Sejak Villa selesai dibangun, sudah tiga kali kami berkumpul di situ. Empat anak telah memberi Bapak sembilan cucu, membuat acara kumpul kami cukup riuh. Namun, kesan keriuhan yang penuh ceria itu buyar berganti duka begitu Bapak meninggal.
Duka itu sedang menyelimuti keluarga kami ketika masalah lain muncul. Lubang kubur yang disiapkan untuk Bapak terisi air. Dan itu adalah lubang ketiga yang digali. Dua lubang sebelumnya, setelah selesai digali, dasar tanah langsung merembeskan air. Rembesan air itu baru berhenti saat permukaannya merendam pinggang penggali.
Rembesan air itu mematikan akalku. Ini musim kemarau, dan areal tempat menyiapkan lubang kubur ada di ketinggian. Dari mana rembesan air sebanyak itu? Tiga lubang keadaannya sama. Sekop dan perejang bergeletakan di depan tujuh orang penggali yang berselonjor kelelahan di atas tanah berumput. Tidak terpikir lagi menggali lubang baru. Kuduga hasilnva akan serupa. Dan sangat miris membayangkan bila seluruh permukaan tanah di sini kami penuhi dengan lubang-lubang pemakaman yang serupa bak penampung air.
Kuperintahkan asisten Bapak mencari pompa air. Hanya solusi itu yang sempat melintas di pikiranku. Dua pompa lalu digenjot penuh, menggerung-gerung mengoyak kesenyapan daerah perbukitan.
Entah keajaiban apa lagi yang datang menggenapi persiapan penguburan Bapak! Setiap volume air tersedot keluar melewati pipa, menyembur kemudian mengalur menciptakan anak-anak sungai ke dasar bukit, setiap itu pula di dalam lubang kubur muncul lagi rembesan air menggantikannya. Kejadian itu berulang pada lubang kedua dan ketiga! Kutaksir volume air yang berhasil disedot pompa, tergantikan kembali rembesan air baru dari dasar lubang dengan volume yang sama. Ketinggian air di dalam lubang kembali setinggi pinggang.
Opsi memindahkan tempat menguburkan Bapak tidak akan kupilih. Bapak sudah menerakan wasiatnva, “Inilah tanah pemakamanku. Kelak, bila waktunva tiba, kuburkan jasadku di lereng bukit itu.” Baik Ibu, Nenek, maupun adik-adikku kala itu ikut takzim mendengar dan mengiyakan.
*****
PERJALANAN kesuksesan Bapak adalah sebuah sejarah. Dari seorang pegawai rendah, Bapak meniti karier puluhan tahun hingga tiba di puncak karier sebagai pejabat tinggi. Jenjang kariernya ibarat undakan yang ia tapaki setahap demi setahap, sampai menjejak di puncak seperti sekarang. Bagi kami anak-anaknya, itu adalah kebanggaan, sedang bagi orang-orang yang mengenal dan mengaguminya, itu adalah ketakjuban.
Bapak juga jeli memikirkan masa tuanya. Ia tidak lupa menyiapkan pula unit-unit usaha sampingan. Unit usaha itu sebagian bahkan menjelma menjadi perusahaan yang berkembang. Itulah persiapan aktivitas Bapak bila kelak sudah pensiun.
Setelah Bapak tuntas menyekolahkan kami anak-anaknya, masing-masing dari kami dibuatkan pula rumah. Soal pilihan pekerjaan, Bapak amat demokratis: bila di antara kami ada yang berminat mengurusi perusahaan, membesarkan usaha warisannya, Bapak amat senang. Namun,bila ingin berkarier di tempat lain, Bapak pun menyilakan.
Kian bangga aku pada Bapak ketika suatu hari ia malah mencetuskan keinginannya: “Rasanya saya ingin moksa, atau menjelma jadi halimun saja.” Itu kumaknai sebagai sikap mulia. Bapak tentu bukan ingin menghilang, terbang ke langit, atau jadi kabut, tapi aku yakin hanya ingin mundur dari urusan-urusan dunia. Ia tentu merasa sudah khatam dengan urusan duniawi dan ingin beraktivitas di urusan akhirat saja.
Usia pensiunnya memang tidak sampai setahun lagi. Di waktu yang tersisa itu, Bapak agaknya tidak ingin lagi memikirkan urusan mengumpulkan harta. Tentu ia merasa yang didapatnya selama ini sudah lebih dari cukup.
*****
YANG kami tahu, kesehatan Bapak baik-baik saja. Makanya aku terkesiap saat mengetahui kesehatannya mendadak merosot. Menurunnya kondisi kesehatan itu diwartakan adik bungsuku yang tinggal serumah dengannya. Pantauan adikku, itu dikeluhkan seusai Bapak bertemu dengan beberapa tamu.
“Tamu-tamu itu berkumpul di ruang atas. Pembicaraan mereka sepertinya sangat rahasia. Bahkan Ibu pun dilarang naik,” ujar adikku. “Setelahnya, Bapak terus termenung. Wajahnya murung dan kelihatan selalu susah menarik napas.”
Dalam persuaanku dengan Bapak kemudian, Bapak mengakui belakangan ini memang kerap merasa pusing, jantungnya berdebar-debar secara mendadak, bahkan mulai sering merasakan dada kirinya nyeri seperti ada yang menekan. Belum seminggu setelahnya, aku mendengar berita Bapak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Bapak dikenal sebagai pejabat yang santun berkata-kata, dengan intonasi suara yang terjaga, dan tak sekali pun membuat orang tersinggung. Bila berbicara, parasnya yang bersih dan cerah senantiasa mengulum senyum. Kerap pula dimediakan sebagai orang yang ringan hati menyumbang dan membantu lembaga-lembaga sosial. Makanya, rebak berita tuduhan korupsi itu langsung kutampik. Ini fitnah! Pasti ada pihak-pihak yang tidak senang dengan keberhasian Bapak. Serupa pohon yang tinggi, dengan cabang dan dahan-dahan yang merimbun, memang akan selalu digoyang embusan angin kencang.
Belakangan aku tahu, tamu-tamu yang pernah berkumpul di rumah Bapak itu adalah kolega-kolega kepercayaannya. Merekalah penyampai informasi awal bahwa Bapak menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka kemudian kerap berembuk bersiasat mengatur strategi meloloskan Bapak dari jerat tersangka. Kejadian itu meluluhkan keyakinanku, melesapkan kebanggaanku kepada Bapak.
Dan di suatu sore yang muram, heboh berita Bapak dijemput petugas pemberantasan korupsi membuatku bergegas meluncur ke rumah Bapak. Kelok takdir ternyata lain: Bapak malah dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung. Sebelas jam kemudian, Bapak menghembuskan napas terakhirnya.
*****
HASIL rembuk dengan adik-adikku menyepakati lubang kubur untuk Bapak yang berada paling atas. Dua lubang lainnya ditimbun kembali. Otakku benar-benar sudah beku, tidak bisa lagi memikirkan cara lain, kala memerintahkan mencemplungkan jasad Bapak ke dalam genangan air di dalam lubang pemakamannya.
Dengan hati-hati dan amat pelan, petugas pemakaman membaringkan jasad Bapak di dasar lubang, dalam genangan air. Papan penutup ditekan kuat, bahkan ditindih batu, lalu berlekas menguruk tanah ke dalam genangan air. Kami saling kejar dengan kekhawatiran rembesan air akan bertambah dan menderas, yang bisa mendorong jasad Bapak keluar dari lubang kubumya.
Dalam bisik lirih, dengan sendat tertahan, kupaksakan menghibur adik-adikku, “Wasiat Bapak dimakamkan di sini sudah kita jalankan.”
*****
PENGUBURAN selesai. Kami berkumpul di ruang tengah Villa. Riung oceh cucu-cucu Bapak kemudian, kian menoreh pedih perasaanku.
“Kasihan Kakek, bisa kelelap di dalam lubang itu.”
“Gimana Kakek bisa bernapas? Kakek menyelam, dong.”
“Kenapa, sih, Kakek dibikin kelelap begitu?”
Kuperam pedih perasaanku. Aku berharap cucu-cucu Bapak yang masih kanak ini belum paham kelakuan kakek kebanggaannya.
Percakapan terakhirku dengan Bapak, ketika berita ia sudah menjadi tersangka korupsi makin marak terdengar, ikut menyusup ke dalam ingatanku.
“Bapak pernah bilang ingin moksa,” gugatku ketika itu.
“Bapak bilang ingin menjelma jadi halimun saja.”
“Karena, serasa saya ingin menghilang … atau melayang, tanpa ada yang bisa melihat…,” bilang Bapak.
Bapak menjungkirkan anggapanku selama ini! Niat Bapak yang semula kuduga mulia itu ternyata hanya mau berkelit, keinginan menghilang dari depan publik, kala perbuatan korupnya yang selama ini rapi terlipat mulai terkuak. Kudapati kemudian diriku serupa anak-anak yang menemukan mainan istana pasir yang dibangunnya runtuh ketika kaki-kaki orang menginjak-injaknya. Aku masygul dan sangat kecewa. Bapak sukses membuat kami anak-anaknya bangga, sukses pula mempermalukan kami.
Aku menyingkir ke lantai atas, lalu keluar bertelekan pada pagar balkon. Dari jauh kutatap kuburan Bapak yang berada di leher bukit. Nisannya terpacak sekitar sepuluh langkah sebelum puncak. Entah kenapa tiba-tiba saya merasa melihat nisan itu mengapung; seakan terdorong oleh tekanan air dari dalam lubang kubur, lalu menarik jasad Bapak melayang, sebelum jatuh menggelinding di lereng bukit.
Kukerjapkan mata. Tangis yang sejak tadi kukulum kini pecah berderai.
Parepare, Des. 2017-Mar. 2018
Pangerang P. Muda guru SMK di Parepare dan menulis cerpen di beberapa media. Di samping buku kumpulan cerpennya Menghimpun Butir Waktu (2017) yang telah terbit, beberapa cerpennya juga ikut dalam buku antologi cerpen.
Posting Komentar untuk "Bapak Ingin Jadi Halimun | Cerpen Cerpen Pangerang P. Muda"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar