Iklan Atas

Blogger Jateng

Panggung | Cerpen Ken Hanggara


Sejak dulu panggung ini menyuguhkan pertunjukan murah bagi seluruh penghuni kota. Tidak seperti panggung-panggung pada umumnya, panggung ini amatlah istimewa, karena penontonnya terdiri dari beragam profesi. Kedudukan sosial tak jadi soal. Siapa saja bisa jadi penonton. Tak masalah jika misalnya bapak walikota duduk di samping tukang sapu. Atau mungkin, pialang saham berjejer dengan kuli bangunan. Bahkan tak jarang pula orang-orang berpangkat harus duduk di belakang mereka yang tidak berpangkat. Mereka tak pernah mempermasalahkan.

Kebanyakan dari penonton senang dengan pertunjukannya, meski tak kurang yang menganggapnya amat buruk. Namun satu yang pasti; kegembiraan tampak lebih besar di wajah para seniman yang tampil. Para seniman panggung itu berasal dari kalangan ekonomi bawah. Aku salah satu dari mereka. Aku saksi cerita ini.

Satu yang paling menarik dan membuatku melihat ini sebagai keajaiban adalah kondisi panggung. Panggung kami tak memiliki atap, hanya bangunan sederhana berlantai tanah. Maka, ketika akan memasuki musim penghujan, kami akan menguat-nguatkan diri untuk tidak sakit. Dan ketika bumi menjelma bak gurun pasir, kami harus banyak-banyak mandi agar debu tak membuat kepala pusing. Kami akan selalu tampil meski penonton tidak memenuhi kursi-kursi yang tersedia. Berapa pun jumlah mereka, kami tetap akan membuka pertunjukan.

Aku tahu, Tuhanlah yang menciptakan panggung ini untuk kami. Kurasa Tuhan mengajariku betapa kehidupan adalah sesuatu yang tak seharusnya menjadi masalah. Aku selalu berharap para seniman itu bersedia untuk selalu menjaga panggung ini. Bukankah jika sesuatu tetap terjaga, segala yang berhubungan dengannya akan menjadi lebih baik? Aku belajar itu ketika salah seorang dari kami menuding yang lain berbuat curang.

"Kamu merebut jatahku! Harusnya aku berhak mendapat lebih dari kamu!"

Semua penonton terpana menyaksikan dua seniman saling bersitegang. Aku terpaku, sedih mentap teman-temanku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Sejak dulu aku memang pendiam.

"Sudahlah, apa kalian mau penonton kita kabur? Lihat, mereka sudah menunggu!" seorang gadis bertubuh jangkung menengahi. Mereka melanjutkan penampilan setelah sebelumnya menatapku sebentar.

Aku tahu, sosok yang menimbulkan keributan tadi adalah satu-satunya anggota kelompok yang paling menderita. Ibunya sakit-sakitan, hingga selalu membuatnya beralibi bahwa ia berhak mendapat honor lebih dari siapa pun. Dan aku juga tahu, semua itu bukanlah sesuatu yang mengada-ada. Ibunya harus berkali-kali dibawa ke rumah sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu mengerikan untuk orang miskin. Sementara, jika kami tak bersatu, panggung ini hanya akan menjadi sejarah, sejarah menggiriskan lebih tepatnya.

"Kita harus bersatu. Hasil pertunjukan mesti dibagi. Kalau terus ribut soal uang, seseorang akan merebut panggung ini. Kalian mau mencari pekerjaan lain? Ha?!" lontar sang gadis berapi-api. Dialah yang tertua. Para seniman menganggapnya seperti kakak sendiri.

Pertunjukan berlangsung selama beberapa menit dan berakhir setelah mereka berputar-putar di sekeliling bangku penonton. Oleh karena panggung kami sederhana dan pertunjukan yang ditampilkan itu-itu saja, maka sesuka hati pula orang mau memberi bayaran atau tidak.

"Jangan patah semangat, ya," kalimat itu kudengar dengan jelas di sela bisingnya aktivitas ibukota, dari bibir penonton yang sedikit peduli pada hidup seniman terbuang macam kami. Meski begitu, terkadang tak kalah deras kebencian harus kami telan dari orang-orang tertentu.

Mengenai bayaran, aku tak pernah menuntut. Aku merasa tak lebih membutuhkannya ketimbang yang lain. Suatu waktu salah seorang dari mereka duduk berdua denganku. Dipandanginya wajahku dengan seksama, mencari tahu apa yang tengah kupikirkan. Seseorang memang sulit mengenalku lebih jauh, meski orang itu hampir setiap hari berjumpa denganku.

"Mungkin, tanpa kamu, nasib kami akan berakhir," katanya pendek.

Aku tak paham. Bukankah selama ini kami bersama? Dan bukankah kebersamaan ini bagian dari pertunjukan? Namun mereka selalu menganggap akulah pusat kekuatan, satu-satunya unsur penting dalam setiap penampilan. Akulah yang jadi penentu apakah mereka harus tampil cukup lama atau sebentar.

Sejak itu dia lebih dekat denganku. Tidak seperti yang lain, lelaki bertubuh pendek ini punya sesuatu yang berbeda, membuatnya mampu perlahan menyelami alam pikiranku. Seniman-seniman lain jarang atau bahkan nyaris tak pernah mengajakku mengobrol. Bagiku tak masalah siapa pun merasa jenuh berteman denganku karena kesepianku, juga diamku. Tapi situasi sebaliknya kutangkap ketika sosok ini memelukku erat, mengadukan seluruh persoalan hidupnya padaku, dan menganggapku seperti saudaranya sendiri.

Hari demi hari kami lalui dengan rutinitas yang sama. Usai pertunjukan ditutup, lelaki itu menepi, mendekatiku yang sudah menyendiri, lalu kembali bercerita panjang lebar tentang kehidupan di luar panggung. Saat malam tiba dan semua seniman telah pulang, ia menghampiriku. Tak ada seorang pun yang pamit pulang selain dia. Tak pernah ia telat berpesan agar aku menjaga diri baik-baik.

"Justru kaulah yang lebih pantas dicemaskan," bisikku pelan.

Akhirnya keluar juga kalimat yang selama ini kupendam. Tak ada yang mendengar suaraku selain dia. Wajahnya lalu menunjukkan senyum termanis yang pernah kulihat. Sejak itu, aku merasa hubungan kami sedekat jeruk dan pusarnya.

"Pulanglah. Besok kutunggu kamu datang. Kita hibur lebih banyak lagi penonton," lanjutku penuh semangat.

Memang tak perlu ia mencemaskanku. Sepanjang aku hidup dan melihat kehidupan di sekitarku, semua selalu berlaku adil. Ketidakadilan hanya menimpa teman-temanku. Jadilah sebagai bentuk persahabatan dan kesetiaanku, juga katakanlah pengorbananku, aku tak pulang. Lagi pula tempat ini sudah seperti rumahku sendiri. Aku harus menjaganya. Bukankah mereka tak ingin seseorang mengambil-alih panggung ini?

Tapi indahnya malam akan rusak esok paginya. Bangun tidur, selalu kudapati sosok asing memeluk kakiku. Ia akan tetap berada di sana sampai seniman-seniman itu kembali dan segera mengusirnya. Aku bahkan terlalu bisu untuk dapat mengatakan bahwa aku sangat takut dengan kehadirannya. Sosok itu adalah orang yang terganggu kesehatan mentalnya.

"Ini tempat kami. Pergilah. Pertunjukan akan segera dimulai!" lontar si gadis ketua. Syukurlah dia cepat datang.

"Tidakkah kalian sadar, aku juga penonton kalian?!" bentak orang gila itu.

Tidak ada yang bisa disalahkan memang, mengenai masuknya orang gila itu ke panggung kami. Dia memang sering menunggu kami tampil, meski gadis itu tak kalah sering membentaknya, atau bahkan menendang bila ada kesempatan. Tapi, setiap manusia punya hak, 'kan?

Tahukah kalian betapa besar rasa kagumku? Seniman-seniman itu tak pernah bosan menghibur meski setiap hari selalu saja ada sesuatu yang tak terduga. Seperti yang sudah kubilang, penonton kami berasal dari kelas sosial yang berbeda-beda. Kami jadi tahu bagaimana cara orang kaya menelan makanannya, meski kami sendiri hanya dapat melihat melalui pembatas yang ada di setiap wajah mereka. Atau kadang kami tahu bagaimana seorang ibu berusaha menenangkan anaknya yang merasa tertipu dengan hadirnya sebongkah batu.

"Semua itu adalah seni yang harus kau pelajari," kata lelaki pendek kepadaku. Baru kali ini bahasanya agak puitis. "Dari sanalah kau mesti belajar. Pertunjukan kita ini tak lebih dari usaha untuk lari dari kematian," sambungnya penuh misteri.

Aku tak paham. Tapi mengenai seni itu, aku setuju. Aku senang mengamati penonton. Pagi menjadi waktu yang tersibuk karena berderet kursi di depan panggung penuh, bahkan hingga berjam-jam lamanya. Saking banyaknya penonton, ruang yang kami punya sampai tak muat hingga mereka harus bergantian jika ingin menyaksikan apa yang kami tampilkan. Semua itu akan kami kerjakan sepenuh hati sampai matahari naik, tepat bertengger di atas ubun-ubunku.

Dan, kebanyakan perselisihan kecil di antara seniman muda itu terjadi di waktu seperti ini. Matahari bergejolak, melempar panasnya ke wajah setiap orang, merasuk ke dalam otak, mendidihkan bagian-bagian sensitif di sana. Kalau tidak soal makan, pasti uang. Lagi-lagi gadis itu turun tangan menertibkan teman-temannya. Setiap kali ia menasihati mereka, aku akan selalu dibawa-bawa.

"Lihat dia! Meski pendiam, setidaknya dia tahu waktu kita berharga! Harus berapa kali kukatakan soal ini?"

Ah, memang waktu telah menjadi sahabatku yang lain selain semua ini: panggung ini, seniman-seniman ini, penonton-penonton ini. Waktu adalah bagian dari kesemestianku, seperti halnya pertunjukan kami. Semua yang terjadi di sekitar kami adalah kesemestian. Mungkin ada yang menolak kesemestian ini. Namun tak dapat disangkal, jalan kebahagiaan bagi kami adalah dengan menghibur seluruh masyarakat kota dengan lagu-lagu. Tak peduli walau sesungguhnya terlalu sering kami diabaikan.

Kami akan rehat sejenak jika waktu tampil berhenti. Kami mengubah diri menjadi patung di sisi kanan-kiri panggung. Kemudian jika dirasa waktu akan kembali, para seniman sahabatku akan bersiap dengan alat musik di tangan mereka. Gadis itu membawa gitar. Lelaki pendek mengikutinya dari belakang, diraihnya ukulele yang menggantung lemah di punggung. Sementara sosok yang ibunya sakit itu tampak sibuk menyiapkan satu set drum. Semua itu dilengkapi oleh seruling, kecapi, harmonika, juga semacam alat yang terbuat dari kayu dan beberapa benda—yang entah tak kutahu apa namanya—yang ada di tangan seniman-seniman lain. Tugasku sebagai conductor, mengatur permainan mereka dari awal hingga akhir.

Panggung itu pun seketika menjelma menjadi milik kami sepenuhnya, seperti panggung-panggung penuh cahaya yang pernah mereka lihat di televisi. Aku sendiri tak tahu bagaimana bentuk televisi. Hanya pernah mendengarnya dari ocehan lelaki pendek. Katanya, di sana kami bisa melihat apa saja, termasuk melihat cara seniman-seniman terkenal melakukan aksi terbaik di depan para penonton. Konon, semua itu jauh lebih hebat dari pertunjukan terbaik kami.

"Andai kita bisa terkenal seperti mereka, pasti tak ada lagi hari-hari seperti ini," ungkapnya.

"Maksudmu?"

"Kita mungkin tak 'kan bertemu dalam panggung yang sama. Mungkin aku akan betah menjadi penontonmu saja, atau mungkin sebaliknya? Entahlah. Apa kamu tidak marah kalau itu terjadi?"

Apa aku marah jika ia tak lagi bersamaku? Aku sama sekali tak punya hak untuk itu. Aku justru senang kalau ia tampil di televisi seperti yang ada dalam angannya. Itu mimpi lamanya dan aku tak berhak mengintervensi. Percakapan semacam ini biasanya terjadi di malam hari, saat semua seniman mulai mengantuk, kelelahan karena sehari penuh bekerja di bawah sorot lampu panggung yang membakar.

Satu-satunya kendala kami adalah orang-orang berkemeja. Merekalah tukang klaim yang tak pernah sudi menunjukkan bukti. Mereka selalu mengaku bahwa panggung kami ini tak lebih dari tanah sengketa. Akibatnya, seniman-seniman malang temanku itu sesekali memerlukan waktu bersembunyi ketika mereka menagih sesuatu yang tak bisa kami penuhi. Orang-orang itu akan terus mengejar, menculik, dan membawa teman-teman ke suatu tempat sepanjang mereka masih terjaga.

