Kulihat awan sudah tak jelas lagi bentuknya. Muncul kilatan-kilatan di langit. Kunaikkan resleting jaket sampai ke leher. Namun tak membantu banyak. Aku tetap kedinginan.
Aku turun ke bawah, tempat kendaraan diparkir di dalam kapal. Katanya, jika hendak menghangatkan diri, pergilah ke sana. Namun belum sampai lima menit, aku sudah tak tahan. Aku kembali ke atas. Bukan karena di sana makin dingin. Sebaliknya, terlalu panas. Asap kendaraan bergulung-gulung. Mesin mobil dinyalakan, padahal sudah jelas tertera tulisan “Dilarang Menyalakan Mesin Kendaraan selama Kapal Berlayar”. Begitulah Indonesia, peraturan tinggal peraturan; peraturan dibuat untuk dilangar.
Di geladak bawah aku melihat puntung rokok. Masih setengah batang. Daripada mubazir, aku memungutnya. Di buritan kusulut puntung rokok itu.
Aku bersandar di pinggir buritan, membiarkan angin menerpa. Biarlah, daripada aku harus masuk ke ruangan VIP. Ruangan itu hanya membuatku mual dan ingin muntah karena bau khas; mi instan dalam gelas plastik. Lagipula jika masuk ke sana, setiap orang harus membayar. Membayar? Untuk merokok pun aku memungut puntung.
Satu jam kemudian kapal berangkat. Debur ombak mereda. Awan pergi menjauh bersama kilatan-kilatan itu. Bulan sabit muncul malu-malu, tertutup segumpal awan yang tertinggal. Akhirnya!
Setelah beberapa jam, kapal bersandar di dermaga. Aku yang semula tertidur, terbangun oleh bising bunyi kapal tanda menepi. Orang-orang berkemas. Seorang ibu berbaju lusuh bersandar di dinding geladak di seberangku berbenah. Dia membangunkan sang anak yang berumur dua tahunan. Dia menarik selendang, lalu mengikat dan mengendong si anak. Tasnya besar-besar. Mungkin telah bertengkar dengan suami dan hendak kabur ke rumah orang tuanya.
Di ujung geladak atas dua anak kecil berlarian mengitari dudukan besi. Seorang ibu tua kewalahan menyuruh mereka berhenti. Beberapa anak kecil datang dari geladak bawah menuju dinding kapal. Aku tahu maksud mereka. Mereka bakal melompat dari atas kapal!
“Om, lompat goceng, Om?” rayu salah seorang di antara mereka.
Aku bergeming. Aku sedang berhemat. Dasar bocah!
Dulu, waktu aku masih kecil, anak-anak macam itu meminta uang koin. Bukan lembaran. Ah, mungkin zaman sudah berubah. Tiba-tiba seorang perempuan melempar uang sepuluh ribuan yang sudah dilipat-lipat sampai kecil. Seketika itu ada lima atau enam anak terjun ke air. Mereka memperebutkan uang itu. Itulah pemandangan yang selalu terlihat di pelabuhan. Ya, anak-anak itu mencari penghasilan dengan melompat dari atas kapal.
*****
Malam makin larut. Awan kembali cemberut. Apakah gerangan yang membuat ia menangis? Rintik air sedikit demi sedikit jatuh ke bumi, membasahi apa saja dan siapa saja.
Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Aku tahu tak ada lagi bus yang ngetem di pelabuhan. Kuputuskan naik mobil travel gelap. Sebenarnya sejak turun dari dermaga, sudah banyak calo menawariku naik travel. Namun aku tak menggubris. Biasanya para calo meminta ongkos pada sopir. Jadi lebih baik aku berjalan agak jauh dan mencari mobil travel yang hendak berangkat, sehingga bisa bertransaksi langsung dengan sang sopir. Tarif dari sopir lebih murah karena tak ada biaya tambahan untuk para calo.
Dua jam berlalu begitu. Hujan menemani tidurku selama di dalam mobil travel. Sopir membangunkan aku yang duduk di depan.
“Antasarinya mana, Koh?”
Koh lagi? Aku terdiam, memandangi sekitar. Ini sudah Jalan Antasari.
“Di Martabak Sinar Fajar, Pak. Tahu kan?”
“Oh, ya ya ya saya tahu.”
Beberapa menit kemudian, aku sampai di tujuan. Kubayar jasa travel, lalu masuk ke gang kecil. Jalan beberapa menit, sampailah aku di rumah. Lampu kecil berwarna kuning menggantung di depan rumah. Sudah bertahun-tahun lampu itu takpe rnah ganti warna. Remang.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam. Ah, akhirnya kau datang juga, Nak,” ujar Ibu yang membukakan pintu, lalu memeluk dan menciumku.
