Iklan Atas

Blogger Jateng

Kematian Orang yang Dihormati pada Hari Kemerdekaan | Cerpen Musa Ismail


Ini hari kemerdekaan. Bentangan padi di sawah bagai permadani. Orang-orang mulai menyesaki rumah tua di tepi sawah. Para lelaki ada yang berbaju kurung teluk belanga dan cekak musang. Para perempuan ada yang berkebaya labuh. Selebihnya, mereka berpakaian koko, gamis, dan berpakaian sehari-hari.

Ruang di rumah tua itu sudah makin senak. Orang-orang kini memenuhi halaman. Halaman rumah pun makin sesak. Kursi yang tersedia di bawah tenda sudah ditempati semua. Orang-orang yang tiba belakangan harus berdiri dengan ikhlas. Bahkan tidak sedikit pula di antara mereka harus berjongkok seperti hendak buang hajat. Mereka tidak merasa terpaksa. Terbukti, wajah mereka merekah senyuman sambil berbual kecil masalah sehari-hari yang dihadapi.

Hawa panas hari ini tidak begitu terasa. Angin terus saja berembus ringan sambil menyapa batang padi yang menguning. Pada hari ini, hari kematian, para pelayat masih berdatangan. Mereka tak menyangka Abdullah meninggal dunia. Namun, begitulah aturannya, kematian akan datang juga akhirnya. Kematian merupakan kepastian tiba-tiba datang begitu saja. Kematian pun bisa terjadi karena ketololan, begitu kata orang. Semua sudah suratan takdir Allah Taala. Hanya orang-orang tertentu tak mau mengubah berupaya dan berdoa agar khusnul khasiat. Berbeda dari Abdullah yang dijemput malaikat maut dengan sopan. Abdullah meninggal sesaat setelah salat subuh dan mengaji.

“Dia pergi dengan khusnul khatimah,” cerita ibundanya yang masih berlinangan air mata di ruang tamu.

“Dia pergi tanpa tanda-tanda dan tanpa sakit,” imbuhnya terisak.

“Sabar ya, Bu. Semoga beliau mendapat tempat terbaik,” pesan Ustaz Darwis yang diamini ramai-ramai oleh pelayat. “Begitulah kematian. Ia datang seperti badai yang siap menenggelamkan perahu. Kita adalah orang-orang yang bernapas di dalam perahu itu. Setiap saat, kesiapan kita diajuk oleh kematian,” lanjut Ustaz Darwis.

Suasana hening hari ini begitu mengharukan. Di lapangan kosong di pinggir jalan, tepat di depan surau tak jauh dari rumah tua itu, belum ada keramaian. Beberapa pohon pinang sudah terpacak di beberapa sisi. Hadiah-hadiah pun sudah terpasang di puncak. Pohon pinang yang sudah dilumuri minyak gemuk itu seperti mengejek orang-orang di sekitarnya. Selain batang pinang yang sudah dihiasi beragam hadiah, ada juga kerupuk kemplang yang bergelantungan direntangan temali. Hiasan umbul-umbul dan bendera kecil merah-putih memenuhi sisi-sisi lapangan. Namun anak-anak pun tak mau menunggu di lapangan peringatan Hari Kemerdekaan.

“Kami semua harus menghormati beliau. Keramaian Hari Kemerdekaan terpaksa kami tunda,” tegas Ketua RT, Rustam.

Pada Hari Kemerdekaan ini, warga kampung seperti berhenti bernapas. Semua bagai menyadari makna kematian. Mereka seakan memahami makna, kemerdekaan sesungguhnya diproklamasikan dengan kematian. Berjuta nyawa melayang. Berlaksa jiwa dan raga tergadai karena semangat kemerdekaan. Semangat kemerdekaan yang meresap itulah yang mampu menutupi ketakutan akan kematian. Ada harapan terbentang luas setelah kematian. Kematian Abdullah pada Hari Kemerdekaan ini merupakan wujud dari bentangan harapan. Abdullah telah memetik harapan selama-lamanya.

Pemakaman Abdullah sudah dilaksanakan. Amal ibadahnya telah mengundang para pelayat datang berduyun-duyun. Kuburannya sederhana saja, tanpa tembok keramik. “Kalau aku mati, kuburkan secara sederhana saja,” begitu pesannya sebulan sebelum meninggal. Karena itulah, pihak keluarga hanya memberi nisan sebagai tanda. Tanda kematian Abdullah yang sebenarnya sudah tertanam di hati warga kampung ini. Kini, Abdullah cuma tinggal amal saleh, ilmu bermanfaat, dan doa anak yang saleh.

Ibunda Abdullah berkisar, ia memiliki lima anak. Abdullah anak pertama. Anak kedua Usman, bertugas sebagai dokter di Ibu Kota. Adinda anak ketiga, berprofesi sebagai pengusaha di Singapura. Yang bekerja sebagai pegawai negeri Rohani, anak keempat. Dia bertugas sebagai pejabat di provinsi. Yahya anak kelima, bekerja di perusahaan minyak negara.

Abdullah tidak bernasib seperti adik-adiknya. Hidup Abdullah penuh air mata. Selain perjuangan fisik, dia pun kaya perjuangan batin. Karena itu, jiwanya menjadi karang.

“Tentu Ibu sangat bahagia atas keberhasilan keempat anak Ibu daripada Abdullah,” kata Ustaz.

“Mereka semua membanggakan kami. Sangat membanggakan. Terlebih lagi almarhum,” ibundanya meyakinkan hadirin.

Di luar, barisan padi terpaku bagai sedang tafakur. Barisan padi beberapa hektare itu laksana sedang hanyut dirundung kesedihan.

Meskipun mayat sudah diurus sesuai dengan syariat, pelayat terus saja bertakziah ke rumah duka. Begitulah kebiasaan warga kampung dalam menghibur keluarga yang sedang berduka.

*****

Ibunda mereka, Ramlah, kini memasuki usia kepala enam. Suaminya meninggal dunia ketika Abdullah duduk di bangku SMA. Adik-adik Abdullah ketika itu masih SMP dan SD. Orang tua itu masih ingat ketika suaminya, Yusuf, bertungkus lumus memenuhi nafkah kehidupan sehari-hari. Tekanan hidup ketika itu cukup besar. Apalagi sejak suaminya tiada. Air mata Ramlah nyaris tumpah setiap hari ketika menyaksikan buah hatinya sedang makan atau saat tidur. Tangannya membelai lembut rambut anak-anaknya yang sedang beranjak dewasa dan remaja itu. Kebiasaan itu dia lakukan saban malam.

“Jadilah manusia hebat dan bermanfaat bagi orang lain,” begitu pesan Ramlah tiap malam. Ketika itulah butiran embun bening meleleh dari matanya yang lelah karena menahan pedih.

Malam terus berlari, bermain, dan menjadi bayang-bayang kehidupan. Malam itu Ramlah menangis sejadi-jadinya. Tangisan perempuan itu tertahan tanpa suara. Dia takut kesedihannya diketahui adik-adik Abdullah. Abdullah itulah yang menyebabkan air matanya tumpah.

“Biarlah aku berhenti sekolah, Mak. Aku ingin membantu Emak menghidupi keluarga kita. Adikku masih kecil. Mereka jangan menjadi korban kehidupan ini,” Abdullah mengutarakan isi hati. “Aku kasihan pada Emak.”

Dada Emak sesak menahan kesedihan dan pengorbanan Abdullah.

*****

Lapangan perayaan Hari Kemerdekaan seperti lapangan kematian. Umbul-umbul melambai lemah. Hadiah-hadiah yang terpasang di pohon pinang tak bergerak. Hampir semua warga memenuhi rumah tua di pinggir sawah. Anak-anak yang biasanya suka perayaan kemerdekaan pun hanya diam seperti ditegah oleh orang tua mereka. Pada Hari Kemerdekaan ini, warga kampung mengutamakan bertakziah. Ibunda Ramlah terus melayani setiap pertanyaan tentang almarhum dan anaknya yang lain. Senyum perempuan yang sudah bercucu lima itu memberikan kenangan nyaman kepada peziarah.

“Keempat anak Ibu berhasil ya. Kasihan almarhum. Tentu saja Ibu bangga pada keempat adik almarhum yang sukses. Ibu patut menjadi teladan warga,” ujar seorang warga memuji penuh semangat.

“Iya. Almarhum Pak Yusuf pun tentu berbangga karena keempat anaknya sukses. Apa rahasianya, Bu?” Seorang peziarah lain ingin tahu.

Gerimis turun berderai dibawa angin. Peziarah datang dan pulang bergantian. Hari Kemerdekaan dirundung kesedihan berkepanjangan. Pada saat kampung tetangga sibuk dan gembira merayakan Hari Kemerdekaan, warga kampung di pinggir sawah itu masih bersedih atas kematian Abdullah.

“Beliau kebanggaan keluarga kami dan kami sangat menghormatinya. Almarhum sudah kami anggap seperti Abah. Melalui dia, Allah memberi kami makan dan rezeki. Dengan kekuatan tangan, kaki, jiwa, dan pikirannya, kami bisa seperti ini,” ungkap Usman dengan air mata, yang diiyakan adik-adiknya.

Gerimis telah berubah jadi hujan. Lapangan perayaan Hari Kemerdekaan jadi lembar dan berlumpur. Umbul-umbul tampak lusuh. Namun semangat kemerdekaan tak akan luluh. Hanya menghormati kematian Abdullah itu yang lebih diutamakan. Penghormatan terakhir untuk jasad orang yang dihormati, bukan hanya keluarganya, melainkan juga warga kampung ini. Kematian Abdullah bagaikan kematian rakyat yang merdeka.

“Di keluarga kami, almarhum sangat terhormat. Meskipun kami berkedudukan, kedudukan beliau lebih tinggi di hati kami,” ucap Rohani sambil menyeka embun di matanya yang basah.

“Dia telah menyematkan kedudukan adik-adiknya ini atas izin Allah,” tegas emaknya.

Para peziarah yang masih ramai di rumah mengangguk-anggukkan kepala. Emaknya berkisar sejak kematian suaminya, abah mereka, Abdullah memutuskan berhenti dari SMA. Keputusan itu telah memeras air mata Emak.

Sejak itu pula, Abdullah memutuskan diri melanjutkan pekerjaan ayahnya sebagai petani. Berkat ketekunannya, Abdullah menjadi petani berhasil di kampung ini. Awalnya Abdullah hanya berbekal beberapa petak sawah peninggalan almarhum abahnya.

Tanpa rasa keluh-kesah, Abdullah mengubah peluh menjadi kedudukan terbaik bagi adik-adiknya. Ketekunan Abdullah yang membedakan dia dari orang lain.

Akhirnya warga kampung menggabungkan sawahnya di dalam pengelolaan Abdullah. Abdullah menjadi simbol petani. Kematiannya bagaikan kematian para petani pada Hari Kemerdekaan ini. Merdekalah para petani Indonesia! (*)



Musa Ismail bekerja sebagai aparatur sipil negara Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkalis. Karyanya antara lain empat kumpulan cerpen, dua novel, dan satu esai sastra budaya. Dia menerima Anugerah Sayang kategori buku pilihan (2010) dan Anugerah Prestasi Seni dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau (2012).

Posting Komentar untuk "Kematian Orang yang Dihormati pada Hari Kemerdekaan | Cerpen Musa Ismail"