Iklan Atas

Blogger Jateng

Di Balik Sebuah Tawa | Cerpen Dwi Rezki Fauziah


Selalu ada hal baru yang kutemukan setiap kali aku memasuki bangunan itu. Sebuah sekolah menengah atas yang punya asrama. Sekarang memang marak-maraknya sekolah berbondong-bondong merubah sistem pengajaran. Awalnya reguler—datang pagi pulang petang, menjadi boarding school—datang habis lebaran, pulang sebelum Ramadhan di tahun selanjutnya. Mengapa demikian? Aku tak tahu-menahu tentang itu. Aku hanyalah seorang petugas sampah, yang bertugas mengangkut sampah anak-anak remaja yang tinggal di sana.

Semenjak sekolah ini berdiri tiga tahun silam, aku sudah menekuni pekerjaan ini selama lima tahun. Biasanya di pagi buta, aku mengunjungi kompleks perumahan, di mana terdapat barang-barang rumah bekas yang sebenarnya masih bisa digunakan. Tak segan kubawa pulang bila kudapati demikian. Kucuci sedikit sebelum sampai rumah, dengan begitu isteriku tidak akan terlalu mengeluh tentang baunya yang sudah tidak terdeteksi lagi. Ada udang basi, minyak jelantah, gorengan bermalam, opor uletan, terasi, telur busuk dan sisa-sisa makanan dapur lainnya.

Bungsuku sendiri—karena dia laki, aku sering membawakannya mainan anak-anak dari kompleks perumahan itu. Mainan yang menurutku sangat tidak layak untuk berada di tempat sampah. Mobil-mobilan misalnya, baru lepas rodanya satu, sudah dibuang. Padahal kan masih bisa jalan. Ada juga boneka Barbie—cocok untuk anak perempuanku, masih baru, masih utuh. Hanya saja kutemukan memang dalam keadaan telanjang. Aku menduga-duga pemiliknya pasti kehilangan baju boneka ini. Padahal isteriku bisa saja menjahitkannya baju dari kain-kain bekas hasil mulung juga. Benar kata Will Rogers, terlalu banyak orang menghabiskan uang yang mereka dapatkan untuk membeli hal yang tidak mereka inginkan. Haha, aku membacanya dari sampul buku yang kupulung kemarin dulu.

Aku bersyukur anak dan isteriku paham keadaan keuangan kami. Mereka takkan mengeluh bila tiap lebaran, yang bisa kuberikan hanya baju bekas. Atau mukenah putih yang sudah menguning. Anak-anakku juga tidak pernah merengek dibelikan mainan baru. Hanya saja, si sulung itu—karena sudah kelas sembilan, dan sudah tidak tertarik dengan mainan lagi, kadang cemburu bila kupulang dengan tangan kosong untuknya. Dia juga sudah sadar akan pekerjaan orang tuanya, dan sesekali merajuk karena diejek teman sebayanya. Kalau itu sudah terjadi, aku hanya bisa berkata padanya untuk sabar. Sebab rasanya itulah satu-satunya pembelaan yang paling mungkin dilontarkan oleh kami—kaum-kaum daif.

Kabar baiknya adalah, sejak memungut sampah di sekolah berasrama itu, aku menemukan lebih banyak hal yang bisa diberikan pada anak sulungku itu. Buku bekas, pulpen, botol sejenis tupperware tapi yang imitasi, kotak asesori, jam tangan, sepatu dan beberapa jenis pakaian seperti jilbab, celana dan baju, yang semuanya masih layak pakai. Saban hari, ada-ada saja sesuatu mengejutkan yang membuatku sumringah. Di benakku, sibuk berkeliaran kata-kata pujian seperti: “Wah, ini masih bagus,” “Yang ini pasti cocok dengan Lilis,” “Sayang sekali, barang mahal begini kok dibuang.

Pernah suatu hari, aku menemukan kalkulator menyembul di antara serak kantung sampah. Setelah kuperiksa beberapa kali, kalkulator itu masih berfungsi. Casing-nya juga masih bagus. Kuingat, beberapa hari lalu, Lilis ingin dibelikan kalkulator. Sebab katanya itu sangat dibutuhkan di pelajaran akuntansi. Memang aku bahagia menemukan kalkulator ini. Tetapi di sisi lain aku berpikir, mungkin saja seseorang atau bahkan empunya kalkulator sendiri tak sengaja membuangnya. Kepada salah seorang remaja berambut ikal yang lewat aku bertanya, apakah benar kalkulator ini sudah dibuang oleh pemiliknya. Pokoknya kalau sudah di tempat sampah, berarti tidak digunakan lagi, dan boleh diambil juga, jawabnya.

Hatiku senang bukan kepalang. Lilis pun sangat suka dengan kalkulator itu. Ya, terkadang Tuhan memang menciptakan kebahagiaan dari hal paling sederhana. Maka sudah sepatutnyalah manusia tidak berputus asa dalam menemukannya, terlepas apakah kebahagiaan itu dicari atau diciptakan.

Hari ini—sudah menjadi rutinitas, aku kembali lagi ke sekolah itu sembari sesekali berucap shalawat atau tasbih-tasbihan. Karena ini hari Sabtu, aku tahu bahwa mereka (siswa-siswi sekolah itu) mengadakan apel pagi, sehingga aku sengaja meneruskan sepeda motor khusus pengangkut sampahku ke pantry—sebutan untuk ruang makan mereka. Selepas apel, seluruh siswa biasanya berkumpul di suatu tempat. Tetapi hari itu nampaknya mereka punya agenda membersihkan asrama. Alhasil, aku pun panen sampah.

Dua kali lipat banyaknya. Sampah yang kudapat hari ini sudah menggunung dan tak muat lagi untuk kuangkut. Akhirnya kuputuskan untuk membawanya terlebih dulu. Tetapi sebelum itu, kusempatkan bertanya pada seorang siswa yang lewat.

“Dek, ini ada apa yah? Kok pada bersih-bersih?”

“Oh mau rolling, Pak. Pindah kamar gitu. Saya saranin, sampahnya itu jangan langsung dibuang. Banyak loh teman-teman buang barang-barang bagus, katanya biar nggak repot angkat banyak-banyak.”

“Oh iya, Dek. Makasih.”

Mendengar itu, aku sengaja memilih rute yang melewati rumahku dalam perjalanan menuju tempat pembuangan. Tiba di rumah, aku langsung membongkar muatan. Kupanggil isteriku yang sedang menyapu halaman. Bersamanya, kucari barang-barang layak pakai. Dan benar saja. Mulai dari alat tulis, hingga perlengkapan sehari-hari semuanya oke. Terlebih beberapa pasang baju dalam satu kresek ini. Masih utuh, dan tiada sobek maupun benang yang menjuntai sama sekali. Menatapnya, aku merasa mereka seakan memohon padaku untuk tidak dibuang. Mereka tak terima diterlantarkan padahal dalam keadaan baik-baik saja. Pun mereka sepertinya ingin kembali digunakan sebagaimana mestinya.

“Baiklah barang-barang buangan, sekarang kalian punya tuan baru,” sumringahku dalam gumaman pelan.

*****

Hujan semalaman membuat pakaian yang dicuci isteriku lembab dan tak dapat kukenakan. Anak-anakku juga begitu. Sehingga, kami memutuskan memakai pakaian yang didapat kemarin. Aku pakai bekerja. Lilis pakai ke rumah temannya—kerja kelompok. Sedangkan isteri dan dua anakku memakainya di rumah saja. Kebetulan sekali, baju yang kupakai ini persis dengan yang dipakai Lilis. Baju merah marun, dengan tulisan putih Social One di depannya. Aku dan Lilis memang sama bodi. Akhirnya, kami pun berangkat ke tempat tujuan masing-masing.

Aku ingat lagi, bila hari Minggu—hari libur anak sekolah, di pagi ketika aku biasa datang, para siswa yang notabene remaja ini akan ramai berkumpul di pantry untuk sarapan. Waktu aku datang, biasanya para siswa itu acuh tak acuh saja, tapi kali ini rasa-rasanya berbeda. Mereka jadi banyak tertawa. Entah karena hari ini mereka mendapat banyak kesenangan, atau karena aku. Tetapi, sedikit pun aku tidak merasa ada yang lucu dari diriku. Jadi, kuputuskan untuk tak hirau dengan tawa mereka.

Sebenarnya aku juga sedikit penasaran. Pasalnya bisa kulihat jelas dari spion, mereka tampak menatapku yang menjauh, kemudian berbisik-bisik, lalu tertawa lagi. Bahkan sempat tertangkap mataku, seorang tampak mengambil gambarku lalu menyembunyikan handphone-nya. Ah, ada-ada saja anak-anak ini. Aku kan bukan pertama kali mereka temui. Apa sebenarnya yang mereka hebohkan? Bahkan sampai aku berjarak ratusan meter dari mereka, masih jelas kudengar tawa mereka. Di kepalaku, mereka pasti sambil terpingkal-pingkal. Kalau tidak, mana mungkin tawanya meledak ke mana-mana.

Akhirnya aku lelah sendiri. Memikirkan hal yang tidak penting juga kuketahui. Sudah pukul dua siang aku tiba di rumah dan anak-anakku sedang tertidur pulas. Giliran isteriku pamit bekerja di rumah Pak Badi—sekretaris desa. Biasanya isteriku dipanggil kalau isteri Pak Badi terlalu sibuk dan tak sempat menyetrika pakaian. Jadilah aku sendiri di beranda sembari membolak-balikkan koran yang kuamankan sewaktu memulung tadi.

Tiba-tiba saja, dari arah barat, Lilis datang dengan langkah yang tangkas—setengah berlari tepatnya. Sesekali kulihat dia mengusap pipinya. Barulah kemudian kutahu bahwa dia menangis, ketika telah sampai di muka rumah.

“Ada apa, Lis? Datang-datang kok nangis?”

Lilis tidak menggubris pertanyaanku. Dia malah menyelonong ke kamar sembari membanting pintu masuk. Aku tersentak. Kulihat adik-adik Lilis juga terbangun karenanya.

“Kenapa Lis? Kamu ini kenapa, Nak?”

Lilis bukannya menjawab pertanyaanku, malah membuka bajunya tanpa kuduga-duga. Sehingga, di hadapanku kini terlihat jelas lekuk tubuhnya yang hanya ditutupi celana dan kutang yang menutupi buah dadanya.

“Astagfirullah, kamu ngapain Lis?! Sudah gila apa?!”

“Bapak yang gila!! Bapak tahu tidak? Baju yang Bapak kasih Lilis ini, adalah baju kakak teman sekelompok Lilis yang sekolah di asrama itu! Lilis malu, Pak! Malu!” bentaknya sambil tersedu. Beberapa kali kalimatnya harus terpenggal karena isak.

Hatiku pun tercabik-cabik. Sekarang aku mengerti, arti dari tawa anak-anak remaja di sekolah berasrama tadi.

Dwi Rezki Fauziah menyukai menulis dan beberapa karyanya telah terbit di sejumlah media.