Aku membalas. Adikku yang baru terbangun masih linglung. Mungkin dia bingung, siapa laki-laki yang masuk rumah pagi-pagi. Ayah tak ada di rumah. Dia sedang di masjid, membangunkan orang-orang sahur. Setelah sahur, aku mandi, salat subuh, dan tidur.
*****
Malam datang begitu cepat. Udara begitu panas, tetapi angin bertiup ke sana-kemari. Tampaknya bakal hujan. Padahal, siang tadi panas begitu terik, seperti mencekik leher. Cuaca saat ini memang acap berubah-ubah.
Aku mengambil air wudu dan pergi ke masjid untuk salat isya sekaligus tarawih berjamaah. Aku datang terlambat dan kebagian shaf terakhir, shaf keempat.
Sebenarnya masjid ini tak terlalu ramai. Mungkin karena awal puasa. Namun biasanya tiga atau dua hari menjelang lebaran, malah bukan hanya empat shaf. Namun hanya empat orang!
Salat isya usai, aku melihat kejanggalan di shaf kedua. Ada satu tempat kosong di shaf itu. Aku berpikir, ada anak kecil di sana. Ternyata kosong. Entah kenapa.
Ketika muazin mengisyaratkan salat tarawih, aku memperhatikan tempat itu. Tak kunjung ada yang menempati. Aku bingung. Bukankah ketika salat harus merapatkan shaf? Namun jika aku maju, aku bakal melangkah shaf ketiga. Aku tak mau itu.
Usai salat, aku pulang dengan rasa heran. Aku bingung, kenapa tak ada seorang pun yang salat di tempat itu? Ah, mungkin Cuma perasaanku. Mungkin orang sebelah-menyebelah di shaf itu tak mau merapatkan barisan.
Keesokan hari, aku sengaja datang terlambat untuk membuktikan simpulanku. Benar, tempat di shaf kedua itu tetap kosong. Ada apa ini? Aku ingin bertanya, tetapi takut. Kuingat-ingat, ibuku pernah memberi pesan singkat tentang meninggalnya sesepuh kampung kami. Itu sekitar sebulan lalu. Apakah tempat itu sengaja dikosongkan untung mendiang sesepuh itu? Ah, kenapa pikiranku mulai ke mana-mana. Lebih baik aku tidur.
Hari ketiga aku salat, tempat itu tetap kosong. Aku takut, ada apakah gerangan? Apakah tempat itu diperuntukkan bagi mendiang Mbah Jarwo? Ah, warga kampungku tak sekolot itu. Akhirnya aku memberanikan diri bertanya pada Ayah sepulang tarawih.
“Yah, kok di shaf kedua ada tempat kosong? Kenapa?”
“Oh, itu. Kalau berani, coba saja kau salat di tempat kosong itu.”
“Ah, Ayah, jangan nakut-nakutin dong!”
“Siapa nakutin? Kan Ayah bilang, coba saja jika kamu berani.”
“Iya, itu sama saja nakutin, Yah!”
Aku masuk ke kamar. Aku merinding. Sepertinya dugaanku benar. Aduh, kok bisa sih warga berpikir sekolot itu? Aku berkeringat, padahal hawa sedang dingin. Apalagi aku sudah menghidupkan kipas angin. Ah, lebih baik aku segera tidur.
Malam hari, udai salat isya, Ayah menghampiri. Dia berbisik, “Kalau kamu penasaran, cobalah.”
Aku menoleh. Tak yakin.
“Coba saja.”
“Benar gak kenapa-kenapa, Yah?”
“Iya. Sudah cepat sana. Tuh imam sudah berdiri.”
Aku memperhatikan tempat itu dan kuberanikan maju ke tempat kosong itu. Ketika imam mengucap takbir, seketika aku merasa kedinginan. Tubuhku menggigil. Ada apa ini? Aku menahan diri sampai rakaat pertama. Namun saat rakaat kedua, aku tidak kuat. Seluruh tubuhku terasa membeku, rasanya sampai ke jantung.
Aku makin takut. Bulir-bulir keringat dingin menetes. Apakah di sini, di tempatku berdiri, ada arwah Mbah Jarwo? Aku bertahan sekuat tenaga sampai salam. Setelah itu, aku langsung mundur.
Ayah menghampiriku. “Gimana, Nak?”
“Gak kuat, Yah. Dingin banget. Pantas tak ada yang mau menempati tempat itu.”
“Sok mistis kamu. Coba lihat ke atas. Itu ada kipas angin rusak. Bisa nyala, tetapi tak bisa berputar. Jadi tak ada yang mau salat di sana.”
“Bangs*t!” batinku.
Chandra Buana, kelahiran Bandar Lampung, Sumatera. Kini, menempuh pendidikan pada Jurusan Manajemen Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.
Posting Komentar untuk "Shaf Kosong | Cerpen Chandra Buana"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar