Iklan Atas

Blogger Jateng

Renjana | Cerpen Risda Nur Widia


“Bila ada seorang yang terus memikirkanmu, maka di sanalah tempatmu untuk pulang?”
Itu adalah kata Ibu beberapa tahun lalu. Sebelum aku pergi meninggalkan rumah. Memang, setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan sebagai koresponden salah satu perusahaan media di Berlin, aku pergi meninggalkan rumah dan Ibu. Aku hidup sebagai pengelana di negeri orang. Hari-hariku tidak lagi dipadati dengan percakapan hangat dengan Ibu, tetapi diganti laporan kerja, rutinitas berangkat kantor, dan kesepian-kesepian yang aku lalui seorang diri di Eropa. Apalagi selama meninggalkan rumah, dua tahun—dan sepanjang waktu itu juga belum pernah pulang—aku merasa ada yang hilang dalam hidup. Aku merasa ada yang membuatku semakin asing di tengah perantauan.

Lalu karena kalimat yang tiba-tiba terngiang itu, aku mendadak rindu suasana rumah. Begitu juga hingga siang ini. Setelah kalimat itu berhasil menghadirkan kegelisahan yang menohok nyaris selama dua minggu, aku memutuskan mengambil libur panjang, dan pulang. Demikianlah. Aku berangkat dengan pesawat paling pagi dari Bandara Schonefeld di Berlin. Perjalanan udara yang menghabiskan waktu berjam-jam tidak membutku lelah. Rindu pada kampung halaman dan Ibu bagai menghadirkan semangat lain pada diriku. Sesampai di Soekarno-Hatta, tubuhku bahkan masih sama segarnya seperti saat bangun pagi. Padahal, perjalanan dari Berlin menuju Jakarta, adalah perjalanan panjang dan semestinya menghabiskan tenaga.

Dari bandara, aku lekas menggunakan taksi. Aku meminta supir untuk mengantarku ke kafe terdekat. Sopir itu lantas membawaku ke sebuah kafe yang lenggang di satu sisi Jakarta. Aku duduk seorang diri di sana, kemudian memesan minuman seraya menerawang ke luar jendela. Aku seolah sedang mencocokkan kembali apa yang ada di benakku dahulu mengenai kota ini. Dapat dikatakan, di tepi meja itu, aku sedang merakit ulang biografi ingatan pada kota di hadapanku. Mataku terus menjelajah dari satu objek ke objek lainnya. Ingatanku bekerja sangat keras. Tetapi, pemandangan dua tahun lalu tentang kota ini terasa sangat berbeda.

“Waktu terus melumat kehidupan untuk senantiasa berubah,” pekikku seorang diri meski dalam hati.

Aku masih termenung di tepi meja kafe. Lalu mendadak, aku mengutuki diri sendiri yang memilih singgah sebentar membuang penat setelah berjam-jam terkurung dalam pesawat. Aku tidak menemukan apa yang kucari. Tetapi, aku hanya menemukan keasingan lain seperti sama kurasakan juga saat di Berlin. Merasa jengah dengan perasaan sendiri, aku melempar sorotan ke langit. Hujan masih menaruh gerimis pada gedung-gedung serta jalanan yang selalu sibuk. Aku sekali lagi memperhatikan detil-detil kecil dari diorama kota yang telah lama kutinggalkan. Yang kulihat hanya orang-orang yang bergegas; tatapan pilu wajah-wajah bisu yang menyimpan kemurungan masing-masing; laju kendaraan yang semakin padat dan tergesa seperti dikejar waktu.

“Kota ini bagai pesta yang gagal mengakhiri gemanya sendiri,” pekikku lagi masih dalam hati.

Untuk menghibur dir sendiri, aku meraih buku catatan dan sebuah pensil di dalam tas. Sekilas aku memandangi kertas itu. Tanpa kontrol, tanganku bergerak di atas permukaan kertas polos itu. Aku tak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi pada diriku? Karena secara tidak sadar, tanganku melukis sebuah rumah kecil dengan bunga-bunga di halaman depannya. Syahdan, tidak tertinggal, Ibu yang sedang menyiram setiap kuncup bunga itu. Aku seolah sedang melukis kenanganku sendiri di atas kertas.

“Sejauh-jauhnya kau pergi, suatu saat pasti akan pulang! Karena seorang petualang pun selalu memiliki rumah, di mana ada orang yang terus memikirkannya.”Aku kembali mendengar suara Ibu dari balik kertas itu.

Ingatan di kepalaku seperti scanner saat melihat gambaranku sendiri di kertas itu. Kenanganku juga bagai dipanggil untuk melukiskan lagi adegan saat Ibu melambaikan tangan ke arahku dengan tampuk mata merah melelehkan kesedihan. Semua itu masih terekam jelas pada slideslide ingatanku. Begitulah. Setelah pengertian merentangkan jarak, lantas ruang dan waktu menelurkan rindu, hari ini aku ingin pulang. Aku ingin memeluk Ibu seraya mengecup punggung tangannya.

“Silakan diminum, Mas!” Kata seorang pelayan wanita yang memecahkan lamunanku.

Aku mengangguk dan mengucapkan, ‘terima kasih’ kepadanya. Pelayan itu lalu pergi lantas keheningan kembali membekap. Aku memperhatikan antara minuman serta kertas di meja. Berganti-gantian. Pelan-pelan. Kemudian, aku menggenggam kuping cangkir untuk mendekat. Mencecap minuman itu pelan. Aroma jahe yang khas meresap pada lidah dan tenggorokkan. Mendadak, tubuh yang semula kedinginan menjadi hangat.

Aku pun melongokkan pandangan ke kedalaman cangkir minuman. Aku memandang air kekuningan serta gurat wajah yang perlahan menua. Tanpa kusangka, seperti ada yang mendorongku masuk ke dalam cangkir itu. Aku terperosok pada ingatan masa kecil di rumah. Memoriku terpelanting kembali saat berlarian turun tangga tergopoh- gopoh berebutan dengan kakakku menuju dapur. Kemudian, Ibu tersenyum mendapati kami merengek meminta bagian lebih dari minuman yang ia bikin. Sebuah minuman sederhana yang terbuat dari rebusan jahe dan gula. Minuman yang menjadi perekat kebersamaan kami di rumah. Karena, sering sembari meminum air ramuan jahe yang hangat, Ibu bercerita padaku dan kakak.

“Tidak ada yang abadi di dunia ini. Kau tidak perlu memaksakan segala sesuatu, karena kita sebenarnya tidak sedang mencari apa pun. Jadilah orang yang sederhana dengan hati yang baik. Dengan itu kelak akan banyak orang memikirkanmu,” katanya seperti menceramahi diri sendiri.

Ahh, dengung suara itu. Aku mendengar suara Ibu lagi. Suara yang terasa begitu dekat dan lembut.

*****

Di luar, hujan masih turun. Aku menggeloyor keluar kafe. Termenung menunggu taksi. Tidak begitu lama, taksi datang dan mengantarku ke terminal. Sesampai di terminal, aku terburu-buru masuk bis yang segera akan berangkat. Bis melenggang membelah hujan menuju kotaku. Di tengah perjalanan, aku kembali termenung sembari menatap hujan. Aku memperhatikan rintik-rintik hujan yang turun teratur. Tangan dan pensil di tangan kembali bergerak ajaib. Tanpa sadar aku sudah melukis sebuah meja makan sederhana. Aku juga membumbuhkan tiga orang yang duduk menatap hidangan di meja. Dari lukisan itu, aku mendengar teriakan-teriakan lirih.

“Jangan berebut! Kue serabinya masih banyak!” Suara itu terdengar semakin dekat. Bahkan seperti berada disampingku.

Dan di tengah lamunan, seketika tercium aroma sedap kuah serabi. Aku menghirup aroma parutan kelapa dan air gula yang manis. Aku mengerling ke tepi jalan, dan melihat sebuah warung serabi kecil di sana. Banyak orang berkumpul di warung itu. Mereka duduk santai menyantap makanan. Sekejap hati bergetar. Aku ingat serabi buatan Ibu. Makanan yang selalu Ibu hidangkan saat aku dan kakak bertengkar. Makanan yang membuat kami menjadi keluarga yang utuh.

“Kalian harus berbagi walau sedikit,” aku ingat nasihat Ibu. “Makanan terasa lebih enak kalau menikmatinya bersama-sama.”

Air mataku menitik. Ingin lekas bertemu Ibu. Namun, bis masih merayap pelan di jalan karena macet. Aku makin gelisah menatap hujan dan keramaian diluar. Di tengah kemacetan itu, dari radio yang diputar supir, aku mendapat berita bahwa baru saja terjadi bencana di kampungku. Tsunami besar baru saja melahap kampungku yang berada di pesisir pantai. Mendengar itu, aku panik. Aku cepat-cepat menelepon Ibu ke rumah—walau kenyataannya, aku ingin memberikan kejutan dengan kedatangan yang mendadak.

Terus aku memanggil Ibu. Aku gelisah menunggu jawaban dari teleponnya. Tetapi operator selalu mengatakan kalau nomer telepon Ibu di luar jangkauan. Perasaanku makin tak karuan. Terlebih, saat si penyiar radio menyatakan banyak korban jatuh. Aku semakin panik. Tapi untungnya, tidak lama kemudian, sebuah nomer asing meneleponku. Dari suaranya, aku cepat bisa menganal kalau itu Ibu.

“Hallo?” Kata Ibu.

“Ibu?”

“Iya, Nak. Ini Ibu.”

“Ibu baik-baik saja kan? Aku sekarang sedang dalam perjalanan pulang.”

Ibu sempat diam di ujung telepon itu. Lalu Ibu berkata lagi, seolah gemas dengan anaknya: “Kau anak nakal. Pergi bertahun-tahun, baru pulang sekarang. Tapi syukurlah, rinduku sampai juga padamu, Nak.”

“Maafkan aku, Ibu.”

“Cepatlah datang. Semua orang sudah menunggumu.”

Ibu menutup telepon. Memang tidak seperti biasanya ketika menelepon Ibu berbicara sesingkat itu. Namun, aku tidak peduli. Aku merasa lega dengan keadaan Ibu yang baik-baik saja setelah bencana.

*****

Ada pemandangan yang berbeda saat aku sampai di rumah. Rumah-rumah yang rubuh, kubangan air, dan gelimpangan mayat ditepi jalan. Tangis juga mendengung tiada putus di setiap sudut. Sesampai di dalam rumah, aku mendapati keramaian dengan wajah-wajah yang sama murungnya seperti wajah-wajah di jalan.

Kakak sudah menungguku di halaman rumah yang hancur.

“Di mana Ibu, Mas?” Tanyaku kapada kakak.

Katanya lemah, “Ibu meninggal saat bencana terjadi. Dia baru saja dikuburkan hari ini. Kami tak sempat menunggumu pulang.”

Aku tergeregap. Aku tak percaya mendengar berita itu. Kakak mengantarku ke kuburan Ibu. Di tepi makam Ibu, aku terduduk linglung seraya berpikir: Siapa yang meneleponku satu jam yang lalu? Apakah Ibu menghubungiku dari surga? (*)

Posting Komentar untuk "Renjana | Cerpen Risda Nur Widia"