Beruntungnya, aku menjadi orang pertama yang mendengar kisah itu, dan kau yang menyimak adalah orang kedua. Pada diriku, lelaki yang bertemu malaikat itu berpesan: Janganlah aku mengisahkan cerita ini pada siapa pun, tersebab ia takut orang-orang akan mengatakan ia gila dan jiran kiri-kanan pun karib-kerabat akan mengucilkan anak-bininya. Aku pun mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi, lepas gerimis turun petang tadi, lelaki itu menyambangiku, tiba-tiba saja ia memintaku untuk menceritakan kisah ini padamu. Aku berkrenyit. Lelaki itu berujar: Aku tak sanggup untuk menyimpannya sendiri, pun kuyakin dirimu. Atas permintaannya itulah, aku menguraikan cerita ini padamu.
Beginilah ceritanya.
Di pagi lembab pada bilangan bulan yang selalu kuyup oleh rinai hujan, lelaki itu bertemu dengan malaikat. Pada mulanya, lelaki itu tidak tahu kalau orang yang ia temui itu adalah malaikat. Rupanya seperti halnya manusia lainnya, tak ada pembeda sedikit pun. Hanya saja, lelaki itu merasa, wajah orang yang ia temui itu begitu berkilau. Ah, tidak terasa sangat enak untuk dilihat lama-lama.
Pagi itu, seperti biasa, lelaki yang mengangkat dirinya sendiri menjadi tukang bersih-bersih masjid di samping rumahnya itu, telah ada di masjid sebelum azan subuh berkumandang. Tak ada sesiapa – dan memang lebih sering tidak ada siapa-siapa, ketika ia datang. Masjid masih pekat, terlebih rintik gerimis masih saja asyik berkejaran ke muka tanah. Tentu waktu seperti itu, orang-orang akan lebih memilih untuk menarik selimut bahkan menambah ketebalannya.
Lelaki itu menyalakan lampu masjid, berjalan menuju lemari yang menyimpan tape recorder, merogoh saku bajunya, mengeluarkan kunci, dan memutar kunci lemari. Ia menarik kabel tape dan menyambungkan dengan colokan listrik. Tak lama, pelan-pelan terdengar suara orang mengaji mengudara dari corong toa tua yang ada di atas wuwungan masjid. Seperti itulah, seperti pagi yang sudah-sudah. Kemudian, lelaki itu akan berwudhu, duduk diam sembari berzikir diatas sajadah, sesekali matanya akan melirik jarum jam yang berjalan pelan. Bila jarum jam itu telah bertemu menit yang ia tunggu, lelaki itu akan mematikan tape dan menggantinya dengan suara seraknya, mengajak orang-orang untuk ke masjid, setelah itu ia akan mengumandang azan. Begitulah. Dan selalu begitu.
Aku pun kerap mendengar suara serak lelaki itu di subuh buta yang mengudara dan menerobos mimpi-mimpiku. Aku memang menyalangkan mata bila mendengar suaranya, tetapi setelah itu aku lebih kerap melanjutkan mimpi yang terbuyar. Entah, rasanya sangat berat untuk terjaga di subuh seingusan itu, terlebih bila menyentuh air. Walau sesekali, aku pun akan datang, itu pun bila lelaki itu telah berkali-kali bercerita padaku betapa ia selalu tak punya kawan untuk berjamaah Subuh.
Nah, pada subuh yang lembab itu, ia bertemu dengan malaikat. Tepatnya seseorang yang ia duga malaikat. Setelah azan berkumandang lima menit yang lalu, lelaki itu masih saja menunggu, kalau-kalau ada seseorang yang datang di bawah gerimis. Sayangnya, tak seorang pun yang datang. Hingga lelaki itu memutuskan untuk sembahyang sendiri.
Lepas ia bertakbir dan mulai mengeja al-Fatihah, seseorang menepuk pundaknya. Mafhumlah ia, seorang makmum telah ada di sampingnya.
“Usai sembayang, aku melihat rupanya. Ia lelaki yang rupawan, berjenggot tipis, dengan baju putih bersih, wajahnya berkilau, bibirnya basah oleh zikir yang tak henti dilafaz,” lelaki itu menerawang, seolah-olah tengah menggambarkan wajah malaikat yang menjadi makmumnya Subuh itu. Aku berjinjit mendengarnya. Tidakkah itu terasa ganjil?
“Hampir setengah jam, lelaki itu duduk di sajadahnya. Mulutnya terus berkomat-kamit. Ah, betapa aku takjub melihatnya.” Lagi, lelaki itu menerawang dan aku menjadi ikut-ikutan membayangkan rupa seseorang yang ia duga malaikat itu.
“Lalu, apa yang ia bicarakan? Apakah Mas bercakap-cakap dengannya?” mendadak saja, aku begitu penasaran dengan ceritanya.
“Ya, kami bercerita sebentar. Karena aku tidak pernah melihat rupanya, tentu hal yang pertama kutanya adalah asalnya. Dan ia menjawab, ia orang baru di sini. Baru dua hari pindah, menyewa sepetak kamar di salah satu kos-kosan di kompleks kita. Ia bilang dari Sumatera. Mendengar itu, tentu saja aku tahu tidak akan bisa mengajaknya ngobrol dengan bahasa Jawa.”
“Di kosan mana?” aku mengejarnya.
“Entah, aku lupa menanyakan itu, sebab aku sudah terpesona dengan cerita yang ia uraikan,” kembali mata lelaki itu menerawang seperti menemukan hal yang indah di pelupuknya.
“Cerita apa?” aku kian tak dapat menahan diri dan menutupi rasa penasaran yang bergumul-gumul dalam dada.
“Ia berkisah tentang taman Firdaus. Taman yang akan diisi oleh orang-orang yang meramaikan masjid di subuh kelam. Ada bidadari-bidadari bermata jeli yang bersuara mendayu lagi penuh rindu. Dan tahukan kau, Id, orang itu mengatakan, bidadari-bidadari itu paling rindu kepada orang yang mengumandangkan azan Subuh. Tentu saja, bidadari-bidadari itu juga sangat merindukan orang-orang yang berjamaah Subuh di masjid. Ah, tidakkah kau merasa betapa ceritanya itu luar biasa?” mata lelaki itu berbinar, penuh nyala terang dan bintang gemintang. Kudukku meremang menyaksikannya.
“Lelaki itu kerap datang saat subuh dan sembahyang berjamaah denganku. Bahkan beberapa hari ini, ia datang bersama serombongan lelaki lain. Wajah mereka seragam, penuh binar yang aduhai. Janggut tipis, bibir basah oleh zikir, dan tentu saja kesejukan tiba-tiba terasa begitu kental saat aku duduk di sekitar mereka. Dan lagi, mereka akan mengisahkan tentang taman Firdaus, para bidadari, dan hal-hal indah yang selama ini tertera dalam Alquran. Aku selalu hanyut dalam kisah mereka.”
Aku senyap, teramat senyap ketika mendengar cerita lelaki itu. Entah, aku merasa kudukku begitu meremang mendengar kisah ajaibnya, terlebih ketika ia mengatakan ini kepadaku.
“Sayang, aku selalu kehilangan jejak lelaki itu dan kawan-kawannya saat keluar masjid. Begitu aku berbalik merapikan tape dan mikrofon ke dalam lemari masjid, usai percakapan itu, mereka telah raib. Gegas sekali mereka pergi. Lantaran rasa penasaran pulalah yang membuatku beberapa kali mengitari kompleks kita ini, menyambangi kos para lelaki, sekadar berbasa-basi sembari mencari tahu di mana lelaki itu menyewa kamar. Entah, aku selalu ingin mendengar ceritanya lagi. Tetapi, aku belum jua menemukannya. Nah, tidakkah pantas bila kuduga ia adalah malaikat yang turun ke bumi untuk sembahyang Subuh berjamaah denganku? Meramaikan masjid kompleks kita yang selalu saja lengang di pagi dan petangnya.”
Aku tiba-tiba saja merasa setuju dengan duga lelaki itu. Mungkin saja benar apa yang ia sangkakan. Bukankah itu terdengar sangat masuk akal? Malaikat datang untuk sembahyang Subuh sembari meramaikan masjid besar yang selalu lengang di tengah perumahan yang demikian padat ini. Dan mendadak saja, aku ingin sekali bertemu dengan malaikat itu. Aku ingin mendengar ceritanya, aku ingin melihat rupanya, aku pun ingin bertanya banyak hal, terutama masa depan: Mungkinkah ia tahu siapa jodohku? Nasib karierku? Dan segumpal besar pertanyaan yang melenat-lenat.
“Apakah setiap subuh lelaki itu datang?”
“Iya, hampir setiap subuh, sejak satu purnama ini. Kenapa, Id?” lelaki itu balik bertanya.
“Aku ingin sekali melihatnya.”
“Kau datanglah subuh nanti, semoga saja ia datang dan sembahyang berjamaah dengan kita.” Mataku berbinar mendengarnya. Perasaan itu meluap-luap, aku ingin sekali bertemu dengan malaikat itu. Hal itu membuatku tak sabar menunggu subuh yang datang begitu lambat.
*****
Mungkin, kau pun akan terkejut serupa diriku begitu datang ke masjid subuh ini. Setelah melewati malam yang demikian gelisah, aku sangat gegas bersiap dan melesat ke masjid lantaran keinginan untuk bertemu malaikat. Lalu, apa yang kutemui di sana sungguhnya ajaib sekali. Masjid begitu ramai. Lelaki, tua muda, berkumpul seperti hendak Jumatan. Kukenal semuanya, tetangga kiri-kanan, penghuni kompleks yang ada di blok paling ujung pun datang. Ada apa gerangan?
“Mereka pun hendak bertemu dengan malaikat yang aku ceritakan tadi petang,” itulah jawaban lelaki itu ketika aku menanyakan keajaiban ini.
“Siapa yang menceritakan pada mereka? Sedang aku pun belum sempat mengisahkan cerita Mas pada siapa-siapa,” keningku sungguh berlipat dibuatnya.
“Aku benar-benar tak sanggup menyimpan cerita itu sendiri. Jadi, kuceritakan saja. Ternyata, ketakutanku tak berdasar. Justru, orang-orang ramai datang untuk sembahyang Subuh berjamaah dan tentu saja hendak bertemu dengan malaikat.”
Aku terdiam, benar-benar diam dibuatnya. Tidakkah aku merasa cerita ini kian ganjil terasa? Mungkinkah lelaki itu tengah mengarang semata agar orang-orang ramai sembayang Subuh berjamaah. Entah, mendadak saja aku benar-benar melihat segerombolan malaikat tengah berwudhu di luar sana. Mereka tersenyum melihat masjid yang sesak dan wajah semringah lelaki yang mengaku telah bertemu malaikat itu. (*)
Posting Komentar untuk "Ia yang Bertemu Malaikat | Cerpen Guntur Alam"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar