Iklan Atas

Blogger Jateng

Kain Batik Ibu | Cerpen Rahmy Madina


Terakhir kali Ibu bicara panjang adalah malam setelah Bapak dimakamkan. Aku duduk di samping Ibu yang tengah melipat kain batik panjang, kain yang baru dia keluarkan dari lemari. Aku tidak pernah melihat kain itu sebelumnya, tetapi aku pernah mendengar dari banyak orang di luar sana bahwa Bapak punya kain yang sangat berharga. Banyak orang di luar sana mempertanyakan dan menginginkan kain itu.

Dari gerak-gerik Ibu, aku tahu kain itu berharga bagi dia, sangat berharga. Bukan karena batik tulis itu mereka inginkan, melainkan lebih karena kain itu peninggalan Bapak.

“Peninggalan bapakmu cuma ini. Bapak suruh Ibu menjual saja. Namun Ibu nggak bisa. Ada Bapak di kain ini. Keringat Bapak, harapan, cinta Bapak pada kita semua.”

“Mau Ibu apakan kalau tidak Ibu jual?”

Ibu tersenyum sambil melipat kain itu. Dia berdiri, kemudian memasukkan kain itu ke lemari tua di hadapan kami.

“Barangkali kalau kelak kamu jadi pengantin bisa pakai batik ini.”

Setelah Bapak meninggal, rumah sepi dan Ibu lupa cara tersenyum. Sekeras apa pun aku mengajarkan, Ibu tetap tak mampu. Aku selalu menatap berlama-lama agar dia bertanya atau setidaknya menanyakan kabarku karena aku pun tidak baik-baik saja. Namun Ibu tetap lebih sering diam, bicara seperlunya. Bahkan saat kurasa dia perlu bicara pun, Ibu tetap diam. Seolah-olah suaranya terkubur bersama jasad Bapak, bersama keinginanku merasakan cintanya.

Tidak ada yang mau tinggal di rumah, kecuali aku karena aku anak bungsu. Ketiga anak lain, di mataku, seolah-olah bukan anak. Hanya nebeng status dan menempel pada keberadaan Ibu. Datang hanya ketika mereka butuh untuk menempel. Tak ubah seperti bayi rindu puting. Itu saja. Tidak pernah membalas peluk Ibu.

Namun sejujurnya aku juga rindu peluk Ibu yang tak pernah mendarat ke tubuhku. Aku selalu merasa kadar sayang Ibu sudah terbagi rata dan habis sebelum kehadiranku. Mungkin karena itu dia lebih banyak diam. Berbeda dari saat mereka datang bertandang; Ibu serupa beo, tak bisa diam.

“Kalau bukan anak terakhir, kamu pasti juga pergi dari rumah. Lagipula di desa ada apa, Ton? Aku nggak bisa lama-lama di sini.” Begitu jawaban Mbak Galuh saat kuminta dia tinggal lebih lama. Menemani Ibu yang jelas sedang berduka.

“Kalau kamu anak terakhir sepertiku, apa kamu akan tetap tinggal?”

“Apa?” Mbak Galuh menikam pandanganku.

“Ini bukan pilihan, Mbak. Ibu bukan opsi terakhir.”

Bapak tidak meninggalkan apa pun, selain rumah kecil yang kutempati bersama Ibu. Juga kain batik panjang itu. Ingatanku tentang Bapak tidak banyak, lantaran Bapak lebih sering menghabiskan waktu di langgar. Yang aku ingat hanya suara khasnya saat menyanyikan lagu sekar gambuh.

Lagu yang kental aroma tubuh Bapak, saking sering dia nyanyikan. Satu kesalahan Bapak, tidak pernah mengajak serta anak-anaknya ke langgar. Karena itulah, untuk pulang ke pangkuan Ibu pun mereka enggan.

Ibu selalu mengusap-usap batik peninggalan Bapak sambil lirih mendendangkan sekar gambuh yang seolah-olah menjadi melodi sakral di rumah ini. Aku tidak tahu apakah masih punya cukup daya untuk menyanyikan esok jika Ibu juga tiada.

Kehilangan Bapak seolah-olah kehilangan udara bagi Ibu. Lemas dan lusuh. Tidak ada yang mampu membangkitkan semangat Ibu, kecuali kain batik itu. Aku tidak kesal, juga tidak iba. Aku hanya kecewa, tak mampu menggantikan posisi kain batik itu di hati Ibu, yang menguras pikiran dan waktu begitu banyak.

*****

Siang itu, aku melihat Ibu murung sekali. Namun tidak kutanya mengapa. Pemandangan macam itu sudah biasa bagiku. Ibu lupa bagaimana cara tersenyum dan aku bukan pengajar yang baik, yang bisa menunjukkan kepada Ibu bagaimana cara terbaik untuk tersenyum. Aku mengabaikannya.

Namun begitu mendengar suara kain robek, sontak aku berlari menghampiri Ibu yang berkutat di kamar. Benar! Aku tahu penyebab kemurungan Ibu sekarang.

“Siapa yang meminta?”

Ibu tidak berani menatapku. Tangannya masih merobek kain batik peninggalan Bapak seolah-olah merobek ulu hatinya. Perih, penuh darah.

“Bu! Siapa yang meminta?”

“Mbakyumu butuh kain untuk pergi makan malam.”

“Hanya untuk makan malam dia meminta?” Aku memicingkan mata tak percaya.

“Kamu kan tahu, rekan suami mbakyumu pejabat.”

“Persetan! Duit suaminya sudah banyak! Buat apa dia minta kain!”

Ibu berhenti merobek kain itu dan menatapku tajam, tetapi penuh kasih sayang. “Ton, jangan begitu. Kalau kamu juga butuh, Ibu siap merobek lagi.”

Mana mungkin aku merobek hati Ibu? Aku tidak sekejam itu.

*****

Dua hari setelah perobekan kain itu untuk kali pertama, telepon kembali berdering. Agaknya kabar Ibu telah merobek kain itu sudah menyebar. Aku mengangkat sambil bersiap menyerang lewat umpat. Persetan dengan silsilah. Aku siap melawan siapa pun yang tega mencabik hati ibuku. Bahkan aku siap menebas pohon silsilah jika ternyata abangku yang melakukan.

“Mau apa?”

“Mana Ibu?”

“Nggak ada!”

“Jangan bohong! Mana Ibu?”

“Nggak ada!” Nadaku meninggi.

“Ton! Mana Ibu!”

Nggak….”

Aku berhenti bicara ketika Ibu menepuk pundakku lembut, kemudian menatapku sambil menggeleng. Ibu memintaku tidak meneruskan, lalu meraih gagang telepon dariku.

“Ada apa, Nang?”

“Bu, aku juga mau kain batik Bapak. Sama kayak Mbak Sari.”

“Untuk apa?”

“Untuk sarimbit aku, istri, dan anakku.”

“Ya sudah, Ibu potongkan. Nggak perlu marah-marah.”

“Ya sudah. Nanti sore aku ambil. Ibu di rumah saja.”

Ibu menutup telepon, kemudian menatap aku yang masih naik pitam seraya menatap Ibu dengan perasaan tak keruan.

“Bu, jangan….”

Ibu menoleh, menghampiri dan menekap pipiku dengan sebelah tangan. “Lembutkan hatimu, Nak.”

*****

Plaaak! Satu pukulan keras tangan Kang Danang mendarat di pelipisku. Namun aku bertahan. Sebanyak apa pun tempelengan, aku terima asal hati Ibu utuh!

Ibu sedang menjemur nasi di dekat kebun Wak Hanun sambil menenteng robekan kain batik untuk Kang Danang. Dia belum kembali saat Kang Danang datang dan menanyakan di mana Ibu dengan mata memicing seolah menagih utang. Mereka memang anak-anak sialan!

“Kain itu milik Ibu!”

“Jangan serakah!”

“Harusnya kamu malu, Kang! Pulang tidak pernah. Sekali datang kayak orang mau nagih utang!”

Kang Danang geram dan menggamparku sampai tersungkur. Aku bangkit sebelum gamparan kedua melayang ke wajahku. Aku berhasil menghindar.

“Dia ibu kita, Kang. Kok Kang Danang tega!”

“Diam kamu, Ton! Aku tahu kamu cuma mau kain itu kan?!”

“Aku tidak sepicik kalian!”

Satu pukulan dapat kutangkis, tetapi pukulan tangan lain begitu cepat sehingga membuatku tersungkur. Awalnya kukira aku tak apa-apa. Namun kurasakan pelipisku berdarah. Keningku nyeri dan berdenyut hebat.

Kami menangkap mata Ibu yang memburu tatap Kang Danang. Tanpa kami sadari, satu tamparan keras Ibu membuat pipi Kang Danang merah. Rumah kami ramai; pembuktian betapa berharga kain itu hingga bisa membuat anak-anak Ibu beringas.

“Jangan, Bu.”

“Keningmu berdarah,” ucap Ibu sambil mengikatkan kain batik jatah Kang Danang ke keningku. Ibu mendekapku erat. “Kita ke dokter sekarang.”

“Bu?” Mas Danang menatap Ibu kebingungan.

Ibu membantuku berdiri dan menitahku, kemudian menatap tegas mata Kang Danang. “Pulang!” (*)


Rahmy Madina, alumnus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Kini, dia bekerja dan berdomisili di Sawangan, Depok, Jawa Barat.