Iklan Atas

Blogger Jateng

Lelaki yang Menunggu Kepulangan Istrinya | Cerpen Riyan Prasetio


Tarmo mengetuk pintu rumahnya berulang kali. Tidak ada suara yang menyahut dari dalam. Diketuknya pintu kayu itu lebih keras menggunakan jemari tangannya. Sedangkan mulutnya tetap terkatup rapat dengan raut lesu yang menghiasi mukanya. Rambutnya tak lagi berwarna hitam legam seperti dulu. Uban mulai tumbuh di sana. Menandakan kalau usianya tak lagi muda.

Sebentar lagi ia juga akan pensiun menggunakan seragam pegawai. Menikmati masa tua dengan bersantai bersama keluarga. Hanya saja, kali ini raut mukanya benar-benar murung. Kesedihan dengan cepat menjamur, memenuhi wajahnya yang mulai keriput.

Merasa lelah karena tak kunjung ada yang mendengar suara ketukan pintu. Dirogohnya kunci rumah dari salah satu saku celananya. Sebetulnya ia sudah tahu. Mengetuk pintu hanyalah perbuatan sia-sia dikarenakan rumahnya tiada berpenghuni. Ia tinggal sendirian. Kedua anaknya sudah menikah dan memilih tinggal berpisah dengannya. Katanya tidak bebas, kurang srek jika sudah menikah tetapi masih tinggal bersama kedua orang tua.

Tarmo tak peduli akan hal itu. Ia lebih memedulikan hari-hari ke depannya akan teramat panjang dan sepi. Keheningan menyambut kepulangannya kali ini. Untuk pertama kalinya ia tidak mendengar suara lembut yang menyambut kepulangannya. Tak tampak lagi senyum tulus yang biasanya hadir di ambang pintu. Semua sirna, menyisakan hening yang mencekam di hati.

Pelan sekali ia berjalan. Ditutupnya pintu utama tanpa perlu menguncinya. Ia masih ingin menunggu kedatangan seseorang yang telah pergi. Harapan itu belumlah sirna meskipun pada akhirnya ia harus mengalah kepada sang takdir. Takdir yang telah memisahkan dan merebut segala unsur yang mendatangkan kebahagiaan di rumah mewah itu.

“Ma … Papa pulang,” ujarnya lirih.

Tatapannya menyapu bersih ruang keluarga. Tidak ada suara televisi yang biasa terdengar bising. Majalah-majalah yang biasanya terbuka di atas meja kaca tak lagi terlihat. Juga segelas teh hangat yang biasa ia seruput begitu saja tanpa perlu meminta izin kepada si empunya kini berganti dengan angin yang berembus lembut menyentuh permukaan kulitnya. Kosong. Ia benar-benar bersama kekosongan yang mencekam.

Gemetar Tarmo memandangi sebuah bingkai foto keluarga. Di sana sosok itu seolah tersenyum manis menyambut kepulangannya. Ia balas tersenyum. Setidaknya foto itu mampu mengurangi rasa rindu sekaligus kehilangan akan dirinya yang telah pergi. Tarmo mengembuskan napas kasar. Seketika badannya terasa lemas. Kedua kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya sendiri. Ia pun terduduk di lantai. Berusaha mengatur deru napasnya yang kian tak beraturan.

“Sebaiknya Papa merekrut seorang pembantu di rumah ini. Supaya ketika Papa pulang mengajar tidak perlu lagi repot-repot mencari makan,” ujar Fiola, putri sulungnya.

“Dengan adanya pembantu di rumah ini, setidaknya bisa mengurangi rasa sepi di rumah ini, Pa,” kata Citra, putri bungsunya yang tak kalah antusias menasihati.

Ia tidak butuh pembantu. Yang dibutuhkannya hanyalah keluarga. Anggota keluarganya yang meliputi kedua putrinya, kedua menantu, dan juga cucu-cucunya yang baru melewati masa kanak-kanak. Dulu, ia selalu mengimpikan kebahagiaan bersama cucu-cucunya saat memasuki usia tua. Oleh karena itu, ia sengaja membuat rumah besar lengkap dengan segala fasilitas mewah di dalamnya.

Namun sayang, impiannya tak bisa diwujudkan. Terlebih setelah istrinya pulang ke tempat keabadian. Setelah berhasil mengatur deru napasnya. Ia berdiri perlahan. Entah sejak kapan air matanya itu tumpah. Yang jelas, wajahnya teramat basah saat ini.

Sebuah kamar yang berada di lantai satu tepat di sebelah ruang salat merupakan tujuan selanjutnya. Rasa lapar yang diakibatkan oleh cacing-cacing di perutnya tidak dipedulikan. Suasana gelap segera menyambut kedatangannya. Tidak sulit baginya menemukan sakelar lampu kamar yang cukup luas itu.

Rak-rak terbuka yang diisi berbagai macam jenis dan judul buku tertata rapi. Menguar aroma kertas yang baru dan juga lama dari setiap sudut rak-rak yang berisi buku tersebut. Di sudut ruangan ada sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan komputer serta laptop keluaran terbaru. Ia berjalan mendekat. Semakin dekat dengan kursi kayu yang menghadap ke layar monitor, semakin kuat pula getaran di kakinya. Bulir-bulir bening yang sedari tadi bergerombol di kelopak matanya kian memberontak ingin segera keluar.

Disentuhnya kursi kayu itu dengan penuh kasih sayang. Matanya dipejamkan, membayangkan rupa pemilik kursi yang acap kali duduk di sana sembari menatap layar monitor yang ada di depannya.

Lama sekali permukaan tangannya mengusap kursi kayu penuh kenangan itu. Pikirannya terus melayang. Berusaha merengkuh kembali sesuatu yang teramat berharga yang menghilang dari hidupnya. Ia menangis. Tidak peduli seberapa tua umurnya untuk menangisi sebuah kenangan yang teramat berharga.

Tak puas hanya dengan menyentuh kursi kayu, didudukinya kursi itu. Merasakan betapa nyaman duduk menghadap layar monitor yang gelap. Butuh waktu beberapa menit untuk bisa menormalkan kembali perasaan sedih yang menjalar ke seluruh tubuh. Hingga akhirnya ia menghidupkan komputer itu. Layar monitor berkedip-kedip. Dikeluarkan papan tik yang tersimpan di laci meja.

Dengan gerakan lamban, jari-jemarinya menyentuh papan tik. Ada yang hilang dalam hidupnya. Tiada terdengar lagi berisiknya papan tik yang beradu dengan jari-jari tangan istrinya yang lentik. Biasanya ia menunggu di karpet sembari memeriksa tugas maupun lembar jawaban ujian anak didiknya di karpet tak jauh dari tempat istrinya mengetik, merangkai, menulis sebuah cerita.

Komputer itu kini telah kehilangan tuannya. Bahkan ia sempat membelikan laptop baru beberapa hari sebelum istrinya itu berpulang. Istrinya sempat marah. Katanya laptop baru tidak akan terpakai karena lebih nyaman mengetik dengan papan tik dan juga menatap layar monitor selebar empat belas inci itu ketimbang jemari istrinya bergerilya di papan tik laptop yang menurutnya lebih sempit dan tidak bisa leluasa itu. Belum lagi radiasi yang dihasilkan laptop katanya jauh lebih berbahaya.

Jadilah laptop itu akhirnya dialih fungsikan menjadi bioskop mini di ruangan itu. Tempat ia dan istrinya bisa menonton film setelah mendownload dari internet. Sayang, kebahagiaan itu hanya bisa dirasakan sekejap. Kini, tawa itu berubah menjadi hening. Keheningan yang teramat menyayat. Senyum yang biasanya terlihat berganti udara kosong yang berputar-putar di sekitar ruangan.

Tarmo menggerakkan tetikus. Matanya yang basah memudarkan pandangan. Samar-samar terlihat nama file yang dicarinya. Segera dibuka lembar kenangan yang semakin menyesakkan dada. Kenangan yang ditinggalkan oleh istrinya setelah hijrah menjadi penulis. Tulisan-tulisan itu masih tersimpan rapi. Diejanya setiap kata yang tertulis. Namun, sebanyak kata yang dibacanya, sebanyak itulah rasa rindunya tumbuh.

“Sayang ….”

Mendengar ada suara yang memanggil ia segera menoleh. Mendapati pintu ruangan yang tertutup karena tertiup angin. Tak ingin istrinya bingung karena ruang kerjanya tertutup, Tarmo bergegas membuka pintu ruangan itu kembali. Rambut-rambut halus yang tumbuh di permukaan kulitnya berdiri. Ada sesuatu yang menyentuhnya dengan lembut. Tarmo membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Tak peduli ada makhluk halus yang mencoba merayunya. Toh, tubuhnya sudah menua. Kegagahannya sudah lenyap tertelan waktu dan kerasnya kehidupan.

Diedarkan pandangan ke sekeliling. Kegelapan mulai menyelimuti rumah. Hanya kamar yang dijadikan sebagai tempat menulis istrinya diterangi oleh cahaya lampu yang redup. Dalam gelap, samar-samar ia melihat ada seseorang yang berjalan mendekat. Tubuhnya gelap, mungkin karena lampu di ruangan sekitar belum dinyalakan. Sosok hitam yang berjalan mendekat semakin terlihat.

Sosok itu tersenyum. Memamerkan barisan gigi-giginya yang putih dan rapi. Senyum yang sangat dirindukan oleh Tarmo. Ia membalas senyuman itu. Segera tangannya direntangkan lebar-lebar, bersiap memeluk sesuatu yang sangat dirindukannya itu sekarang juga. Akan tetapi, ketika sosok itu sudah berada tepat di depannya. Saat kedua tangannya kembali dirapatkan agar bisa memeluk erat tubuh itu. Kekosongan yang didapatkan. Tidak ada siapa pun yang datang. Senyum yang tadinya tampak merona segera memudar. Berganti gelap dan kesunyian.

Di luar, hewan malam mulai berdendang. Bersyukur kepada Tuhan atas kehidupan yang dijalani. Tarmo terduduk lemas. Jari-jemari tangannya meremas pahanya sendiri. Kesal, sedih, dan kehilangan bercampur menjadi satu. Kegelapan telah kembali. Datang dan menawarkan sunyi. Tarmo hanya bisa terus menunggu. Menunggu kepulangan istrinya meskipun ia tahu hal itu mustahil terjadi.

Ia juga merindukan bisingnya suara papan tik yang bergesekan kasar dengan jari-jari tangan istrinya yang lentik. Hanya menunggu yang bisa dilakukan. Jika istrinya tak bisa lagi kembali menemui dirinya. Ia berjanji akan sabar menunggu dalam hening datangnya malaikat maut yang akan menjemputnya. Mengantarkan ke sebuah tempat di mana istrinya telah menunggu di alam yang baru. Sebuah kebahagiaan terus dipanjatkan dalam doa-doa dan sujud panjang setiap malam. Menunggu. Meskipun Tarmo bersikeras menyadarkan diri sendiri bahwa istrinya telah pergi dan tidak akan pernah pulang kembali, tetap saja ia akan terus menunggu kedatangan istrinya membawa malaikat maut datang menjemput. (*)

Posting Komentar untuk "Lelaki yang Menunggu Kepulangan Istrinya | Cerpen Riyan Prasetio"