Sejak daerah tempatku bekerja dinyatakan sebagai zona merah, aku selalu menaruh curiga pada Barto, kucing kesayanganku yang sudah dua tahun menemaniku di kontrakan ini.
—
EKORNYA yang meliuk panjang berparam bulu halus-tebal yang berwarna kuning dan putih itu tak lagi memunculkan keindahan di mataku. Setiap kali ia pulang ke kontrakan dan mengeong untuk makan, akhir-akhir ini kerap kuabaikan hingga ia hanya meringkuk di pojok dapur dengan mata redup dan lidah menjilat-jilat kaki depan. Aku baru memberinya makan bila ia ada di sana.
Aku menjaga jarak dengan kucing yang sebelumnya selalu tidur bersamaku itu. Berkali-kali ia berusaha masuk ke kamar, tapi selalu kuusir hingga ia pergi sambil mengibaskan ekornya dengan gerak yang lemas. Seiring persebaran Covid-19 makin merebak, gerak Barto makin kubatasi. Memasuki bulan puasa, ia hanya kuperbolehkan pulang hingga di teras. Ia sering mengeong keras bermaksud hendak masuk sambil ke sana kemari seperti memanggil-manggil namaku. Aku sekadar mengintip dari kaca jendela dan melemparinya makanan sekadarnya.
Setahuku Barto punya banyak betina di sepanjang gang pepaya ini. Setiap kali keluar rumah, tentu ia akan bersentuhan dengan betinanya. Di antara betina-betina itu bisa saja salah satunya milik orang yang positif Covid-19. Jika demikian, tubuh Barto sedang membawa virus mematikan itu. Aku tak ingin kucing itu menularkannya padaku. Sebab, jika itu terjadi, aku pasti sakit keras dan meninggal. Kalaupun tidak demikian, aku akan menularkan virus itu kepada yang lain. Lebih-lebih kepada ibu yang berada nun jauh di sana ketika nanti aku pulang kampung. Aku tak ingin hal itu terjadi.
“Maaf, Barto. Untuk sementara, keadaan dunia sedang mengubah keakraban dan kebersamaan kita saat ini,” batinku di balik kaca jendela. Barto mengeong mondar-mandir di luar.
Aku membayangkan malam Lebaran di kampung: ibu duduk di depan tungku, menyorong carahan kayu nyamplung kering hingga apinya berkobar, membuat air dalam panci bergelegak. Mengepulkan asap putih yang membubung. Keringat ibu membutir di dahinya, menduga-duga satu atau dua jam lagi ketupat yang dimasaknya akan matang.
Sedang di luar, langit kelam ditaburi pecahan cahaya kembang api dan jalanan berbedak sobekan kertas halus dari petasan yang meledak, asap bau potasium memenuhi pembauan. Aroma kue dan masakan dari dapur-dapur seolah berpapasan karib dan saling sapa dengan suara takbir dan tahmid yang melengking lembut dari speaker surau dan masjid-masjid.
Biasanya ibu akan mengingatkanku dengan tatap mata suram. Bahwa besok sesudah salat Id mesti berziarah ke makam ayah, membawa bunga, dupa, dan membaca Fatihah.
“Ah! Tahun ini tak mungkin!”
Aku menutup jendela. Menjatuhkan tubuh di kasur. Membenamkan wajah dalam impitan bantal-bantal, merasakan lelehan dingin di pipi dan di kejauhan ada sosok ibu seperti memanggil-manggil namaku dengan suara serak.
“Meooong!” tiba-tiba suara Barto di dekat telinga. Aku sangat terkejut setelah memindah bantal dan membuka mata, ternyata ia berada di samping kepalaku. Sontak aku berdiri dan mengibaskannya hingga ia sedikit terlempar ke luar pintu.
“Huhh! Virus!”
Ibu mengabarkan semuanya melalui telepon bahwa dia sudah menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan Lebaran sejak tanggal 15 Ramadan. Kue tupaserat, bajik, halwa, dan kue khas Madura lainnya yang menjadi kesukaanku telah dia kemas rapi dalam stoples karet bergambar pecahan kelopak bunga yang ibu beli atas permintaanku dulu ketika usiaku masih 5 tahun.
Rumah sudah dia bersihkan dan bagian eksteriornya telah dicat ungu sesuai dengan permintaanku beberapa minggu sebelum puasa. Ibu menghabiskan separo uang yang kukirimkan beberapa waktu lalu untuk membeli cat dan mengongkos tukang.
Tak hanya itu, ibu juga sudah memesan rentengan petasan kepada Man Umar yang sejak dulu memang dikenal sebagai pedagang petasan paling bermutu di desaku. Ingatan ibu masih tajam. Bahwa aku gemar menyulut petasan pada malam Lebaran atau seusai salat Id di surau Kiai Hanif.
“Pokoknya kamu harus pulang. Semua kesukaanmu di Hari Lebaran sudah ibu siapkan dengan susah payah, Cong!” pinta ibu di ujung telepon dengan suara lembut yang diulang dua kali. Aku menjelaskan dengan rinci kenapa Lebaran tahun ini tidak bisa pulang. Ibu menyimak dengan baik semua penjelasanku, tapi pada akhirnya tetap memaksaku untuk pulang. Ibu tidak tahu bahwa pandemi benar-benar ada. Dan dia malah mengabarkan beberapa teman sepermainanku yang nekat mudik dengan sembunyi-sembunyi. Ada yang ikut truk pengangkut barang, ada yang ikut travel dengan harga mahal, dan ada yang menempuh jalur laut melalui sampan kecil yang penuh risiko.
“Semua pulang demi berlebaran di kampung. Mereka rela berkorban demi berlebaran dengan keluarga. Kamu harus seperti mereka,” suara ibu agak nyaring. Sejenak kami terdiam. Hanya napas ibu yang terdengar naik turun.
Di akhir percakapan aku hanya minta kepada ibu untuk mempertimbangkan semua itu. Aku yang semula tak ingin mudik, sedikit demi sedikit muncul keinginan untuk mudik. Tapi, aku bimbang, khawatir aku membawa virus yang malah membawa pengantar kematian bagi ibu.
Aktivitas menarik yang bisa mengusir kegalauan tidak lain adalah menyiram bunga. Sore itu pikiranku berkecamuk oleh dua keinginan antara pulang kampung atau tidak. Wajah ibu selalu berkelebat di kelopak mata. Seolah aku durhaka bila di Hari Lebaran nanti tidak bersamanya. Aku memaklumi itu karena ibu hanya hidup sendirian. Setahun tanpaku tentu memunculkan rasa rindu yang mendalam dari seorang ibu kepada anak satu-satunya. Tapi, keadaan pandemi membuatku bimbang. Aku galau dan gundah.
Kuambil bor berleher mirip angsa. Mulai menyiram bunga pada pukul 4 sore. Selain mengusir galau, hitung-hitung sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ujung bor yang dipenuhi lubang-lubang halus memancarkan air dengan alir halus yang menyebar lebar ke sekitar mirip kelopak bunga yang panjang. Aku memulainya dari jenis bunga-bunga yang kecil hingga jenis bunga yang besar. Angin sore bertiup lirih. Perlahan kegalauanku pudar.
Ketika kali keenam aku menyalin air ke tabung bor, tanpa kuduga Barto datang dan langsung menggesek betisku. Aku melompat terkejut seraya melepas bor hingga jatuh ke tanah, menimpa sebagian bunga.
“Huh! Barto!” bentakku seketika. Barto mengeong dan kembali berjalan menuju betisku dengan tatap yang lembut seperti memintaku agar menggendong tubuhnya seperti bulan-bulan lalu ketika belum terjadi pandemi. Aku berusaha menghindar, tapi ia mengejarku.
“Pergi kau, Barto. Kau pasti membawa virus,” kataku nyaring.
Ia terus mengeong, berlari menyusuri rerimbun bunga hingga ia melompat ke luar pagar di bagian timur.
Ketika berbuka puasa, aku baru sadar, sudah tiga hari Barto tak kuberi makan. Mungkin tadi ia datang untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Aku sedikit kasihan pada kucing itu. Saat kulihat ke luar pagar, ternyata sudah tidak ada.
Saat aku melangkah untuk mencari Barto ke arah gang pepaya, tiba-tiba ponsel berbunyi, ada panggilan dari ibu. Saat kuterima, suara pertama yang kudengar adalah isak tangis. Aku terkejut. Sejenak tak ada kata-kata.
“Kenapa ibu seperti menangis?” aku membuka percakapan.
“Apa kamu tetap tak ingin mudik, Nak?” ibu balik bertanya.
Sebentar aku balik masuk ke pekarangan dan mengunci pintu pagar.
“Lebaran sudah di depan mata, Nak! Jika kamu tak punya uang, biar perhiasan ibu kujual dan uangnya akan kukirimkan kepadamu.”
“Oh, tidak, Bu, bukan karena saya tak punya uang.”
“Lalu karena apa?”
“Begini, Bu. Sekarang ada anjuran agar tidak mudik dulu. Semua orang lebih baik di rumah saja. Agar tidak terkena virus korona, Bu. Virus itu sangat mematikan.”
Ibu hanya terdiam, mungkin bimbang mau menjawab apa. Suara isaknya masih terdengar.
Berlebaran di tanah rantau cukup membuat rasa rindu kepada keluarga begitu tajam. Tapi, tahun ini, semua itu harus terjadi demi keselamatan bersama. Subuh hari ketika gema takbir, tahlil, dan tahmid kemenangan dilantunkan di masjid-masjid, kerinduanku kepada ibu makin mengiris batin. Tak terasa air mata berlinang. Segera kupanggil dia. Aku ingin mendengar suaranya di hari yang fitri ini.
Setelah tiga kali panggilan, akhirnya baru diterima. Aku bisa meminta maaf padanya. Suara ibu serak dan lemas. Isak tangisnya kembali kudengar, ternyata ibu sedang sakit. Tapi, meski dirinya sakit, ibu sudah menyiapkan ketupat kesukaanku sejak semalam.
“Saya kan tidak ada di situ. Lalu bagaimana dengan ketupat itu, Bu?”
“Nanti sesudah salat Id, aku akan memanggil bocah-bocah ke sini. Biar mereka yang makan ketupat ini. Aku akan menganggap mereka adalah kamu yang lain yang kini bersamaku,” suara ibu lirih, beriring isak. Tak terasa air mataku juga tumpah. Setelah puas kami berbincang, lalu telepon kumatikan. Dadaku gundah karena teringat ibu. Demi sedikit mengobati kegundahan itu, aku menuju pekarangan, menyejukkan mata dengan melihat bunga-bunga berkeramas embun.
Setelah beberapa langkah di antara barisan bunga melati, aku terkejut melihat Barto terkulai lemas. Semut-semut sudah memenuhi ekornya. Aku berteriak memanggil namanya. Tapi tak berani menyentuh. Aku tetap khawatir ia membawa virus.
Suara takbir, tahlil, dan tahmid masih menggema. Aku bingung bagaimana harus meminta maaf pada kucing kesayanganku itu. (*)
Aku menjaga jarak dengan kucing yang sebelumnya selalu tidur bersamaku itu. Berkali-kali ia berusaha masuk ke kamar, tapi selalu kuusir hingga ia pergi sambil mengibaskan ekornya dengan gerak yang lemas. Seiring persebaran Covid-19 makin merebak, gerak Barto makin kubatasi. Memasuki bulan puasa, ia hanya kuperbolehkan pulang hingga di teras. Ia sering mengeong keras bermaksud hendak masuk sambil ke sana kemari seperti memanggil-manggil namaku. Aku sekadar mengintip dari kaca jendela dan melemparinya makanan sekadarnya.
Setahuku Barto punya banyak betina di sepanjang gang pepaya ini. Setiap kali keluar rumah, tentu ia akan bersentuhan dengan betinanya. Di antara betina-betina itu bisa saja salah satunya milik orang yang positif Covid-19. Jika demikian, tubuh Barto sedang membawa virus mematikan itu. Aku tak ingin kucing itu menularkannya padaku. Sebab, jika itu terjadi, aku pasti sakit keras dan meninggal. Kalaupun tidak demikian, aku akan menularkan virus itu kepada yang lain. Lebih-lebih kepada ibu yang berada nun jauh di sana ketika nanti aku pulang kampung. Aku tak ingin hal itu terjadi.
“Maaf, Barto. Untuk sementara, keadaan dunia sedang mengubah keakraban dan kebersamaan kita saat ini,” batinku di balik kaca jendela. Barto mengeong mondar-mandir di luar.
*****
Aku membayangkan malam Lebaran di kampung: ibu duduk di depan tungku, menyorong carahan kayu nyamplung kering hingga apinya berkobar, membuat air dalam panci bergelegak. Mengepulkan asap putih yang membubung. Keringat ibu membutir di dahinya, menduga-duga satu atau dua jam lagi ketupat yang dimasaknya akan matang.
Sedang di luar, langit kelam ditaburi pecahan cahaya kembang api dan jalanan berbedak sobekan kertas halus dari petasan yang meledak, asap bau potasium memenuhi pembauan. Aroma kue dan masakan dari dapur-dapur seolah berpapasan karib dan saling sapa dengan suara takbir dan tahmid yang melengking lembut dari speaker surau dan masjid-masjid.
Biasanya ibu akan mengingatkanku dengan tatap mata suram. Bahwa besok sesudah salat Id mesti berziarah ke makam ayah, membawa bunga, dupa, dan membaca Fatihah.
“Ah! Tahun ini tak mungkin!”
Aku menutup jendela. Menjatuhkan tubuh di kasur. Membenamkan wajah dalam impitan bantal-bantal, merasakan lelehan dingin di pipi dan di kejauhan ada sosok ibu seperti memanggil-manggil namaku dengan suara serak.
“Meooong!” tiba-tiba suara Barto di dekat telinga. Aku sangat terkejut setelah memindah bantal dan membuka mata, ternyata ia berada di samping kepalaku. Sontak aku berdiri dan mengibaskannya hingga ia sedikit terlempar ke luar pintu.
“Huhh! Virus!”
*****
Ibu mengabarkan semuanya melalui telepon bahwa dia sudah menyiapkan hal-hal yang berhubungan dengan Lebaran sejak tanggal 15 Ramadan. Kue tupaserat, bajik, halwa, dan kue khas Madura lainnya yang menjadi kesukaanku telah dia kemas rapi dalam stoples karet bergambar pecahan kelopak bunga yang ibu beli atas permintaanku dulu ketika usiaku masih 5 tahun.
Rumah sudah dia bersihkan dan bagian eksteriornya telah dicat ungu sesuai dengan permintaanku beberapa minggu sebelum puasa. Ibu menghabiskan separo uang yang kukirimkan beberapa waktu lalu untuk membeli cat dan mengongkos tukang.
Tak hanya itu, ibu juga sudah memesan rentengan petasan kepada Man Umar yang sejak dulu memang dikenal sebagai pedagang petasan paling bermutu di desaku. Ingatan ibu masih tajam. Bahwa aku gemar menyulut petasan pada malam Lebaran atau seusai salat Id di surau Kiai Hanif.
“Pokoknya kamu harus pulang. Semua kesukaanmu di Hari Lebaran sudah ibu siapkan dengan susah payah, Cong!” pinta ibu di ujung telepon dengan suara lembut yang diulang dua kali. Aku menjelaskan dengan rinci kenapa Lebaran tahun ini tidak bisa pulang. Ibu menyimak dengan baik semua penjelasanku, tapi pada akhirnya tetap memaksaku untuk pulang. Ibu tidak tahu bahwa pandemi benar-benar ada. Dan dia malah mengabarkan beberapa teman sepermainanku yang nekat mudik dengan sembunyi-sembunyi. Ada yang ikut truk pengangkut barang, ada yang ikut travel dengan harga mahal, dan ada yang menempuh jalur laut melalui sampan kecil yang penuh risiko.
“Semua pulang demi berlebaran di kampung. Mereka rela berkorban demi berlebaran dengan keluarga. Kamu harus seperti mereka,” suara ibu agak nyaring. Sejenak kami terdiam. Hanya napas ibu yang terdengar naik turun.
Di akhir percakapan aku hanya minta kepada ibu untuk mempertimbangkan semua itu. Aku yang semula tak ingin mudik, sedikit demi sedikit muncul keinginan untuk mudik. Tapi, aku bimbang, khawatir aku membawa virus yang malah membawa pengantar kematian bagi ibu.
*****
Aktivitas menarik yang bisa mengusir kegalauan tidak lain adalah menyiram bunga. Sore itu pikiranku berkecamuk oleh dua keinginan antara pulang kampung atau tidak. Wajah ibu selalu berkelebat di kelopak mata. Seolah aku durhaka bila di Hari Lebaran nanti tidak bersamanya. Aku memaklumi itu karena ibu hanya hidup sendirian. Setahun tanpaku tentu memunculkan rasa rindu yang mendalam dari seorang ibu kepada anak satu-satunya. Tapi, keadaan pandemi membuatku bimbang. Aku galau dan gundah.
Kuambil bor berleher mirip angsa. Mulai menyiram bunga pada pukul 4 sore. Selain mengusir galau, hitung-hitung sambil menunggu waktu berbuka puasa. Ujung bor yang dipenuhi lubang-lubang halus memancarkan air dengan alir halus yang menyebar lebar ke sekitar mirip kelopak bunga yang panjang. Aku memulainya dari jenis bunga-bunga yang kecil hingga jenis bunga yang besar. Angin sore bertiup lirih. Perlahan kegalauanku pudar.
Ketika kali keenam aku menyalin air ke tabung bor, tanpa kuduga Barto datang dan langsung menggesek betisku. Aku melompat terkejut seraya melepas bor hingga jatuh ke tanah, menimpa sebagian bunga.
“Huh! Barto!” bentakku seketika. Barto mengeong dan kembali berjalan menuju betisku dengan tatap yang lembut seperti memintaku agar menggendong tubuhnya seperti bulan-bulan lalu ketika belum terjadi pandemi. Aku berusaha menghindar, tapi ia mengejarku.
“Pergi kau, Barto. Kau pasti membawa virus,” kataku nyaring.
Ia terus mengeong, berlari menyusuri rerimbun bunga hingga ia melompat ke luar pagar di bagian timur.
Ketika berbuka puasa, aku baru sadar, sudah tiga hari Barto tak kuberi makan. Mungkin tadi ia datang untuk mengisi perutnya yang keroncongan. Aku sedikit kasihan pada kucing itu. Saat kulihat ke luar pagar, ternyata sudah tidak ada.
Saat aku melangkah untuk mencari Barto ke arah gang pepaya, tiba-tiba ponsel berbunyi, ada panggilan dari ibu. Saat kuterima, suara pertama yang kudengar adalah isak tangis. Aku terkejut. Sejenak tak ada kata-kata.
“Kenapa ibu seperti menangis?” aku membuka percakapan.
“Apa kamu tetap tak ingin mudik, Nak?” ibu balik bertanya.
Sebentar aku balik masuk ke pekarangan dan mengunci pintu pagar.
“Lebaran sudah di depan mata, Nak! Jika kamu tak punya uang, biar perhiasan ibu kujual dan uangnya akan kukirimkan kepadamu.”
“Oh, tidak, Bu, bukan karena saya tak punya uang.”
“Lalu karena apa?”
“Begini, Bu. Sekarang ada anjuran agar tidak mudik dulu. Semua orang lebih baik di rumah saja. Agar tidak terkena virus korona, Bu. Virus itu sangat mematikan.”
Ibu hanya terdiam, mungkin bimbang mau menjawab apa. Suara isaknya masih terdengar.
*****
Berlebaran di tanah rantau cukup membuat rasa rindu kepada keluarga begitu tajam. Tapi, tahun ini, semua itu harus terjadi demi keselamatan bersama. Subuh hari ketika gema takbir, tahlil, dan tahmid kemenangan dilantunkan di masjid-masjid, kerinduanku kepada ibu makin mengiris batin. Tak terasa air mata berlinang. Segera kupanggil dia. Aku ingin mendengar suaranya di hari yang fitri ini.
Setelah tiga kali panggilan, akhirnya baru diterima. Aku bisa meminta maaf padanya. Suara ibu serak dan lemas. Isak tangisnya kembali kudengar, ternyata ibu sedang sakit. Tapi, meski dirinya sakit, ibu sudah menyiapkan ketupat kesukaanku sejak semalam.
“Saya kan tidak ada di situ. Lalu bagaimana dengan ketupat itu, Bu?”
“Nanti sesudah salat Id, aku akan memanggil bocah-bocah ke sini. Biar mereka yang makan ketupat ini. Aku akan menganggap mereka adalah kamu yang lain yang kini bersamaku,” suara ibu lirih, beriring isak. Tak terasa air mataku juga tumpah. Setelah puas kami berbincang, lalu telepon kumatikan. Dadaku gundah karena teringat ibu. Demi sedikit mengobati kegundahan itu, aku menuju pekarangan, menyejukkan mata dengan melihat bunga-bunga berkeramas embun.
Setelah beberapa langkah di antara barisan bunga melati, aku terkejut melihat Barto terkulai lemas. Semut-semut sudah memenuhi ekornya. Aku berteriak memanggil namanya. Tapi tak berani menyentuh. Aku tetap khawatir ia membawa virus.
Suara takbir, tahlil, dan tahmid masih menggema. Aku bingung bagaimana harus meminta maaf pada kucing kesayanganku itu. (*)
Posting Komentar untuk "Lebaran, Ibu, dan Seekor Kucing | Cerpen A Warits Rovi"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar