamis sore, dipakai ibu-ibu untuk pengajian. Sementara, untuk mengikuti shalat Jumat, anak-anak lelaki sampai kakek-kakek, biasa berombongan berjalan kaki pergi ke masjid yang lumayan besar milik RW sebelah.
Menjelang Lebaran tahun ini, Mak Iroh ketar-ketir. Pada tiga hari sebelum Idul Fitri, memang sudah menerima uang zakat mal dan zakat fitrah selaku mustahik. Namun, setelah dihitung-hitung, hanya cukup untuk membeli baju kebaya, kain samping, membuat beberapa jenis kue penganan, dan beras.
Satu tahun lalu adalah yang terakhir kali ada yang menjadi donator rutin khusus untuk kebutuhan Lebaran Mak Iroh, yaitu Pak Midi, orang paling kaya untuk ukuran di kampung ini—yang punya tanah dan sawah cukup luas. Namun, enam bulan yang lalu telah tiada karena uzur.
Bagi sebagian ibu-ibu, setelah memasak untuk berbuka puasa setiap sore adalah waktu senggang. Pagi sampai siang bekerja di sawah orang atau di kebun orang—kecuali Mak Iroh yang tidak lagi diajak bekerja dengan alasan sudah kurang bertenaga serta pelupa karena setiap pembayaran upah ada kalanya menjadi masalah.
Ada salah seorang warga tetangga terdekat Mak Iroh bernama Bi Anah, di depan rumahnya ada tanah kosong sempit, terdapat bangku panjang dari bambu, cukup untuk enam orang duduk. Ya, bangku panjang itu selain menjadi tempat lesehan, juga menjadi pusat gosip dari segala sumber gosip di RT ini. Ironisnya, Bi Isar yang bersuamikan ketua RT pun menjadi salah satu anggota gosip, malah mendapat julukan ketua. Hal apa pun dibicarakan, rumah tangga orang, dan tentu, persiapan merayakan Lebaran tahun ini.
“Selain Pak Midi yang menjadi donator rutin Lebaran khusus Mak Iroh, sekarang tidak ada lagi ya. Namanya orang kan tidak sama sifat dan karakter. Apalagi, dengan suami saya yang hanya tukang ojek kampung, bagaimana bisa membantu?” Seperti biasa, Bi Isar yang pertama kali membuka pembicaraan pada sore itu.
“Bi Ae sih mendingan ya. Anak-anaknya yang sudah mandiri terbilang maju, jadi setiap tahun bisa merayakan Lebaran dengan layak,” kata Bi Isar melanjutkan.
“Iya, tapi sudah, jangan nyinyir. Itu kan rezekinya,” kata Bi Anah.
Kali ini, Mak Iroh gatal, ikut nimbrung, “Wah Lebaran sekarang, saya pasrah saja. Sepertinya tipis harapan. Padahal, saya pun ingin sama dengan kebanyakan orang, merayakannya dengan membuat ketupat dan opor ayam.”
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Siapa tahu esok atau lusa ada yang memberi uang,” ujar Bi Isar.
Bi Anah kembali bicara, “Bagaimana dengan rencana besok sore? Kalau saya, akan pergi ke saudara di kampung sebelah. Kebetulan adik mengundang datang, katanya ada rezeki.”
Bi Isar mengingatkan. “Eh Bi Anah, bukankah adikmu jauh tempatnya? Jalannya banyak yang menikung, nanjak, juga ada yang masih berupa batu. Sama yang bawa motornya pesan ya, hati-hati.”
*****
“Kan kemarin juga sudah bilang, mau ke kampung sebelah, ke saudaranya. Akan dikasih uang Lebaran.”
“Oh iya saya lupa.” Mak Iroh tersipu.
Saat keduanya sedang bercakap-cakap, lewatlah suami Bi Isar, baru mengantarkan penumpang. Bi Isar menghentikan laju motor suaminya. “Hari ini mendapat info donator untuk Lebaran nggak?”
“Ya, tidak tahulah….”
“Ya usaha dong….”
Suami Bi Isar melanjutkan berkata, “Kalau mau, ke masjid agung kecamatan ya. Tapi, harus mendapat kupon penerima zakat mal dulu, tapi katanya juga suka habis. Entahlah, mungkin panitia mengutamakan yang kenal dahulu. Jadi malas dibuatnya.”
Bi Isar membalas, “Kalau begitu ya sudah, tidak usah.”
Suami Bi Isar pun berlalu terlihat tergesa. Tak lama, Mak Iroh pun pulang. Ya, Mak Iroh dan Bi Isar merasa tidak seru bergosip karena tak ada Bi Anah.
*****
“Mak, Lebaran ini saya tidak bikin opor ayam karena suami pulang besok pas Lebaran. Mak bikin tidak?”
Mak Iroh terkaget. “Mak juga tidak bikin. Kan sekarang sudah tak ada lagi Pak Midi. Tidak ada sisa dari uang zakat fitrah dan zakat mal untuk membuat opor ayam dan ketupat.”
Tiba-tiba, tercium aroma opor ayam yang sungguh menggoda selera. Bukan Mak Iroh saja ternyata yang mencium, tetapi juga Epon dan anaknya. Mak Iroh menduga, tentulah aroma itu berasal dari arah rumah Bi Anah. Ada bubungan asap kayu bakar dari pinggir kiri halaman rumahnya.
Mak Iroh mencoba abai, meneruskan menyapu luruhan daun-daun dari satu-satunya pohon rambutan yang dimilikinya hingga menggunduk lalu membakarnya. Aroma opor ayam berkurang karena berpadu dengan asap dari pembakaran daun.
Anak Epon tergiur dengan aroma makanan khas Lebaran itu. Bahkan, sampai merengek menangis ingin opor ayam beserta ketupatnya. Epon membujuk dengan memberi selembar uang 2.000 agar jajan saja ke warung terdekat untuk camilan berbuka nanti. Namun, tak mempan. Bahkan, meski uang sudah ditambah lagi dengan selembar 2.000, tetap saja menangis.
Mak Iroh yang tidak tega pada cucunya berinisiatif akan meminta saja serantang opor kepada Bi Anah yang membuatnya. Epon mencegah, “Tidak usahlah, malu. Bukankah kita tidak ada ikatan kerabat dengannya?” Namun, Mak Iroh tak hirau, tetap melangkah demi rasa sayangnya pada cucu.
Tiba di halaman pinggir kiri rumah Bi Anah, tampak tangan Bi Anah sedang memindahkan sedikit demi sedikit opor ayam matang dengan spatula dari satu kuali ke mangkuk. Bi Isar pun tampak sedang membetulkan nyala kayu bakar pada satu tungku dadakan. Di atas tungku ada satu panci besar, berisi ketupat yang sedang dimasak—sementara yang sudah matang bergelantungan di bambu jemuran.
Ah, rupanya Bi Anah mengerti maksud kedatangan Mak Iroh. Bi Anah berbaik hati memberikan serantang opor, tetapi tidak memberinya ketupat. Mak Iroh merasakan ada yang mengganjal, tetapi sungkan untuk meminta ketupat. Mak Iroh pun tidak berlama-lama, setelah berucap terima kasih segera pamit. Cucu tentu sedang menunggu kabar di rumahnya.
Saat tiba, cucunya menyambut. Tetapi, kurang puas karena Mak Iroh tidak membawa serta ketupat. Cucunya kembali merengek. Mak Iroh angkat tangan, sudah merasa malu bila harus ke Bi Anah lagi. Meskipun begitu, serantang opor itu dibawa pula oleh Epon ke rumahnya di ujung jalan ini. Mak Iroh pun masuk ke rumah dengan air muka sedih.
Tak lama, azan Maghrib pun berkumandang, malam takbir.
Mak Iroh masih berharap akan ada tamu donatur atau tetangga yang berkirim opor dan ketupat. Ah, tetapi meskipun telah menunggu hingga azan Isya terdengar, tetap tak ada yang bertandang. Mak Iroh pun sangsi—apakah besok akan ada yang berkirim opor ayam berikut ketupat atau tidak? (*)
Posting Komentar untuk "Opor Ayam dan Ketupat | Cerpen Gandi Sugandi"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar