“Oladalah, lae, lae…”
Suaranya menggelegar di angkasa, selayaknya dewa yang sedang murka. Orang-orang ternganga, tidak bisa mempercayai penglihatannya. Ada yang menggosok mata, ada yang bengong menyeringai saja, ada pula yang coba-coba memotretnya. Semua orang langsung percaya itu memang Semar, tapi sekaligus juga semua orang tidak bisa percaya bahwa Semar itu benar-benar ada. Sama sekali tidak seperti pemain wayang orang. Ia tidak memakai make up. Ia tidak mengenakan kostum. Ia tidak memang topi rambut palsu. Tidak memasang bantal di pantatnya. Ia memang Semar. Asli Semar. Semar tulen. Tapi, bagaimana mungkin Semar itu ada?
Ia berdiri di sana, di bundaran Hotel Indonesia dengan wajah penuh amarah. Ia bukan lagi Semar yang sabar. Orang-orang kaget. Semar yang marah adalah Semar yang berbahaya. Gawat. Jangan sampai ia keluarkan kentutnya. Hancur nanti dunia dibuatnya.
Memang ia Semar. Wibawa yang meyakinkan memancar dari tubuhnya. Jalanan langsung macet. Lampu merah mati tidak berfungsi. Semua orang mendekat. Antara percaya dan tidak percaya semua orang melangkah ke satu arah. Memang ia Semar. Bukan badut Ancol, bukan pemain wayang orang, atau orang gila yang mencoba menarik perhatian. Percaya atau tidak, ia memang Semar, tidak ada yang meragukannya, meski hampir semua orang masih tetap saja tidak habis pikir. Ternyata Semar itu memang ada. Busyet. Mau apa dia?
Tapi Semar belum mengucapkan apa-apa. Bibirnya bergetar menahan perasaan. Orang-orang menunggu. Jika Semar sempat muncul di dunia nyata, pasti ada peristiwa yang luar biasa. Sudah berabad-abad ia bersembunyi saja entah di sudut bumi yang mana. Entah di mana ia tidur, entah di mana ia makan, entah di mana ia menjalani hidupnya sebagai Semar. Apakah ia diam-diam menonton wayang kulit dari balik kegelapan? Apakah ia berada di deret paling belakang ketika Semar muncul hanya untuk diejek-ejek oleh anak-anaknya, Gareng, Petruk, Bagong, dalam babak goro-goro yang merupakan ajang para Punakawan menggugat keadaan?
Semar, Semar, oladalah Semar. Memang ia Semar. Badannya gemuk bulat, rambutnya berkuncung putih, mata rembes selalu berair, hidung pesek, dan bibirnya cablik. Memang ia Semar. Katanya laki-laki, tapi dadanya m*ntok dan jalannya megal-megol seperti perempuan. Katanya dewa, tapi penampilan rakyat jelata. Cuma jadi punakawan, tapi kesaktiannya bukan hanya melebihi ksatria, melainkan juga Batara Siwa. Semua orang tahu riwayat hidup Semar – Batara Ismaya yang terkutuk untuk mengabdi kebenaran sepanjang hidupnya. Bila kebenaran berada dalam bahaya, itulah saat Semar untuk muncul mengembalikan kedamaian dunia. Namun apabila ia muncul sekarang, apakah yang akan diluruskannya? Jangan-jangan ia tidak mengerti. Jangan-jangan ia tidak mengikuti perkembangan. Jangan-jangan selama ini ia tidur saja berpuluh-puluh tahun seperti Kumbakarna. Siapa tahu ia tidak tahu bagian bumi yang satu ini baik-baik saja. Sungguh-sungguh aman, gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharjo. Yeah, Well, well, well – apakah yang akan dilakukan Semar? Jangan-jangan ia hanya akan mengacau saja. Banyak orang sudah senang dengan keadaan sekarang. Sudah banyak keuntungan. Seorang Semar yang datang memberi peringatan hanya akan mengacaukan ketenangan.
*****
LANGIT mengendap. Matahari sembunyi. Gamelan berbunyi. Seorang intel memberi laporan situasi lewat handphone.
“Ya, betul Komandan, ia memang Semar. Ciri-cirinya cocok. Kulitnya putih seperti kulit sapi. Ia pakai sarung. Telunjuknya menuding ke atas seperti dalam wayang orang, tapi kali ini ia kelihatan marah.”
“Tapi ia memang Semar bukan?”
“Memang Semar, Bos.”
“Huss, bas-bos-bas-bos, Komandan!”
“Siap! Memang Semar, Komandan!”
“Betul-betul Semar?”
“Asli!”
“Bukan Semar gadungan? Awas, hati-hati, dalam cerita wayang banyak tokoh gadungan lho!”
“Ini asli, Komandan! Asli Semar!”
“Kalau begitu saya juga mau lihat ah!”
Komandan itu sudah mau berangkat ketika handphone-nya bertulililit lagi. Seorang intel lain meneleponnya.
“Laporan Komandan! Ada Semar di Patung Pizza.”
“Lho Semar lagi? Maksud kamu di bundaran Hotel Indonesia?”
“Bukan Komandan, saya bertugas di Patung Pizza.”
“Semar di Patung Pizza? Kamu mabok? Kamu tripping ya?”
“Saya tidak tripping Komandan, saya tidak menenggak in*x kalau sedang bertugas. Sungguh mati, saya melihat Semar di Patung Pizza.”
“Di atas pizza-nya?”
“Bukan! Di bawah! Sekarang jalanan macet total!”
“Tangkap dia! Pasti yang itu gadungan!”
“Ini asli, Komandan, asli Semar!”
“Busyet, busyet! Pagi-pagi sudah ada kejadian konyol seperti ini. Pasang matamu dengan benar, Semar itu asli atau bukan, soalnya di bundaran Ha-i juga ada Semar!”
“Sungguh mati! Ini Semar asli, Komandan! Kulitnya merah semua!”
Hampir saja handphone Komandan terlepas dari tangannya karena terkejut.
“Merah! Di Ha-i Semarnya putih!”
“Di sana yang gadungan Komandan! Ini betul-betul Semar Merah yang asli!”
“Semar Merah! Semar Putih! Mana yang asli?”
“Lho, Komandan, Semar itu bisa mengubah diri jadi apa saja, jadi ksatria cakap bisa, jadi wanita cantik pun bisa.”
“Tapi mestinya yang asli cuma satu toh?”
“Aduh, Bos…”
“Komandan!”
“Siap! Komandan! Apalah yang tidak mungkin bagi Semar? Saya kira dua-duanya asli, Komandan!”
“Dua-duanya asli! Busyet! Apa yang dilakukan Semar Merah itu di bawah Patung Pizza?”
“Ia menari-nari, Komandan!”
“Menari-nari?”
“Iya Komandan! Semar menarikan tari perang suku Indian!”
“Semar menarikan tari perang suku Indian? Kamu pasti tripping!”
“Sumpah mati Komandan, saya malah belum makan dari pagi.”
Semar yang seluruh tubuhnya berwarna merah memang sedang menari. Badannya yang gemuk berputar-putar dengan lincah membawakan tari perang suku Indian, seolah-olah sedang mengitari api unggun. Langit memperdengarkan bunyi perkusi. Jalanan macet. Orang-orang menonton. Mereka juga belum habis pikir bahwa Semar ternyata memang ada. Meskipun lazimnya Semar itu berwarna putih, tapi Semar yang merah ini sama meyakinkannya seperti Semar. Bukan pemain wayang orang, bukan pula badut Ancol. Memang asli Semar.
*****
KOMANDAN itu tidak jadi pergi. Ia tetap berada di dalam kantornya dan berpikir. Ia seorang perwira cerdas lulusan Magelang dengan tambahan kursus-kursus di West Point. Ia tidak mau sembarangan bertindak. Ia bukan orang yang grasa-grusu dan selalu ingin kelihatan gagah. Setiap peristiwa ada maknanya. Setiap makna harus diuraikan tujuannya. Ia harus berpikir dari konteks ke konteks, dari penafsiran satu ke penafsiran lain. Apakah peristiwa ini bermuatan politis? Apakah ada unsur-unsur subversif? Apakah ini cuma cara untuk mengalihkan perhatian dari tujuan sebenarnya? Atau apakah ini cuma semacam teater eksperimental? Belakangan ini intel-intel sering melaporkan, bahwa para seniman sudah semakin nekad melakukan segala cara supaya dirinya terkenal, termasuk mengambil risiko ditangkap petugas keamanan.
