Iklan Atas

Blogger Jateng

Dibantu Hujan | Cerpen Ken Hanggara


Setelah mencoba beberapa kali, hingga lantai kamarnya penuh bergumpal-gumpal sampah kertas, seorang pengarang yang tidak disebutkan namanya keluar kamar. Di luar langit begitu pekat dan tentu hujan kemungkinan besar akan turun.

“Seandainya dalam setiap tetes air ini muncul kata-kata,” batin si pengarang tanpa nama itu.

Dia tidak sedang bercanda dengan diri sendiri, atau dia tidak suka bercanda dengan hidupnya yang merana. Sebagai pengarang, dia tidak terlalu dikenal. Alangkah banyak karya yang dibuat dengan susah payah, ditolak mentah-mentah oleh penerbit. Di satu saat ketika otaknya memikirkan hal ini. Dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata, dia tidak sedang membuat lelucon.

Entah berapa tahun sudah pengarang yang tidak disebutkan namanya ini tidak lagi bergairah terhadap lelucon. Baginya, hidup menderita dengan uang pas-pasan dan banyak utang, sudah lebih dari cukup disebutnya sebagai lelucon.

Suatu ketika seorang asing berkata padanya, “Suatu hari nanti Anda jadi pengarang terkenal.”

Barangkali dia terlalu berharap, dan sayangnya harapan itu tidak sesuai kenyataan. Seseorang perlu diberi piala.

“Orang yang menyebutku kelak mampu jadi pengarang terkenal adalah pelawak terlucu sejagat raya!” katanya penuh ironi, di depan kekasih. Kemudian pergi tanpa meninggalkan pesan.

“Sayangnya, aku tidak ketemu lagi dengannya, dan setiap kali ada niatan ingin mencari orang itu, dompetku kusut. Coba kalau kami ketemu, sudah kuberi piala dia!”

Tentu, yang dimaksud ‘piala’ tidak lain adalah bogem mentah.

Pengarang yang tidak disebutkan namanya ini kesal dengan segala harapan. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa terhadap seluruh karya yang ia buat. Dia benar-benar telah menerapkan wejangan dari sastrawan senior. Sering bolak-balik luar negeri hanya dari tulisan yang dibuatnya. Itu sebabnya si pengarang yang tidak disebut namanya ini mematuhi nasihatnya: “Bahwa berkaryalah dengan jujur, sebab itu yang penting. Jujur!”

Tidak ada kata dusta di kamus kehidupan pengarang yang tidak diketahui namanya ini. Memang sudah jadi modal yang kuat. Hanya saja, karya-karya yang dia buat belum menarik minat penerbit. Ada banyak sekali alasan yang diungkap, dan dalam tiap alasan kadang-kadang ada pula alasan lain. Alasan di balik alasan.

Si pengarang yang tak akan pernah disebutkan namanya ini muak mendengar hal itu. Malam ini, ketika dirasanya hujan akan turun dengan sangat deras, salahkah dia berangan bahwa tiap tetes air yang akan turun dari langit, berubah menjadi kata-kata?

Jika saja itu bisa, anggaplah demikian, jika saja keinginan absurd itu bisa terjadi, di mana dia dapat mengerjakan karya terbaiknya? Mungkin dengan membuka jendelanya, dia bisa membiarkan tetes air yang berubah jadi kata-kata tadi segera menyelinap masuk ke kepalanya. Mungkin sekalian dia gelar tikar di teras kamarnya yang sempit, lantas dibiarkannya tetes air hujan menerjang laptop tuanya yang sudah nyaris sekarat?

“Seandainya bisa seperti itu,” pikirnya setengah gembira. Setengah miris, “Maka di dunia ini akulah pengarang paling bahagia. Hanya aku yang tahu rahasia bahwa di surga sana, Tuhan sedang berpihak pada pengarang yang sering kehilangan kesempatan. Malah tidak punya kesempatan sama sekali!”

Pikiran ini sedikit banyak menghibur, tetapi tetap saja tidak ada kata-kata muncul dari setiap tetes air hujan. Jika saja benar demikian, kata-kata macam apa yang bakalan mendaras setiap kalimat, setiap baris, setiap paragraf dan bahkan setiap lembar halaman karyanya? Bahkan, hujan tidak punya otak.

“Baiklah, mungkin imajinasiku kurang liar,” sambung pengarang yang tak disebut namanya.

“Aku perlu membayangkan ada pikiran di setiap tetes air hujan, atau sebut saja otak- yang tak tahu bagaimana bentuk dan wujudnya. Tetes air itu ‘kan benda cair dan di dalam benda cair tidak mungkin terpajang benda padat seperti si otak yang kuinginkan.

Mungkin bentuknya juga cair, tetapi terdiri dari zat yang berbeda. Dengan begitu, tetes-tetes air yang membentuk karyaku nanti tidak kacau dan bagus. Tentu saja, tulisan orang berotak amat jauh jika dibandingkan tulisan orang gila yang tak berotak. Jutaan tetes hujan tanpa otak hanya menunjukkan pada dunia bahwa aku mungkin sudah gila.”

Pengarang yang tidak disebutkan namanya ini masuk kembali ke kamarnya. Dia dengan wajah semringah, memandangi setiap gumpal sampah kertas yang bergelimpang di lantai kamar. Dia pungut salah satu kertas tersebut dan membaca sekilas. Setiap kertas mungkin saja ditaburi hampir empat ratus kata. Jika memang benar semacam itu cara menghitungnya, maka hanya dalam sepuluh detik, dia mampu membuat tulisan yang lumayan tebal; sejenis mini novel.

Ada berapa tetes air hujan dalam sepuluh detik di sekitar kamar kostnya? Dan, sudah pasti, tidak bisa tidak, dalam suatu malam dengan hujan yang sangat deras, bukan tidak mungkin dia menghasilkan sebuah novel fenomenal yang cukup tebal.

Pengarang tanpa nama tahu, dia tidak harus membuat karya setebal bukunya Jostein Gaarder. Tentang gadis cilik bernama Sophie yang bertualang di dunia filsafat dan segala yang sejenis itu. Dia juga tidak perlu membuat karya dengan cerita yang kompleks dan berkelanjutan, hingga beberapa generasi seperti The House of The Spirits-nya Isabel Alende.

Dia boleh saja menulis sesuatu yang tak terlalu tebal, namun kaya makna. Seperti punya Ernest Hemingway yang terkenal: The Old Man and The Sea. Atau barangkali La Casa de Papel-nya Carlos Maria Dominguez? Atau karya dengan ketebalan wajar, tapi mengangkat sesuatu yang simpel dan mendalam. Seperti The Curious Incident of the Dog in the Night-Time-nya Mark Haddon?

“Aku bebas menulis karya macam apa dan boleh saja berhenti jika memang aku mau berhenti saat itu juga, bukan?” tukas si pengarang yang tidak disebutkan nama dan alamat domisilinya ini. Setelah dia berpikir beberapa lama dan memutuskan bahwa soal waktu dan ketebalan karya itu nomor dua, sebab yang terpenting adalah kejujuran dan kualitas.

Apa yang pembaca butuhkan dan buku macam apa yang kiranya belum ada banyak di pasaran? Itulah yang perlu dia tulis!

Pengarang yang tidak disebutkan namanya pun dengan tawa lepas dan bebas, dapat memungut semua sampah kertas di lantai kamarnya, lalu memasukkannya ke keranjang sampah di samping meja kerja.

Dia pergi ke sudut kamar yang terdapat meja lain dengan beberapa stoples dan termos dan wadah sendok serta piring. Di sana dia membuat segelas kopi dan berniat memulai ritual menulisnya setelah hujan benar-benar turun nanti.

Sebelum kopi selesai diaduk, hujan benar-benar turun dan sangat deras. Pengarang yang tidak disebutkan namanya pun buru-buru meninggalkan pojok kamar tempat meja makan tersebut. Dia duduk di depan laptop tuanya di meja kerja. Dia mulai berimajinasi. Dia tidak perlu duduk di bawah tetes air hujan, sebab laptopnya sudah pasti akan rusak jika terkena serbuan air. Dia cukup membuka jendela balkon, lantas membiarkan udara sejuk hujan mengalir masuk membelai wajahnya.

“Jika benar dalam setiap tetes air hujan akan muncul kata-kata yang tepat, aku tak akan pernah libur menulis. Akan kubuat karya-karya hebatku setiap kali hujan turun. Di mana-mana akan terbit karyaku yang disukai. Tentu saja penerbit-penebit yang tidak sudi menerimaku sebelumnya akan malu pada saatnya nanti! Dan, oh, ya! Aku hampir saja lupa seseorang yang pernah bilang bahwa aku kelak bisa menjadi pengarang yang sangat terkenal. Dia tidak akan kuberi piala berupa tinjuan, tetapi peluk hangat. Aku tidak akan gengsi berkata begini, ‘Setiap kata adalah doa. Anda dahulu kala pernah berdoa bahwa saya bisa menjadi pengarang terkenal. Anda tentunya tahu doa Anda itu terkabul!’ Aku tahu secara pasti, itulah kalimat terbaik yang bisa kukatakan ke orang yang sudah berjasa mendoakanku!”

Ditengah segala macam pemikiran itu, pengarang yang tidak disebutkan namanya ini mulai mengetik beberapa kalimat awal. Dia tidak tahu dari mana asalnya tiap kalimat bisa mengalir begitu saja dan di udara di sekitarnya. Dia tidak melihat adanya aliran kata yang mungkin lahir dari setiap tetes air hujan.

“Aneh,” pikir si pengarang yang mulai optimis ini, “kupikir kata-kata tersebut ada dan terlihat dalam wujud tertentu. Mungkin berupa asap berwarna, sehingga dapat aku tahu asap tersebut mengalir kemari dan kuhirup melalui lubang hidungku yang besar ini. Barusan tidak terlihat apa-apa. Hanya udara sejuk di sekitarku!”

Toh si pengarang yang tidak disebutkan namanya itu tetap menulis dan sesekali ia sengaja berhenti. Hanya agar dapat memastikan susunan kalimatnya bisa terbaca dengan baik. Memang, apa yang barusan dia ketik lumayan bagus.

Dia teruskan upaya mengarang di tengah malam hujan yang deras, dan tentu, setiap tetes hujan tidak melahirkan kata-kata bagi siapa pun. Tidak ada yang melahirkan kata-kata sebaik pikiran setiap pengarang yang dilahirkan dengan kemauan sekeras baja demi menaklukkan halaman kosong.

Dia barangkali gila, sebab berpikir macam-macam tentang air hujan yang mampu membuatnya menulis lebih baik. Orang berpikiran normal hanya akan berkata, “Dia sedang memotivasi dirinya sendiri.”

Kelak, pengarang yang tak disebutkan namanya ini tahu, malam ajaib itu tidak lain adalah berasal dari pikirannya sendiri. Tentu saja, dia masih harus bersabar menghadapi lebih banyak cobaan.(*)

Posting Komentar untuk "Dibantu Hujan | Cerpen Ken Hanggara"