Malam itu, belantara Himbe Ijang riuh oleh suara tembakan. Tiga anak buah Rao mati diterjang peluru, sedangkan dirinya berhasil lolos dari maut setelah berhasil melarikan diri dan menerabas gelap pekat belantara Himbe Ijang. Ia menjatuhkan diri ke jurang Matauh yang terkenal dalam dan angker. Para polisi menghentikan pengejaran dan sejak saat itulah Rao resmi menjadi buronan.
Ia mengembara di sepanjang Pulau Sumatera. Dari Bengkulu, ke Jambi, menetap sebulan dua bulan di Padang, hingga akhirnya pelarian itu mengantarkannya ke kota Medan. Di kota inilah Rao menyamar sebagai sopir sodaco yang mengambil jurusan Simalingkar-Padang Bulan.
Jika ditanya, siapa sosok yang paling dirindunya, maka jawabannya tentulah kepada Mar. Rao merindukan perempuan itu hampir setiap hari. Satu-satunya yang bisa mengobati kerinduan itu hanya selembar foto yang selalu ia simpan di saku baju. Di dalam foto itu Rao memeluk Mar—perempuan yang mengenakan daster bermotif bunga asoka dan tampak sedang hamil tua.
Bertahun-tahun ia membekap rindu, terlunta-lunta di tanah orang, dihantui bayang-bayang masa lalunya yang hitam. Rao tak punya keberanian untuk pulang, tersebab malu bertemu Mar.
Namun tabiat rindu memang demikian keras kepala. Meski sudah bertahun-tahun Rao mencoba mengenyahkannya, namun selalu saja, rindu itu datang dan membuat batinnya terpiuh-piuh remuk redam. Sampai pada akhirnya kesempatan menuntaskan rindu itu datang. Marpaung, teman dekatnya yang berprofesi sebagai sopir truk ekspedisi, memintanya mengantar muatan ke Jakarta.
“Anak sulungku masuk rumah sakit. Kau tahu, sejak Julaiha meninggal, akulah satu-satunya orang tuanya. Tolonglah, aku betul-betul butuh bantuanmu. Tak akan lama. Satu minggu saja,” kata Marpaung.
Tak mungkin Rao menampik permintaan itu. Marpaung adalah orang yang pernah menolongnya, orang yang pernah menyelamatkan jiwanya dari amuk massa saat terpaksa mencuri karena lapar. Marpaung pula orang yang mengenalkannya pada Haji Sulaiman dan meyakinkan pemilik armada sodaco itu untuk memberinya pekerjaan. Sebagai laki-laki, Rao harus tahu cara membalas budi.
“O ya, apa kau pernah mendengar tentang Gelang Akar?” tanya Marpaung membuyarkan lamunan Rao.
“Gelang Akar?”
“Gerombolan begal yang menguasai jalur Lintas Selatan,” ujar Marpaung sambil menyeruput kopi bikinan Mak Salim, pemilik kantin armada sodaco, tempat ia dan Rao sedang berbincang.
Rao menggeleng. “Aku sudah lama tak pulang. Pasti banyak yang telah berubah.”
Laki-laki setengah baya itu menarik sebatang rokok dari bungkusnya, lalu menyelipkannya di bibir. Sebenarnya ia terkejut sekali saat Marpaung menyebut-nyebut nama itu. Masa lalunya yang telah mati hidup kembali. Namun, Rao cepat menyembunyikan perubahan air mukanya di balik gumpalan asap rokok yang diembuskannya. Asap itu tebal bergumpal-gumpal, persis isi kepalanya.
“Kau pernah bertemu mereka?” tanya Rao.
“Tidak pernah,” jawab Marpaung.
“Tiga minggu yang lalu kabarnya Ucok Lintah dibegal kawanan bedebah ini.”
“Bagaimana mungkin?” ledek Rao disusul tawa pendek yang terdengar sumbang. “Ucok itu preman di pangkalan sodaco ini. Tak mungkin mudah mengalahkannya.”
“Mereka punya senjata,” ujar Marpaung.
“Senjata?”
“Iya, senjata api. Bah! Kau pikir cuma parang? Kalau cuma parang, tak akan mundur kawan kita itu!” seru Marpaung tergelak.
Rao ikut tergelak. “Ooo, pantas saja kalau begitu.”
“Ya, karena itu kusarankan padamu, sebaiknya berhati-hati saat melintas di sana. Usahakan jangan melintas malam hari.”
Rao mengangguk dan tersenyum penuh arti. Bertahun-tahun yang lalu, ia juga seorang begal. Dan tentu saja, rahasia itu tidak akan ia ceritakan pada Marpaung. Rao yakin sekali, ada gerombolan lain yang memakai nama Gelang Akar, sebab saat ini, hanya dirinya satu-satunya orang yang masih hidup dari gerombolan itu. Alih-alih takut, Rao justru penasaran, siapa yang telah membangkitkan nama Gelang Akar?
*****
Bahar berdiri di ambang pintu. Baju seragam sekolahnya basah oleh air mata. Ada gurat luka di pelipisnya, seperti bekas cakaran. Mar sedang menjemur cucian ketika anak semata wayangnya itu bertanya dengan nada penuh kemarahan.
“Apa benar aku anak seorang begal?”
“Siapa bilang begitu?”
“Teman-temanku.”
Mar terdiam, memandangi wajah anaknya.
“Mana yang akan kaupercaya? Emakmu atau temanmu?” tanyanya gemetar.
Bahar mematung dengan wajah merah padam.
“Jangan dengarkan apa kata mereka,” lanjut Mar sambil mengusap kepala Bahar. “Mereka tak tahu apa-apa. Bapakmu bukan penjahat. Bapakmu sedang merantau ke Malaysia.”
“Betulkah itu?”
Mar mengangguk ragu-ragu. “Lihatlah foto yang tergantung di dinding itu,” katanya seraya menunjuk sebingkai potret buram yang tergantung di dinding. “Itu aku dan bapakmu. Ia lelaki baik-baik. Bukan penjahat.”
Bahar tak lagi bertanya. Ia meninggalkan ibunya mematung di bawah tiang jemuran. Dada perempuan itu rengkah. Entah sampai kapan hatinya sanggup menyimpan rahasia. Lidahnya membatu setiap kali ingin menceritakan semuanya kepada Bahar.
Semula Mar mengira jawaban yang ia berikan siang itu akan memungkasi persoalan, namun esok paginya, Bahar kembali pulang lebih awal dan membawa luka lebam di bawah mata. Ketika Mar bertanya, anak itu mengaku baru saja mematahkan batang hidung teman sebangkunya.
“Mereka boleh menghinaku. Tapi jangan sesekali menghina bapakku,” ucap Bahar geram.
Sejak hari itu, Bahar menjadi liar dan gemar berkelahi. Tak sekali dua kali Mar dipanggil guru. Tak jarang pula perempuan itu dilabrak orang tua yang anaknya babak belur dipukuli Bahar. Namun Mar tak pernah menjawab dan tak pula membela. Sikap yang akhirnya membuat Bahar kembali bertanya-tanya.
“Mengapa Emak tak pernah membela bapak?”
“Untuk apa? Mereka tak tahu apa-apa.”
Mendengar itu Bahar tersadar, tidak ada yang bisa membela bapaknya kecuali dirinya sendiri. Lantaran itu pula ia menolak ketika Mar membujuknya kembali ke sekolah. Bahar lebih memilih belajar kuntau pada Cik Amat, seorang pendekar tua di kampungnya.
Hanya butuh waktu tiga tahun bagi Bahar mengkhatamkan semua jurus yang diberikan Cik Amat. Tiga tahun yang mengubah dirinya dari bocah kerempeng, menjadi jago kuntau yang disegani.
Menginjak usia enam belas, Bahar mengajak teman-temannya sesama putus sekolah untuk bergabung dengan kelompok berandalan yang ia namai Gelang Akar. Nama itu terilhami dari kisah yang disenaraikan Cik Amat, bahwa belasan tahun yang lalu, nama itu dipakai segerombolan begal budiman. Mereka kerap membagi-bagi hasil rampokan kepada orang miskin di kampung-kampung.
“Tapi kini, tak ada yang tahu nasib gerombolan itu. Mereka mungkin telah mati ditembak polisi,” kata Cik Amat memungkasi kisahnya pada Bahar.
*****
Dari sekian puluh aksi yang dipimpinnya, baru kali ini Bahar dipaksa turun tangan. Laki-laki itu berhasil menumbangkan tiga temannya dalam satu pertarungan. Bahar tersadar, ia dalam masalah besar sekarang. Sopir truk yang dihadapinya kali ini, bukan sopir truk sembarangan. Bahar mengacungkan pistol, bermaksud menyudahi perkelahian. Namun pistol itu, entah mengapa, tiba-tiba tak mau bersuara. Pistol di tangannya seolah menjelma menjadi besi tua yang tak berguna.
Laki-laki itu menyeringai sambil menunjuk pistol di tangan Bahar dengan tatapan menghina. “Benda itu hanya cocok untuk perempuan.”
Bahar mendengus. Dibantingnya pistol itu ke aspal. “Kalau begitu, ajari aku berkelahi secara jantan!” serunya sembari meloloskan golok yang tergantung di pinggang.
Desing logam menggema di udara. Laki- laki itu menahan napas. Golok melesat di atas kepalanya. Dengan sigap, ia menarik tubuh ke belakang, namun terlambat. Ujung golok itu menggores pipinya. Bibir laki-laki itu bergetar, bukan oleh rasa sakit, melainkan oleh amarah. Dengan gerakan memutar, ia menendang dada Bahar. Bahar melompat mundur. Laki-laki itu mencabut sebilah belati.
Jual beli jurus berlangsung di atas jalan yang sepi. Golok dan belati saling silang mencari maut. Meski pertarungan telah berlangsung bermenit-menit, namun di antara mereka belum ada yang menyerah. Bahar mengeluarkan semua jurus kuntau yang ia miliki, namun laki-laki itu masih tetap berdiri.
“Aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriak Bahar kalap dan merasa sedang dipermainkan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum mencela. Namun ia tak bisa menutupi sirat lelah di wajahnya. Pertarungan itu telah menguras separuh tenaganya.
Untuk sementara laki-laki itu masih sigap mengelak, namun lama kelamaan ia terdesak juga. Hingga pada satu titik, Bahar menemukan satu celah. Kepalan tangannya berhasil mendarat di pelipis, disusul tendangan ke tulang rusuk. Sabetan golok menyilang tajam, merobek urat besar di pangkal leher. Laki-laki itu mengeluh pendek, lantas tumbang di atas genangan darahnya sendiri.
Belum pernah Bahar bertemu musuh segigih ini. Lawan paling tangguh yang pernah ia hadapi. Ia menghampiri mayat itu, lalu memungut selembar foto yang tercecer di atas aspal. Dua wajah yang tak asing di foto itu membuat tubuhnya bergetar, memicu raung panjang dari mulutnya. Bahar jatuh berlutut, meratap rindu pada bapaknya dan menghiba meminta ampun pada emaknya. (*)
* Sodaco, sebutan masyarakat kota Medan untuk angkutan kota.