Diantara banyak kemungkinan ia memusatkan pikirannya kepada satu hal: apakah ada bedanya jika ini Semar asli atau Semar pura-pura? Memang kedua intelnya melaporkan bahwa kedua Semar ini asli. Tapi, begitulah, apa ya mungkin Semar itu ada? Meskipun begitu, kalau orang-orang ini sudah percaya Semar yang dilihatnya memang asli, apakah masih penting Semar ini asli atau palsu? Ia tetap saja Semar. “Tidak penting benar Semar ini asli atau tiruan,” pikirnya, “yang penting apakah yang dilakukannya mengganggu keamanan.” Kalau Semar asli, ia tidak akan mengacau. Entahlah kalau Semar jadi-jadian. Namun kalau ada yang palsu, bukankah ada yang asli?
Handphone-nya bertulililit lagi.
“Laporan! Ada Semar Hijau di bawah Patung Diponegoro!”
“Busyet,” Komandan itu menggerutu, “memangnya ada berapa Semar di dunia ini?”
“Laporan! Semar Hijau di Patung Diponegoro dikerumuni orang banyak! Apakah yang harus saya lakukan?”
“Apa yang dilakukan Semar Hijau itu?”
“Ia bertapa!”
“Bertapa? Bertapa bagaimana?”
“Bertapa ya bertapa, seperti bersemadi begitu, kakinya bersila, tangannya sedakep, dan matanya terpejam.”
“Apakah ia memang Semar?”
“Asli Semar, Komandan! Jambulnya melambai-lambai tertiup angin!”
“Bagaimana orang-orang?”
“Orang-orang mengerumuninya, mereka menunggu Semar itu menyelesaikan tapanya dan mengucapkan sesuatu.”
“Banyak?”
“Banyak sekali! Situasi hiruk pikuk di sini! Mohon petunjuk!”
“Dasar mental petunjuk! Sudah, kamu di sana saja dan mengawasi terus!”
Sudah tiga Semar muncul hari ini. Semar Putih, Semar Merah, dan Semar Hijau. Apakah maknanya? Semar-Semar ini ketiga-tiganya lebih dari meyakinkan sebagai Semar. Bisa saja ketiga-tiganya Semar asli. Apalah yang tidak mungkin bagi Semar bukan?
Tulililililililit.
“Semar lagi?”
“Semar Hitam, Komandan! Semar Hitam muncul di patung Pemuda Menuding.”
“Sekarang Semar Hitam! Busyet! Apa juga menari-nari?”
“Tidak Komandan! Semar Hitam tidak menari, Semar ber-bungee jumping!”
“Bungee jumping bagaimana?”
“Ia meloncat dari atas Patung Pemuda Menuding, kakinya diikat tali, kepalanya cuma setengah meter dari bumi ketika sampai di bawah, setelah itu ia terbang ke atas patung lagi, dan terjun lagi.”
“Busyet. Bagaimana keadaan?”
“Macet total, Komandan! Jalan tol juga macet! Semar Hitam jadi tontonan! Mohon petunjuk!”
“Petunjuk dengkulmu! Tetap di sana dan awasi terus perkembangan.”
“Siap! Laksanakan!”
*****
KOMANDAN minta dikirim helikopter. Dalam waktu singkat ia sudah mengudara. apakah Semar-Semar ini harus ditangkap dengan tuduhan bikin onar? Masalahnya, kalau Semar-Semar ini ditangkap, apakah orang-orang yang sudah percaya bahwa Semar-Semar ini memang Semar tidak akan protes? Komandan itu mengerti benar. Diam-diam orang banyak merindukan Semar. Orang banyak menginginkan Semar datang membawa perubahan. Orang-orang yang terlalu banyak berharap ini mungkin lebih berbahaya dari Semar. Sedangkan Semar itu sendiri, kalau ia memang Semar, kenapa harus takut? Semar itu orang baik. Penyelamat kehancuran dunia. Masalahnya, apakah Semar-Semar ini memang Semar? Memang Semar, Ki Lurah Badranaya dari Karang Tumaritis?
Dari udara, satu per satu, Semar-Semar itu dilihatnya. Semar Putih mengacungkan telunjuknya ke angkasa, dengan bibir bergetar menahan amarah di bundaran Hotel Indonesia. Semar Merah berputar-putar menarikan tari perang orang Indian di Patung Pizza. Semar Hijau bertapa dikerumuni orang banyak di Patung Diponegoro. Semar Hitam menggemparkan dengan atraksi bungee jumping di Patung Pemuda Menuding. Well, well, well, apakah yang akan ditulis koran-koran tentang ini semua? Ini sungguh suatu peristiwa langka, dalam sejarah pewayangan maupun sejarah dunia.
Helikopter yang ditumpangi Komandan mengelilingi Jakarta. Deretan kemacetan yang panjang tampak di mana-mana. Handphone terus menerus bertulilililit melaporkan kehadiran Semar-Semar yang lain. Semar Kuning main skateboard diatas kap mobil-mobil yang macet sepanjang jalan tol. Semar Ungu melakukan aksi duduk di tangga Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Semar Oranye tiba-tiba muncul di layar TV, ia berada di atara para pemain basket NBA, merebut bola dari Michael Jordan maupun Shaquille O’Neal, melakukan slam dunk sampai seratus kali di ring kedua tim.
“Semar sampai ke Amerika?”
“Lho, selain kelihatan dari siaran langsung TV, ini memang laporan intel kita dari Chicago!”
Komandan itu tiba-tiba merasa dirinya tripping, meskipun seumur hidup ia belum pernah menenggak in*x. Ketika itu dari udara dilihatnya Semar Biru Metalik menari bedaya di atas simbol Planet Hollywood. Ia belum pernah melihat tari Bedaya dibawakan sehalus itu. Yeah. Apalah yang tidak bisa dilakukan Semar?
*****
“PULANG ke markas,” kata Komandan kepada pilot.
Ia sudah berpikir untuk menangkap delapan Semar itu dengan jala, karena kemacetan Jakarta sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Semar atau bukan Semar, ia harus patuh kepada hukum. Ia akan mengirimkan delapan helikopter serentak ke delapan penjuru untuk menangkap Semar-Semar itu dengan jala dari udara. “Biarlah ia keluarkan kentutnya yang lebih dahsyat dari senjata nuklir itu,” pikir Komandan, “kami toh selalu siap untuk mati.”
Namun ketika ia masuk kembali ke kantornya, Semar Putih yang tadi dilihatnya di bundaran Hotel Indonesia sudah duduk di kursinya sambil mengusap-usap kuncung.
“Duduk,” kata Semar itu, seolah-olah ia yang punya kantor. Komandan pun duduk, seperti tamu. Entah kenapa, ia tiba-tiba merasa hormat.
“Ananda Komandan tidak perlu menangkap kami dengan jala,” ujar Semar, yang ternyata betul-betul weruh sadurung winarah, “kami tidak akan selamanya show di Jakarta. Tugas kami banyak, bukan cuma di Indonesia saja. Kami datang hanya untuk memberi peringatan.”
“Peringatan apa?”
“Itulah yang harus kalian pikirkan sendiri, karena Semar tidak memberi ceramah. Semar tidak perlu berseminar untuk menjelaskan maksudnya. Semar hanya datang untuk memberi tanda-tanda.”
“Saya mengerti Bapak Semar.”
“Ah, jangan panggil saya Bapak, saya bukan bapak kamu.”
“Jadi bagaimana saya harus memanggil Andika?”
“Panggil Bung saja, Bung Semar.”
“Baik Bapak… eh Bung Semar.”
“Sekarang aku pergi. Jangan khawatir, ketenangan akan kembali. Goodbye. Adios. Ciao!”
“Ciao!”
Semar Putih itu menghilang. Handphone bertulilililit berkali-kali mengabarkan kepergian Semar-Semar yang lain. Hari ini delapan Semar datang ke Jakarta, tulis Komandan itu dalam catatan hariannya, aku sudah berlatih untuk menghadapi setiap kejutan, tapi tidak kejutan seperti ini. Sayang sekali, foto-foto yang dibuat para wartawan tidak ada yang jadi. Sampai sekarang aku tidak tahu, Semar itu sebenarnya betul-betul ada atau tidak.
Senja telah tiba. Hari yang sungguh melelahkan untuk Komandan. Ia ingin segera pulang, ketemu anak-istri, dan berkaraoke. Sebelum ke luar ruangan, ia melihat dirinya di cermin. Di atas cermin itu ada tulisan: Sudah Rapikah Anda Hari ini?
Komandan itu tidak bisa mempercayai matanya.
“Aku? Aku sudah berubah menjadi Semar Fiberglass? (*)
Posting Komentar untuk "Sembilan Semar | Cerpen Seno Gumira Adjidarma"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar