Iklan Atas

Blogger Jateng

Arsitektur Kesunyian | Cerpen Sungging Raga


JIKA Anda berkunjung ke Stasiun Karawang di Jawa Barat dan Stasiun Rambipuji di Jawa Timur, Anda akan mendapati bangunan keduanya sangat mirip. Dan tidak ada stasiun lain yang mirip dengan dua stasiun tersebut. Seakan-akan bangunan kembar yang dipisahkan sejauh hampir seribu kilometer. Latar belakang kemiripan itulah, yang telah ada sejak seratus tahun lalu, yang akan menjadi inti dari cerita berikut ini.

Alkisah, ketika tentara kolonial Belanda masih menjajah Indonesia, ada seorang gadis bernama Nalea van Mendieejt. Ia adalah anak seorang jenderal Belanda yang ditugaskan membangun jalur kereta sepanjang Jatinegara-Cikampek. Saat itu, selain membangun transportasi jalan raya berupa Jalan Raya Pos yang dipimpin Daendels, tentara kolonial juga membangun jalur kereta.

Dalam proyek tersebut, Stasiun Karawang adalah pos besar. Selain digunakan untuk mengangkut hasil bumi, stasiun tersebut juga dipakai untuk mobilisasi pasukan sehingga bangunannya pun harus lebih megah dibanding stasiun sebelah seperti Klari atau Kedunggedeh.

Awalnya, sang Jenderal ingin membangun stasiun bergaya art deco semacam Semarang Tawang atau Tugu Yogyakarta, tapi Nalea van Mendieejt ingin stasiun yang arsitekturnya mengikuti corak bangunan lokal. Maka dipanggillah beberapa tukang bangunan untuk membuat beberapa denah stasiun.

“Aku suka peron yang lebar dan memanjang, seperti menghamparkan perasaan yang tidak berbatas,” kata Nalea kepada ayahnya.

Setelah meminta pendapat anak gadisnya, maka dipilih denah yang mengutamakan keluasan peron, menyediakan lahan kosong yang cukup, dengan bangunan memanjang yang terbagi menjadi beberapa ruang dan gudang.

Denah itu buatan Salem, seorang lelaki 29 tahun yang sangat jenius dalam hal merancang bangunan.

Tak butuh waktu lama, sebagaimana proyek kolonial yang banyak memanfaatkan tenaga penduduk lokal secara gratis, mulailah orang-orang Karawang membangun stasiun, diawali dari meletakkan fondasi, mengukur peron, dan menyusun bata-bata.

Nalea van Mendieejt kemudian sering berkunjung ke stasiun untuk melihat proses pengerjaannya. Diam-diam, ia tertarik untuk mengetahui siapa Salem.

Maka di sela-sela istirahat, Nalea sering memanggil Salem. Awalnya hanya mengajaknya berkenalan. Kemudian ada hal-hal lain yang tak direncanakan. Bahasa memang bisa menjadi kendala, tapi bukankah bahasa perasaan selalu sama?

Lama-kelamaan, Nalea mulai berani membawakan bekal makan siang untuk Salem, irisan daging sapi yang dibuat steak. “Ini tenderloin, menu ala Eropa.”

Salem pun jatuh hati pada gadis itu. “Kelak Nalea, aku akan membuat stasiun yang menghadap ke arah senja, dan kita akan tinggal di sana….”

Gadis itu tersipu.

Biasanya, Nalea mengunjungi Stasiun Karawang setiap menjelang siang. Ketika ayahnya sibuk berkoordinasi dengan pos lain, Nalea bisa berada di sana selama beberapa jam, terkadang ia juga ikut membantu mengangkat ember semen. Para pekerja pun melihat heran kepadanya.

“Dia pasti jatuh cinta pada Salem,” bisik orang-orang.

Kabar kedekatan itu pun sampai ke telinga ayahnya.

“Benarkah kau dekat dengan pribumi pembuat denah itu?”

“Ya, Ayah. Aku mencintainya. Ia sangat jujur dan sederhana.”

“Tapi Nalea, kau hanya jatuh cinta pada stasiun rancangannya, kau tidak boleh mencintai pribumi.”

“Ayah, jika aku mencintai sebuah karya seni, maka aku juga berhak mendapatkan senimannya.”

“Teori dari mana itu? Apakah jika kau menyukai sebuah cerita pendek, kau juga ingin mendapatkan penulisnya? Jangan sembarangan!”

Bagi sang jenderal, adalah aib yang besar jika sampai anaknya terpikat dengan pribumi. Maka, setelah stasiun itu selesai, Salem dipanggil menghadap Jenderal.

Salem tentu sangat bahagia. Dalam bayangannya, ia mengira hubungannya akan direstui.

Namun ternyata…. Ia ditangkap.

“Kau harus diasingkan,” ucap Jenderal kepada Salem. Kemudian Jenderal memerintah kepada ajudannya. “Antarkan dia ke suatu tempat yang bahkan aku pun tidak berpikir untuk berkunjung ke sana sampai aku mati.”

Maka esok harinya, mereka memasukkan Salem ke sebuah gerbong yang telah siap ditarik sebuah lokomotif uap. Kejadian itu membuat Nalea ditimpa kesedihan mendalam, ia mengunci kamarnya dan berusaha menelan kunci itu ke dalam perutnya.

Tapi tunggu. Apa yang dialami Salem tidaklah seburuk kisah pejuang yang dipaksa masuk berjejal ke dalam gerbong barang dari Stasiun Bondowoso hingga Wonokromo, yang akhirnya banyak melepas nyawa dengan kulit mengelupas karena udara panas berjam-jam lamanya. Tidak, Salem diantar dengan pengawalan terbaik, ia berada di sebuah gerbong berisi penuh makanan dan minuman, ada es jeruk, jus apukat, kue-kue kering, lumpia, seblak, dan banyak hidangan lainnya.

“Kami adalah bangsa yang menghargai jasa mereka yang telah berbakti. Salem telah merancang arsitektur Stasiun Karawang yang megah, jadi kami berutang kepadanya,” kata Meneer Belanda itu. “Kelak, sifat kami ini tidak akan ditiru oleh bangsa kalian sendiri…”

Kalimat kedua itu entah apa maksudnya.

Mereka pun berangkat pada pukul dua dari Stasiun Karawang, menempuh perjalanan melalui Cirebon, Tegal, Semarang, terus hingga kereta mereka terhenti di sebuah stasiun kecil daerah Gemolong, Sragen. Kereta tertahan di sana disebabkan kabar pemberontakan di daerah Yogyakarta dan Solo.

“Kereta tidak bisa lewat, penduduk berjaga di rel untuk melempari setiap kereta yang melintas.”

Di daerah Sragen itu, Salem dikeluarkan dari gerbong, dan menjadi tahanan rumah. Orang-orang setempat kemudian mengenang kisah persinggahannya dengan mengubah nama Stasiun Gemolong menjadi Stasiun Salem hingga hari ini.

Setelah pemberontakan reda, perjalanan pun dilanjutkan. Hingga akhirnya mereka tiba di daerah Jember, mendekati ujung timur pulau Jawa.

Para pengawal membawa Salem ke tengah hutan daerah Rambipuji, dan meninggalkannya begitu saja dalam keadaan terikat tangannya. Saat itu, daerah Rambipuji masih berupa perbukitan terjal yang ditumbuhi banyak jenis pepohonan. Rumah-rumah penduduk juga nyaris tak bisa ditemukan kecuali satu-dua saja, bersisian dengan padang rumput dan semak belukar.

Salem lalu ditemukan oleh seorang lelaki pencari kayu, yang kemudian menolongnya, memberinya makan serta tempat tinggal.

Begitulah Salem kemudian melanjutkan hidup sebagai penebang kayu. Ia tak tahu seberapa jauh tempat itu dari kampung halamannya. Begitu pun orang-orang setempat tak tahu di mana Karawang ketika Salem menyebutkan daerah asalnya.

Namun Salem masih selalu mengingat Nalea, setiap malam, ia terkadang melihat bintang sampai tertidur sambil memimpikan gadis itu.

Kehidupan Salem berjalan begitu wajar, tahun demi tahun berlalu, ia menjadi tua tapi tidak menikah, badannya kurus dan sakit-sakitan karena kesepian. Sampai tiga puluh tahun kemudian, tersiar kabar tentang pembukaan jalur kereta api dari Jember hingga Banyuwangi.

Salem segera menawarkan diri untuk menjadi arsiteknya. Ia berkata, “Aku akan membuat sebuah stasiun yang luas. Kelak, stasiun ini akan menjadi yang paling kokoh di Jawa Timur.”

Maka diambillah batu-batu gunung, para pekerja antusias dengan dibangunnya rel dan stasiun untuk mengirim hasil perkebunan. Tidak ada yang menyadari, bahwa setelah tiga puluh tahun, Salem masih mengingat persis arsitektur stasiun Karawang.

Tepat pada tahun 1931, Stasiun Rambipuji selesai. Dan tak lama setelah itu, Salem pun meninggal, dalam keadaan masih menyimpan cintanya kepada Nalea. Begitulah riwayatnya berakhir di pengasingan. Sejak saat itu, jika Anda berkesempatan untuk berkunjung ke Stasiun Karawang di Jawa Barat dan Rambipuji di Jawa Timur, Anda akan mendapati dua stasiun yang sama persis, seperti sepasang arsitektur kesunyian….

*****

Lantas, bagaimana kabar Nalea van Mendieejt selanjutnya?

Konon, dalam sebuah fragmen cerita yang lain, setelah kemerdekaan didapat Indonesia dan tentara Belanda diusir kembali ke Eropa, Nalea pun ikut rombongan ayahnya untuk pulang ke negerinya. Ia kemudian menikah dengan seorang perwira. Mereka hidup bahagia di sebuah rumah besar yang di halamannya terdapat hamparan bunga Tulip dan sebuah kincir angin besar. Dengan kebahagiaan yang begitu sempurna, Nalea telah melupakan cintanya pada Salem.

“Apa yang kau dapat ketika merantau ke Indonesia?” tanya suaminya suatu kali.

“Hm. Tidak ada…. Hanya cerita-cerita biasa,” jawab perempuan itu.

*****

SUNGGING RAGA. Penulis, tinggal di Situbondo, Jawa Timur. Buku kumpulan cerpennya “Reruntuhan Musim Dingin”.