Pada kondisi demikian, keluarga dan sesama teman tak bisa saling mendukung, alih-alih menghibur. Sebab mereka sama-sama dirundung kesedihan. Karena alasan wabah kesedihan itulah, komedian kita memilih untuk membuka lapak baru dengan dagangan baru: lelucon-lelucon.
Konon, lelucon adalah obat mujarab untuk menghilangkan kesedihan, meski cuma sejenak. Berjualan lelucon tak butuh banyak modal. Cukup mengandalkan bualan, perbendaharaan kata lucu, juga bahan-bahan berupa kisah-kisah yang memungkinkan untuk diplesetkan. Dan Komedian Kita cukup ahli dalam hal-hal tersebut.
Jadi, ketika kebanyakan orang berjualan yang macam-macam. Komedian kita memilih untuk berjualan lelucon. Harganya murah. Beli satu lelucon dapat bonus satu lelucon. Lelucon itu bisa beraneka bentuk dan rupanya, tema dan pesannya. Mulai dari lelucon politik, fisik, sampai lelucon berbau RA-SA. Tapi, untuk yang terakhir itu komedian kita harus ekstra hati-hati. Sebab, RA-SA adalah wilayah sensitif yang sejatinya kurang lucu untuk dijadikan bahan lelucon. Tapi begitulah, tidak sedikit dari para pelanggan komedian kita yang suka dengan lelucon satu itu.
“Lelucon, lelucon, murah, murah… Kalau tidak lucu uang kembali, kalau sukses terhibur boleh kembali lagi…” pekik komedian kita di tengah keriuhan lapak.
Orang-orang mengerumuninya. Mulai dari anak-anak sampai orang-orang renta. Para gadis yang patah hati suka membeli lelucon yang berisi tentang ketololan lelaki. Para istri yang jengkel pada suami pun suka membeli lelucon jenis itu. Orang-orang tua yang lelah dengan kelakuan anaknya sangat suka dengan lelucon anak jaman now.
Sedangkan para pejabat, biasanya suka titip beli lelucon politik. Tapi, kalau kebetulan lelucon politik yang dibeli itu menyerempet kisahnya, tak segan-segan ia melabrak komedian kita, menyuruhnya hati-hati kalau meramu lelucon. Mendapat dampratan semacam itu, komedian kita tak pernah gentar, ia hanya membalas dengan santai sambil cengengesan, “Itu cuma lelucon, Bapak. Jadi, kalau ada yang tersinggung, jangan-jangan itu beneran. Hahaha…”
*****
Komedian Kita orangnya humoris. Memang begitulah seharusnya syarat utama menjadi seorang penjual lelucon. Bahkan, penjual apa pun memang seharusnya humoris. Calon pembeli lebih suka disuguhi senyum dan tawa ketimbang muka kecut.
Biasanya komedian kita meracik lelucon-lelucon yang dijualnya itu tengah malam. Saat, suasana hening. Dengan begitu, komedian kita bisa berpikir lebih jernih dalam meramu leluconnya. Sehingga tidak ada lelucon yang kebablasan, terlalu matang, atau bahkan terlalu mentah.
Seiring permasalahan manusia yang semakin komplek, yang menimbulkan kesedihan yang semakin rutin, ditambah lagi musim pilkada yang semakin dekat, juga suasana politik yang kian menghangus, lelucon-lelucon komedian kita kian laris. Tak pelak, penghasilan komedian kita dari berjualan lelucon kian menukik. Sampai-sampai, komedian kita mulai kehabisan bahan untuk membuat ramuan lelucon yang baru. Sebab, tentu saja, para pembeli tak pernah sudi membeli lelucon yang sama. Hal itu membuat Komedian Kita kewalahan. Bahkan, meski harga leluconnya dinaikkan dua sampai tiga kali lipat, para pelanggan yang sudah kadung ketagihan lelucon komedian kita tak pernah mempermasalahkan.
Seperti malam itu, komedian kita kedatangan pelanggan seorang istri pejabat, yang memesan lelucon begitu banyak. Belum pernah ada orang memesan lelucon sebanyak itu. Sebab, suaminya yang seorang petinggi sebuah partai tersandung kasus yang lumayan menyedihkan, hingga tindak-tanduknya menjadi murung selama berhari-hari. Dibutuhkan banyak lelucon untuk orang seperti itu.
Maka, malam itu juga, komedian kita mulai mengumpulkan sisa-sisa bahan yang ada. Meramunya dengan lihai, sekena mungkin dengan tema yang diminta. Dan mengirimnya dengan gegas untuk pelanggan istimewa.
Esok harinya, komedian kita benar-benar kehabisan bahan lelucon. Sedangkan ia harus tetap berjualan, supaya pamornya sebagai penjual lelucon tidak mandek hanya gara-gara libur jualan sehari. Untuk meraih kesuksesan, dan kepercayaan dari pelanggan, hal semacam itu harus dipertimbangkan, begitu pikir Komedian Kita.
Maka, untuk tetap bisa berjualan, komedian kita mulai berani meraup bahan yang sebelumnya jarang ia pakai, yakni lelucon-lelucon beraroma RA-SA. Lelucon itu memang rawan, tapi begitu jadi, hasilnya kadang menakjubkan. Orang bilang, meledak. Bikin hati deg-degan. Seperti bermain taruhan. Lagi pula, menurut komedian kita, sesekali ambil lelucon beraroma RA-SA tak jadi masalah selama tidak melampaui batas. Maka, yang terjadi terjadilah.
*****
Ketika lelucon itu disuguhkan, ledakan dari kepuasan pelanggan memang muncul. Namun, beberapa waktu kemudian, orang-orang yang tersinggung mulai menghujat dan melabrak komedian kita secara terang-terangan. Lapak jualan lelucon komedian kita kukut sudah diporakporandakan para pihak yang tersinggung itu.
Komedian kita minta maaf kesana-kemari, tapi apa boleh buat, komedian kita lupa, lelucon-lelucon itu muncul dari liang paling mengagumkan di kepala manusia: mulut. Dan lelucon apa pun, kalau sudah terlompat dari liang itu, tak bisa dimasukkan kembali. Itu lebih buruk dari muntahan. Bahkan muntahan bisa ditelan lagi. Tapi, kata-kata? Bagaimana cara menelannya?
Semenjak itu, komedian kita memutuskan untuk istirahat dulu dari membuat lelucon-lelucon. Komedian kita sadar, tak ada yang benar-benar lucu dari lelucon semacam itu. Kalau ia mau, ia bisa saja meraup bahan lelucon yang sebenarnya tak pernah habis di dunia ini. Sebagaimana ke-sedihan, yang juga tak pernah kukut dari dunia ini. Hanya saja, komedian kita merasa perlu belajar lagi, terutama dalam hal membuka dan menutup mulut pada tempatnya.
Posting Komentar untuk "Penjual Lelucon | Cerpen Mashdar Zainal"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar