Ia ada di situ setelah mencencang seekor ikan besar yang gendut. Didepan hakim yang mengadilinya, ia beralasan itu dilakukannya karena ikan besar itu telah memakan ikan-ikan kecil miliknya, membuat istri dan anak-anaknya terancam kelaparan. Hakim menggeleng, dan mengingatkan yang ia cencang itu adalah seorang tauke hasil laut di kampungnya. Ia menatap gelengan hakim dengan rupa tak paham. Tetap saja ia menganggap yang diiris-irisnya itu adalah ikan besar yang sangat lahap memakan ikan-ikan kecil penyanggah hidup keluarganya.
Bukan cuma status terhukum yang divoniskan padanya, tapi juga predikat dapat membahayakan keselamatan orang lain, yang akhirnya membuatnya dibawa ke dalam sel yang terpisah dengan tahanan lain. Sejak itu pula kulitnya yang sekelam tembaga tidak lagi tersentuh terik matahari pantai; dan ia mulai rindu bercakap-cakap dengan seseorang.
Ia memastikan dibalik tembok ini ada laut. Bila telapak tangannya yang menyentuh tembok terasa kering, tentu air laut sedang surut. Dan bila pasang, air laut di balik tembok mungkin sampai merendam dasar tembok, dan ia memastikan itu ketika telapak tangannya yang menyentuh tembok terasa lembap. Dua lubang angin di bawah plafon hanya bisa mengirim cahaya siang dan gelap malam sebagai penanda waktu baginya.
Telah berpuluh-puluh kali cahaya siang dan gelap malam silih berganti memperlihatkan diri lewat lubang angin itu. Suara debur ombak dan bau air laut membuat indra pendengar dan pengendusnya tetap bekerja dengan baik, tapi mulutnya terasa akan kebas karena sudah terlalu lama diam. Dan ia makin ingin bercakap-cakap dengan seseorang.
Ia mulai berpikir, akan lebih bagus bila ada temannya didalam sel. Ia dapat mengobrol tentang ketamakan ikan besar itu, yang sangat rakus memakan semua hasil laut dari nelayan kecil, menghargainya dengan sangat murah setelah menjebaknya dengan beragam barang atau uang untuk diutang. Ia ingin pula bercerita pada teman satu selnya, bahwa perbuatan mencencang tubuh itu dengan parang pembelah ikan tuna, adalah upaya membebaskan keluarga dan warga kampungnya agar terlepas dari cengkeraman si ikan besar–atau si tauke, menurut hakim yang memalu vonisnya.
Ia makin kerap terjaga. Kelopak matanya makin sulit diajak terlelap. Merasa tak tahan lagi, akhirnya ia mulai suka memukul-mukul pintu selnya.
*****
Telah empat kali sipir itu menanyainya, “Ada apa?” Dan ia selalu menjawab, “Saya mau teman satu sel.”
Awalnya sipir yang berdiri di luar pintu sel itu tertawa. “Kau pikir ini hotel, dengan sesukamu minta perempuan untuk kau temani tidur?”
“Saya tidak butuh teman tidur,” balasnya. “Saya mau teman berbincang.”
Sipir itu menggeleng. “Kau lupa, kalau kau itu sangat berbahaya? Bila ada teman satu selmu, suatu hari kau bisa saja menganggapnya ikan besar, lalu kau memotongnya.”
Ia mengguncang pintu sel. “Heh!” pekiknya. “Kau pikir di sini ada parang? Bahkan pisau pemotong kuku pun tidak ada!”
“Mungkin kau akan menggigitnya,” sipir itu mencibir. “Mungkin setelah kau mencekiknya terlebih dahulu.”
Ia marah. Makin sering pintu ia guncang, seraya berteriak, “Saya ingin teman satu sel. Saya ingin berbicang-bincang. Terus menerus diam akan membuat mulut saya tidak bisa lagi berfungsi. Saya bisa jadi bisu di sini!”
Para sipir mulai merasa terganggu. Di larut malam kadang ia berteriak, melolong, lalu bila lelah ia akan bercakap-cakap dengan dirinya.
*****
Suatu hari, keinginannya terwujud. Pintu selnya terbuka. Beberapa orang sipir dengan tatap siaga melangkah masuk.
“Mulai hari ini, keinginanmu kami kabulkan,” kata salah seorang sipir. “Lama kami menunggu ada tahanan baru masuk, yang kami anggap cocok untuk menemanimu. Paling tidak, pertimbangan kami, yang tidak mungkin membahayakan jiwanya. Sekarang kau tidak akan sendiri lagi. Seorang tahanan baru kami antar untuk menjadi teman satu selmu. Agar kami juga tidak lagi kau ganggu dengan teriakan-teriakanmu.”
Sipir yang lain tertawa. “Kami tempatkan tahanan baru ini di sini, karena kami yakin kau tidak mungkin membahayakan dirinya. Kau tidak mungkin sampai hati melukainya, atau malah membunuhnya, seperti yang kau lakukan pada tauke ikan itu.”
Seorang sipir masuk membawa kotak kayu sebesar kotak obat. Sipir itu meletakkan kotak itu di sudut kamar. Setelah pintu sel berdebam menutup, ia masih terheran-heran. Teman satu selnya hanya dibaringkan dalam kotak sekecil itu? Dia teringat kotak serupa tergantung di ruang kerja si ikan besar, dengan tanda + berwarna merah terang di penutupnya.
Ia mencoba berpikir. Tubuh sekecil apa pun, tidak mungkin dapat termuat di dalam kotak itu. Atau di dalam kotak itu hanya ada seorang bayi? Kejahatan apa pula yang dapat dilakukan seorang bayi, kecuali menggigit puting susu ibunya? Ia tertawa dengan pikiran di kepalanya.
Ia mendekati kotak itu. Pikirannya mulai meliar: isi kotak ini pasti bom. Atau benda apa saja, yang pasti ditujukan untuk membahayakan dirinya. Mungkin ini cara sipir-sipir itu membungkam teriakannya.
*****
Sipir itu menoleh, menjawab tak acuh, “Bukankah kau sendiri yang meminta teman satu sel?”
“Saya tidak minta ditemani sebuah kotak,” ujarnya. “Atau … eh, jangan-jangan itu kiriman tauke bangsat itu, untuk mencelakakan saya?”
“Tauke itu telah mati.”
“Bisa saja dikirim keluarganya.”
Sipir lain datang mendekat mendengar keributan itu. Setelah temannya memberi penjelasan, sipir itu menatapnya.
“Di dalam kotak itu, ada tahanan. Statusnya juga terhukum seperti dirimu,” jelas sipir yang baru datang itu. “Dia bisa menemanimu berbincang-bincang. Bukankah itu permintaanmu?”
Ia menoleh menatap kotak kayu bercat putih bersih itu. Mendadak ia berpikir, tahanan di dalamnya tentu sangat ahli melipat tubuh, sehingga bisa muat di kotak sekecil itu.
“Apa yang telah ia lakukan?” katanya pada sipir, dengan mimik heran.
“Dia telah membuat kota ini terbakar. Ke mana-mana dia menyebar fitnah, memprovokasi orang-orang, kelompok-kelompok, agar marah dan saling menghujat. Orang-orang dibuat saling membenci, saling mencurigai, lalu saling mengintimidasi. Di mana-mana lalu terjadi perkelahian, terjadi tawuran, dan terjadi perusakan. Dia sangat berbahaya,” jelas sipir itu.
Sipir yang lain menambahkan, “Namun, percayalah, dia tidak akan membahayakan dirimu bila menjadi teman satu selmu. Kami pun yakin, kau tidak akan membahayakan dirinya. Makanya kami menempatkannya satu sel denganmu.”
“Kalian akan menjadi teman satu sel yang sepadan,” sipir itu menambahkan, seraya tersenyum masam. “Parang dan kata-kata, sama-sama telah memakan korban.”
Ia menoleh lagi ke kotak itu. Ia belum sepenuhnya paham. Mungkin lebih baik bila ia mengajak tahanan teman satu selnya itu mengobrol. Saling berbagi pengalaman, bagaimana parang dan kata-kata dapat melukai.
Digesernya kotak itu ke tengah kamar sel. Ia membuka penutupnya, lalu melongokkan kepala. Ia terpana. Isi kotak itu menggeliat, sudut-sudutnya tertarik ke atas seperti menyungging senyum.
Ia tidak ragu lagi. Isi kotak itu ia keluarkan, lalu diletakkan di atas telapak tangannya. Telapak tangannya terasa geli. Benda itu terus bergerak dan menggeliat, seakan meregang karena lama terkurung. Bahkan kemudian menyapanya, “Hai.”
Sejak saat itu, para sipir yang mondar-mandir di luar kamar selnya, mulai sering mendengarnya mengobrol. Ia mengobrol serius dengan teman satu selnya, yang cuma sebuah mulut. ***
Pangerang P Muda ialah guru SMK di Parepare. Cerpennya, Tanah Orang-Orang Hilang, menjadi nomine dan ikut dibukukan pada antologi cerpen pemenang Tamanfiksi.com (2016) dan Runduk Bahu Bapak dibukukan dalam antologi Komunitas Parepare Menulis (2017).
Posting Komentar untuk "Teman Satu Sel | Cerpen Pangerang P Muda"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar