Iklan Atas

Blogger Jateng

Tendangan Dua Belas Pas | Cerpen Zaenal Radar T


Allahu Akbar… Markum menggumam dalam hati, tubuhnya tersungkur di dalam kotak dua belas pas akibat kaki kirinya diganjal oleh pemain belakang lawan. Wasit meniup pluit dan memberikan hadiah tendangan dua belas pas, atawa biasa disebut tendangan penalti. Teman-teman Markum mengerubuti, memeluknya, mengelus rambutnya, memberikan selamat kepadanya karena dengan tendangan dua belas pas nanti, besar kemungkinan kesebelasannya akan memenangkan pertandingan. Apalagi, pertandingan sudah memasuki injury time, babak tambahan waktu.

Beberapa pemain lawan yang dipimpin oleh kapten kesebelasan tim lawan, protes keras terhadap keputusan wasit. Mereka mencurigai Markum hanya melakukan diving, yakni pura-pura terjatuh. Namun, wasit tetap pada keputusannya, menunjuk titik dua belas pas sebagai hukuman. Para penonton bergemuruh, menunggu proses tendangan dua belas pas itu.

Alhamdulillah Markum dipercaya melakukan tendangan dua belas pas. Semua pemain, pelatih, tim official, penonton pendukung, menaruh harapan pada Markum. Meskipun sering mengeksekusi tendangan dua belas pas, kali ini Markum tiba-tiba merasa mual ingin muntah, mentalnya menjadi kacau. Markum berusaha menenangkan pikirannya.

Namun, ia tetap tak mampu menghindar dari macam-macam perasaan yang tiba-tiba menyeruak memenuhi dinding ingatannya. Istrinya kini tengah hamil delapan bulan lebih. Markum memerlukan banyak biaya untuk persalinan. Sebelum berangkat ke lapangan pertandingan, istrinya berpesan bahwa minggu-minggu ini ia memerlukan biaya untuk persiapan uang muka rumah sakit bersalin. Istrinya tak mau kejadian seperti waktu melahirkan anak pertamanya terulang. Mereka tidak punya kartu sehat, BPJS atau kartu sakti apa pun supaya nanti membayar biaya rumah sakit. Ketika itu, mereka ditolak rumah sakit karena tak mampu bayar uang muka.

Mau mengurus kartu-kartu itu harus ada KTP elektronik, tapi sudah hampir setahun mengurus, katanya blangko KTP belum tersedia. Istrinya pusing, jadi lebih baik cari jalan lain, cari uang yang banyak buat persiapan kelahiran.

Penonton bergemuruh, memberikan dukungan pada Markum. Markum berdiri hendak berjalan menuju titik dua belas pas untuk bersiap-siap melakukan eksekusi. Wasit meletakkan bola tepat di titik putih. Pikiran Markum kembali pada putra pertamanya yang akan mendaftar sekolah bulan depan. Markum bingung memilih sekolah yang baik untuk putranya.

Kalau mau bagus, Markum harus memasukkannya ke sekolah swasta elite. Tapi, itu tak mungkin karena uang pangkalnya menjerat leher. Masuk sekolah negeri pun sebenarnya lumayan berat. Bukan cuma soal ongkos pulang dan pergi, melainkan juga untuk keperluan buku dan jajan sehari-hari. Bagaimana Markum mendapatkan uang itu? Semua ini tidak akan terjadi kalau gajinya sebagai pemain di salah satu klub liga amatir lunas terbayar, yang akhirnya menyatakan gulung tikar karena tidak lolos kualifikasi kompetisi Liga 1. Dan, dia tidak harus bermain di kompetisi kampung tujuh belasan seperti detik ini.

Markum sudah berdiri di dekat titik putih yang berjarak dua belas langkah pas atau tepatnya 11 meter dari tiang gawang. Markum mengumpulkan pecahan konsentrasi, menatap gawang yang lebarnya 7,32 meter dan tinggi masing-masing mistar sekitar 2,22 meter itu. Ia ambil bola yang tadi diletakkan wasit, lalu ia cium lebih dulu bola tersebut. Penjaga gawang lawan berjalan menuju bawah mistar untuk bersiap-siap menghadapi tendangan dua belas pas yang akan dilakukan Markum. Penonton semakin berteriak-teriak histeris memberikan dukungan, tetapi ada pula yang justru mengejek, berusaha untuk mengacaukan konsentrasi Markum yang sebenarnya memang sedang kacau.

“Ayo Markum! Kamu pasti bisa!”

“Hajar, Markuuummm…!!”

“Sikat, bleh!!”

“Alaa, nggak bakal masuk!!”

“Paling ke atas mistar!”

“Nggak masuk, nggak masuk, nggak masuk!!!”

“Gol! Gol! Goooool!!!”

“Tembak Markuuummm…!! Jam breeettt aeh, jebreettt!!!”

Markum masih memegang bola yang tadi diciumnya, lalu meletakannya dengan hati-hati pada titik putih dua belas pas. Markum lalu menghela napas panjang. Pikirannya kembali pada ingatan tentang mertuanya yang selalu marah-marah. Markum sudah sejak lama diminta untuk mengontrak rumah sendiri. Ini berkaitan dengan adik iparnya, Pilo Poly, yang akan menikah bulan depan. Kamar yang sekarang digunakan untuk istri dan anaknya sebenarnya kamar Pilo, yang mengalah tidur di ruang tengah. Bila Pilo menikah, dia meminta kamar itu dikembalikan untuknya.

Markum sendiri sebenarnya sudah tidak kerasan menumpang dengan mertua. Apalagi, mertuanya itu termasuk dalam katagori mertua cerewet. Setiap hari selalu saja mengungkit-ungkit keberadaanya. Kalau saja ia memiliki uang lebih untuk mengontrak rumah, tentu ia sudah memboyong anak dan istrinya pergi ke tempat lain. Sayang, manajer tim yang merekrutnya angkat tangan sewaktu tim semiprofesional tempat dia mengais rezeki dibubarkan.

“Markum, sepak bola itu nggak bisa menghidupi keluarga…” nasihat ibu mertuanya suatu ketika, saat mendengar timnya dibubarkan sampai waktu yang tidak bisa ditentukan, membuat Markum naik darah.

“Bu, sepak bola juga bisa menghasilkan uang. Ibu jangan meremehkan penghasilan pemain sepak bola…” Markum membela diri.

“Buktinya…? Selama ini apa yang kamu dapat? Kalau istri kamu nggak kerja, dari mana kamu bisa makan!? Dari mana kamu bisa beli susu anak? Kamu dibon sama kampung sebelah paling sebulan sekali. Atau paling sering kalau ada acara Agustus-an kayak sekarang! Itu kan setahun sekali!??”

“Sabar, Bu. Kita berdoa saja, semoga saya mendapat tawaran dari tim liga satu, biar saya cepat pindah dari sini secepatnya..”

“Cuih! Cuma ngomong doang! Mana buktinyaaa…!!?”

Sampai di sini, Markum cuma bisa geram sendiri. Markum masih berada di kotak dua belas pas, berhadapan dengan si kulit bundar yang sudah siap berada di titik putih yang siap ditendang. Pada kejuaraan kompetisi Agustusan kali ini, menurut panitia, hadiahnya dua belas juta berikut dua ekor kambing. Untuk pemain terbaik, mendapat satu ekor kambing. Untuk pencipta gol terbanyak, juga mendapatkan satu ekor kambing. Kalau tendangan dua belas pas ini masuk, sudah bisa dipastikan Markum akan menjadi top scorer, dan timnya jadi juara.

Saat ini usia Markum baru memasuki dua puluh lima. Markum menikah di usia delapan belas, setelah lulus SMA. Sejak itu ia hanya bermain sepak bola karena sulit mendapatkan pekerjaan dan tak ada biaya kuliah. Markum sudah bertekad menjadikan sepak bola sebagai mata pencaharian. Apalagi, dia direkrut oleh salah satu tim anggota Liga Indonesia, sebelum akhirnya tim dibubarkan karena tidak lolos kualifikasi mengikuti kompetisi. Markum yang berada pada posisi striker dalam setiap pertandingan ini bukan pemain sembarangan. Markum jago mengutak-atik si kulit bundar layaknya pemain-pemain sepak bola dunia macam Christian Ronaldo dari tim Real Madrid yang membela negaranya Portugal. Kelihaiannya sulit dibendung pemain belakang. Seperti Muhamad Salah pemain asal Mesir yang merumput di Liverpool. Gocekannya mematikan bak Lionel Messi pemain handalam Argentina yang merumput di Barcelona. Tendangannya gledek bak Gabriel Batistuta, pemain lawas andalan Argentina. Tendangan bebasnya nyaris menyamai tendangan pisang milik David Beckham! Demikianlah Markum.

Kalau sampai saat ini ia belum menjadi pemain profesional seperti pemain-pemain liga nasional lainnya, mungkin karena dirinya belum mujur saja. Sekalinya direkrut, apesnya tim malah bubar di tengah jalan. Selama ini Markum sudah berkali-kali mengikuti seleksi untuk bisa mengikuti kejuaraan sepak bola tingkat daerah, tetapi dia selalu tersisih. Entahlah, kehebatan tidak diikuti keberuntungan. Mungkin belum rezeki, begitu kata teman-teman terdekatnya.

Meskipun sudah berkeluarga dan memiliki satu anak, dan satu lagi yang masih dalam kandungan, Markum tak pernah berhenti berlatih. Markum pun selalu mendapat panggilan untuk bermain tarkam, tarikan kampung dari kampung lain. Mengingat ia memang sudah cukup dikenal sebagai pemain sepak bola yang akan bermain di liga nasional.

Tendangan dua belas pas ini akan menjadi penentu kemenangan tim yang membayarnya. Kalau Markum berhasil menyarangkan bola ke gawang lawan pada tendangan dua belas pas ini, akan menjadi sejarah timnya menjuarai kejuaraan kali ini. Di tangan Markum-lah sejarah itu akan terukir.

Markum menatap ke arah gawang, di mana penjaga gawang yang berdiri di bawah mistar tengah bersiap-siap mengantisipasi tendangan dua belas pas yang akan segera ia lakukan. Penjaga gawang sempat memegangi tiang mistar sebelah kanan, lalu berjalan menuju mistar sebelah kiri. Setelah itu, ia berdiri tepat di bawah mistar sambil melompat-lompat meraih mistar atas gawang. Penjaga gawang lalu memberikan isyarat dengan tangannya, agar Markum selekasnya melakukan tendangan hukuman itu.

Wasit meniup pluit. Markum melangkah mundur beberapa langkah, dan bersiap melakukan eksekusi! Para penonton pendukung terus bersorak-sorak mengeluelukan, memberikan semangat, sementara penonton tim lawan terus semangat mengolok-oloknya. Beberapa rekannya berdiri di garis luar kotak penalti untuk bersiap-siap menghajar bola ke arah gawang jika bola itu kemungkinan bisa ditepis penjaga gawang, atau menyentuh mistar. Beberapa pemain lawan menjaga-jaga pemain tersebut, hingga saat tendangan dua belas pas akan segera dilakukan, rekan Markum terjatuh akibat adu badan yang dilakukan tidak semestinya itu. Wasit pun meniup pluitnya, meminta Markum menunda tendangan dua belas pas itu.

Wasit melangkah mendekati rekan Markum yang terjatuh, dan pemain lawan yang menjatuhkannya. Kedua pemain tersebut diberi peringatan. Keduanya diancam akan diberikan hukuman kartu bila mengulangi seperti yang baru saja mereka lakukan. Nyatanya, setelah wasit meninggalkan kedua pemain itu dan bersiap-siap memerintah Markum untuk melakukan tendangan penalti, kedua pemain tadi kembali saling mengadu badan. Tapi, tentu tidak sekeras sebelumnya.

Markum masih memandang ke arah gawang yang dijaga penjaga gawang. Markum memikirkan bagaimana mengecoh penjaga gawang memuakkan ini. Yang Markum inginkan, ketika bola diarahkan ke bagian kiri, penjaga gawang melompat ke kanan. Atau sebaliknya. Ini seperti tendangan penalti yang dilakukan oleh pemain-pemain top mancanegara.

Tendangan dua belas pas alias penalti, meski berjarak sekitar 11 meter dari gawang, tidak berarti mudah. Sebab, tidak sedikit pemain-pemain kelas dunia yang gagal melakukannya. Pemain Italia yang saat itu berjaya di Juventus, Roberto Bagio, pernah gagal memasukkan tendangan penalti saat melawan Brasil di final Piala Dunia. David Beckham, kapten tim nasional Inggris yang pernah main di MU dan Real Madrid juga pernah gagal. Lionel Messi dan Christian Ronaldo juga pernah gagal baik di liga maupun di piala dunia. Kesebalasan Spanyol dikalahkan kesebelasan Korea Selatan dalam drama adu penalti memperebutkan semifinal Piala Dunia di Jepang-Korsel. Dan, masih banyak kejadian-kejadian lainnya dalam drama tendangan dua belas pas ini.

Dan, Markum berpikir, bukan tidak mungkin dirinya gagal menciptakan gol dalam tendangan dua belas pas yang akan segera ia lakukan ini. Wasit meniup peluitnya. Markum pun menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Markum kembali menatap mistar, siap melaju dan menendang bola ke arah gawang. Sesaat suara penonton tidak terdengar. Yang ada malah suara anaknya yang minta dibelikan tas untuk masuk sekolah awal bulan ini.

“Ayah, Dendy maunya tas warna biru ya, seperti punya Eko…”

“Iya, iya… nanti akan Ayah belikan….”

“Jangan bohong lagi lho, Yah…”

“Ayah janji, deh. Yang penting, Dendy doakan ayah yah, semoga pada pertandingan besok sore ayah menang dan bisa buat gol!”

“Iya deh! Pasti Dendy doain…”

Dalam pikiran seperti itu, Markum bertekad menyarangkan bola ke arah gawang. Saat wasit meniup pluitnya, Bismillahirohmanirrohiim. Markum segera menendang bola di titik putih itu. Penjaga gawang terkecoh. Bola masuk! Suara penonton bergemuruh. Tapi… bersamaan dengan itu, wasit meniupkan peluitnya dua kali. Wasit menganggap posisi penjaga gawang terlalu jauh dari garis mistar. Dan, penjaga gawang lebih dulu bergerak maju sebelum tendangan Markum tadi dilakukan.

Tendangan dua belas pas harus diulang! Beberapa pemain rekan Markum yang hendak protes dicegah oleh pelatih. Markum pun mengulang tendangan dua belas pas itu. Penjaga gawang yang diberikan peringatan keras oleh wasit kembali berdiri di bawah mistar. Wasit meniup peluitnya. Markum kembali bersiap-siap melakukan tendangan penalti ulang, mundur beberapa langkah, menarik napas dalam-dalam lagi, lalu melangkahkan kaki hendak menghajar si kulit bundar.

Mendadak wajah mertuanya seolah berada di hadapannya. Markum tidak peduli dan menghajar bola itu dengan kekuatan penuh. Bismillah!!! Ziggg!!! Bola melesat ke arah gawang, bagai menghantam wajah mertuanya yang sinis. Penonton berteriak-teriak, bergemuruh, hingga membuat stadion hampir roboh.

Markum jatuh terkulai. Markum tidak tahu apakah bola yang baru saja ditendangnya berhasil masuk ke gawang atau tidak. Yang ia sadari adalah gema suara penonton yang riuh rendah. Masya Allah… Markum pingsan! 



Tangerang Selatan, 2018

Zaenal Radar T, menulis Skenario televisi dan Cerita Pendek. Bukunya yang telah terbit; Si Markum (Penerbit Alvabet, 2017).