“Saya yakin ini bukan air sembarangan! Ini air keramat!”
“Makanya, saya mau minta buat anak saya yang perawan tua, supaya cepet-cepet kawin!”
“Saya juga mau meminumnya, siapa tahu cepet dapet kerjaan!”
Demikianlah. Semua warga berbondong-bondong memanfaatkan air yang keluar dari dalam makam tersebut. Meskipun belum terbukti kemanjurannya, warga berlomba-lomba mengambil air yang dianggap keramat. Lama kelamaan, berita keluarnya air keramat dari dalam makam menyebar. Semakin banyak saja warga yang berdatangan. Mereka membawa botol mineral kosong, jeriken, bahkan ada yang membawa ember.
Ketika pihak dari Dinas Pekerjaan Umum hendak melanjutkan menggali makam itu, warga pun protes. Mereka tak ingin makam itu dibongkar. Dengan keluarnya air dari dalam makam itu, mereka semakin yakin bila makam yang hendak dibongkar itu makam keramat, makam yang harus dijaga. Sementara pihak Dinas Pekerjaan Umum harus segera membongkar makam karena pembangunan jalan tol terganjal oleh keberadaan makam yang dianggap keramat itu. Adu argumentasi pun tak bisa dihindari.
“Maaf, bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Atas kesepakatan para tokoh masyarakat, makam ini kami bongkar untuk kami pindahkan, bukan dibongkar begitu saja. Nanti akan kami buatkan makam yang lebih bagus lagi!” seru salah seorang wakil dari Dinas Pekerjaan Umum.
“Kami tidak mau tahu, Pak! Pokoknya makam ini jangan dibongkar!”
“Makam ini keramat. Kalau dibongkar, kita semua bakalan kena sial!”
“Kita ini bangsa apa sih? Seharusnya bangsa yang baik itu bangsa yang menghargai jasa leluhurnya. Ini adalah makam leluhur kita. Harus dijaga dan dilindungi!!”
“Mari kita pertahankan makam ini, agar tidak perlakukan dengan semena-mena!! Allahu Akbar…!!”
“Allahu Akbar…!!!”
Setelah terdengar takbir, warga semakin semangat merangsek para pegawai Dinas Pekerjaan Umum untuk menyingkir dari lokasi makam. Sementara warga yang sibuk meminta air yang dianggap keramat semakin banyak berdatangan. Mereka ternyata berasal dari berbagai pelosok daerah. Rupanya mereka tahu berita adanya air muncrat dari makam keramat bukan hanya dari mulut ke mulut, melainkan karena beberapa stasiun televisi mulai menyiarkannya. Bahkan, ada salah satu stasiun teve yang membahasnya dengan siaran langsung.
“Aneh bin ajaib, pemirsa. Dapat kami laporkan, sebuah makam yang dinyatakan sebagai makam leluhur oleh warga mengeluarkan air saat hendak digali,” reporter televisi sibuk di depan kamera. Reporter tersebut mendekati beberapa warga yang telah berhasil mengambil air yang keluar dari dalam makam.
“Baik pemirsa, berikut ini akan kita dengarkan apa pendapat warga tentang air yang dianggap keramat oleh warga,” reporter televisi kini menyorongkan mik ke arah salah seorang perempuan setengah baya pemegang botol mineral yang sudah diisi oleh air dari dalam makam.
“Bu, air ini buat apa?”
“Ini untuk bapak saya yang sudah lama lumpuh. Buat obat.”
“Ibu percaya air ini mampu menyembuhkan bapak?”
“Ya, percaya enggak percaya, sih? Namanya juga usaha. Berobat ke dokter mahal soalnya. Jadi, coba-coba aja pake air keramat ini,” ujar perempuan itu polos. Lalu mik reporter bergeser pada lelaki paruh baya di sebelahnya. Lelaki ini memegangi jeriken yang sudah penuh.
“Kalau bapak, air keramat ini untuk apa?”
“Buat minum.”
“Buat minum? Supaya apa, Pak?” Ini benar-benar pertanyaan tolol. Ternyata, tidak semua reporter televisi pintar.
“Supaya enggak haus!”
Reporter menelan ludah. Si lelaki langsung ngeloyor. Lalu, reporter kembali menatap kamera sambil menutup acara. Beberapa warga mendekat ke belakang reporter dengan harapan bisa tertangkap gambarnya. Di antara mereka melambai-lambaikan tangan ke arah kamera.
*****
Karena orang-orang terus berdatangan, salah seorang warga berinisiatif membuat tempat parkir kendaraan. Setiap sepeda motor atau mobil yang datang diberikan karcis tanda masuk. Areal makam pun dibuatkan pagar pembatas agar orang bisa mengantre dengan tertib. Sebuah kotak amal dibuat dan diletakkan di dekat pintu masuk. Di sisi kotak ditulis, “AMAL MAKAM KERAMAT, SEIKHLASNYA”.
Beberapa hari kemudian, makam keramat semakin ramai dikunjungi orang. Tempat parkir motor diperluas karena tak mampu menampung kendaraan. Kotak amal yang diletakkan di pintu gerbang makam disingkirkan, berganti dengan tiket tanda masuk makam. Setiap warga yang datang harus membeli tiket terlebih dahulu.
Sobrak, lelaki setengah baya yang bertugas menjaga tiket senang sekali karena belakangan ini hidupnya berubah makmur. Gobang, yang menjadi penanggung jawab lahan parkir juga begitu. Uang mereka bagai meluap, seperti air keramat yang mengalir dari dalam makam. Namun, kemakmuran Sobrak dan Gobang tidak disukai oleh beberapa warga sekitar, yang menganggap keduanya memanfaatkan situasi. Akan tetapi, dengan seperak dua perak, warga yang protes mampu disumpal. Ternyata, uang bisa menutupi mulut manusia.
Suatu hari, petinggi dari Dinas Pekerjaan Umum dan beberapa tokoh masyarakat kembali datang ke makam. Mereka hendak meyakinkan warga agar tidak menganggap air yang mengalir di sekitar makam itu dianggap keramat.
“Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian, air yang mengalir dari dalam makam sesepuh ini air biasa-biasa saja. Air ini keluar, seperti kita menggali sumur!”
“Tapi, Pak, kami yakin ini air keramat! Soalnya, air ini keluar dari dalam makam yang baru beberapa meter digali!”
“Betul, Pak!! Sumur di sekitar makam ini saja perlu delapan meter kalau mau keluar air!”
“Ini mukjizat, Pak!!”
“Sebaiknya, tokoh masyarakat jangan memihak pemerintah!! Pembangunan jalan tol ini tidak berarti apa-apa bagi kami! Kebanyakan warga cuma punya sepeda motor, sedangkan jalan tol hanya untuk pengendara roda empat!”
“Kalau memang terpaksa, jalannya dibelokan saja. Jangan sampai pembangunan ini justru merusak makam keramat!”
Semua warga terus berbicara. Mereka ingin meyakinkan petinggi dari Dinas Pekerjaan Umum dan tokoh masyarakat serta perwakilan dari pemerintah untuk menggagalkan pembongkaran makam.
“Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Pembangunan jalan tol diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak yang diperoleh dari pengguna jalan tol itu dipergunakan untuk pembangunan! Selain itu, pembangunan jalan tol tak mungkin dibelokkan ke arah lain dengan maksud menghindari makam ini. Di mana-mana, yang namanya jalan tol itu lurus, enggak bengkok-bengkok!” kali ini yang bicara Pak Lurah, yang mulai senewen dengan tingkah warganya.
“Lho, Pak Lurah kok bukan mendukung warganya? Jangan-jangan Pak Lurah sudah disogok, ya…?”
“Pak Lurah payah!”
“Pak Lurah lupa sama leluhur sendiri!!”
Pak Lurah terdiam dan tak lagi berkata-kata. Pak Lurah jadi seperti kura-kura yang disentuh kepalanya.
“Kalau memang kalian ngotot mau membongkar makam keramat ini, silakan hadapi kami!!”
“Bongkar saja kalau berani!! Kami siap mati! Kami siap jihad demi menjaga makam ini!!”
Warga semakin beringas. Para tokoh masyarakat, Pak Lurah, dan orang-orang dari Dinas Pekerjaan Umum mengalah. Mereka akhirnya meninggalkan areal pemakaman diiringi koor ejekan para warga. Sobrak dan Gobang langsung mendekati warga sambil memberikan makanan untuk warga yang mempertahankan makam keramat.
*****
Keesokan harinya Bapak Wali Kota datang diikuti oleh sejumlah pejabat daerah. Di antaranya terdapat Ustadz Markum, ustadz muda yang lumayan kondang dan disegani warga sekitar. Bapak Wali Kota dan rombongan disambut demonstrasi dan yel-yel oleh warga yang masih berada di sekitar makam. Mereka siap mengusir siapa saja yang hendak menggusur makam yang mengeluarkan air keramat. Tak peduli Wali Kota atau presiden sekalipun. Ratusan satuan pamong praja tiba di sekitar makam. Mereka mengepung areal pemakaman.
“Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian! Kita boleh saja beda pendapat, kita bebas saja marah, tetapi kami berharap kepala kita tetap dingin! Sesuai perintah dari pemerintah pusat, makam ini akan dipindahkan untuk kemudian diletakkan di tempat yang jauh lebih luas dan bagus lagi!”
“Tapi Pak, makam ini tidak mungkin dipindahkan. Dengan keluarnya air dari dalam makam, membuktikan bahwa makam ini memang benar-benar keramat!! Batalkan saja proyek pembanguan jalan tol itu!!”
“Allahu Akbar…!!!”
“Allahu Akbar…!!”
Ketika takbir sudah terdengar, semangat warga pun menggelegar. Ratusan satuan polisi pamong praja segera mengamankan situasi. Mereka menangkapi siapa saja yang hendak mempertahankan makam. Pertikaian pun tak bisa dihindari. Warga yang mempertahankan makam saling serang dengan satuan polisi pamong praja.
Saat yang bersamaan, datang beberapa petugas dari Perusahaan Air Minum (PAM) yang tengah bertugas sedang mencari-cari sumber kebocoran pipa yang baru terdeteksi. Langkah mereka terhenti oleh keributan antara warga dan satuan polisi pamong praja. Polisi pamong praja berhasil meredam keberingasan warga setelah mendapat bantuan tenaga dari satuan lain.
“Tenang saudara-saudara… saya harap semua tenang!!” Bapak Wali Kota yang baru saja mendengarkan informasi dari bawahannya, berdiri di depan semua warga yang sudah mulai reda.
“Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap makam leluhur kita, pemerintah daerah akan tetap memindahkan makam tersebut. Selain itu, dapat kami informasikan bahwa air yang keluar dari dalam makam itu adalah air dari pipa PAM yang bocor!!”
Semua warga yang mendengarnya terbelalak. Semua saling tatap, lalu mereka menunduk malu. Kemudian Ustadz Markum berdiri di tengah-tengah warga, “Saudara-saudara sekalian, ziarah ke sebuah makam itu dibolehkan. Nabi pun pernah menganjurkannya agar kita ingat pada kematian. Tapi, kita tak boleh berlebihan. Sesuatu yang berlebihan itu tidak baik! Kita bisa musyrik!!”
Bapak Wali Kota mulai bernapas lega karena warga tak lagi marah, “Sekarang, saudara-saudara sekalian saya harap membubarkan diri!!”
Semua warga pun menuruti perintah Bapak Wali Kota untuk membubarkan diri. Pembangunan jalan tol itu siap dilanjutkan kembali. Para pekerja dari PAM sibuk memperbaiki pipa yang bocor. Setelah pipa itu sudah diperbaiki, penggalian makam leluhur kembali dikerjakan. Makam itu akan dipindahkan ke lokasi yang sudah disediakan. Tetapi ajaibnya, ketika sebuah mobil pengeruk baru saja menggali, air kembali muncrat dari bagian makam yang lain. Pekerja PAM diminta untuk memeriksa apakah ada kemungkin kebocoran pada pipa-pipa mereka.
Setelah diselidiki, ternyata pipa air milik PAM baik-baik saja. Mereka bingung, dari manakah sumber air yang muncrat itu. Sampai seminggu lamanya, air dari dalam makam itu tetap mengalir. Airnya bening nan jernih. Aromanya wangi bak kesturi. Kejadian ini dirahasiakan. Semua warga meyakini itu kebocoran pipa PAM yang belum dapat diperbaiki. (*)
Zaenal Radar T. sering menulis cerpen, novel, dan skenario televisi. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit, di antaranya Harga Kematian (DAR! Mizan, 2003), Air Mata Laki-laki (FBA Press, 2004).