"Mereka ingin membuat kota ini bersih dari seniman-seniman seperti kita," kata si gadis malam ini, setelah mereka berhasil menangkap penabuh drum. Kami pun tenggelam dalam lamunan masing-masing. Akankah kami tetap bertahan? Lelaki pendek itu tak lepas memelukku. Ia takut jika harus bernasib sama seperti penabuh drum.

"Kalau aku tertangkap, bagaimana adikku bisa makan?" bisiknya lirih.

Selama ini, lelaki itu harus bekerja banting tulang di atas panggung, demi menghidupi diri sendiri dan adiknya.

"Kalau aku tertangkap, apa aku masih bisa bermain musik denganmu?" bisiknya lagi.

Aku tak punya cara untuk menjawabnya.

Kami melanjutkan esok yang bergulir dengan keadaan tak menentu. Tertangkapnya teman kami membuat seniman lain cemas. Di segala waktu, kami akan berjumpa dengan seribu macam wajah penonton yang entah suka atau muak. Bagi kami, yang penting pertunjukan terus berjalan. Sayangnya penonton mulai kecewa. Ketidakhadiran penabuh drum membuat penampilan kami kurang memuaskan. Uang yang didapat setelah para penonton bubar hanya cukup untuk membeli sebungkus biskuit dan dua kaleng soda.

"Kalau begini, bagaimana kita bisa sarapan?!" kali ini pemain seruling yang marah. Dulu ia hampir sepertiku, diam di setiap situasi. Namun pagi ini tidak ada kata diam untuk menolak rasa lapar.

"Ini gara-gara kamu!" bentaknya seraya menunjuk muka lelaki pendek.

Ingin kubela dia, tapi aku tak bisa. Semalam penabuh drum tertangkap karena menolong lelaki pendek yang sempat terjatuh. Jadilah, meski lelaki pendek itu berhasil lolos, orang-orang berkemeja sukses meringkus sang penabuh drum, membawanya pergi ke tempat yang jauh.

"Kenapa kamu menyalahkanku?"

"Kalau kamu tak jatuh, penonton tak akan kecewa. Mereka sudah hafal formasi kita. Musik ini tak lengkap tanpa penabuh drum!"

Si gadis, ketua yang selalu menjadi penengah, kini hanya bisa menunduk. Di matanya tampak kehancuran. Aku menelan ludah. Apa benar harus seperti itu?

"Sudahlah, jangan bertengkar," katanya pelan. "Tak ada yang salah. Semua ini sudah menjadi bagian dari panggung, bagian dari kehidupan. Bagaimanapun, seniman seperti kita harus tetap menampilkan yang terbaik meski dalam kondisi terburuk."

Sayang, petuah bijak dari ketua tak cukup membuat pemain seruling bersabar. Ia melanjutkan serangannya pada lelaki pendek, lelaki yang senang mengajakku mengobrol, bicara tentang hidup dan mimpi-mimpi, sampai lelaki itu menangis. Ia pikir ada benarnya perkataan temannya. Lelaki pendek itu bersandar padaku.

"Kalau saja aku tak jatuh, pasti orang-orang itu gagal menculiknya."

"Sudahlah. Itu bukan salahmu," kataku membesarkan hatinya.

"Tidak! Ini salahku. Gara-gara aku jatuh, teman-teman harus menelan akibatnya. Malam ini adikku juga pasti menangis karena tak ada makanan yang kubawa!"

Entah bagaimana membujuknya berhenti menyalahkan diri. Malam itu terasa lebih sepi. Seniman-seniman sahabatku pulang dengan raut kecewa. Melihat teman-temannya sedih, lelaki pendek mendekatiku dengan air mata yang kian deras. Ia pamit, menyuruhku menjaga diri baik-baik. Lampu-lampu di sepanjang tepian jalan semakin terasa kelabu ketika kupandangi punggung ringkihnya kian menjauh. Dunia memang kejam, terlalu kejam untuk manusia lemah seperti mereka. Ingin rasanya aku berteriak sekeras-kerasnya, bertanya kepada Tuhan mengapa kehidupan panggung ini tidak sepenuhnya dapat kupahami?

Tiba-tiba dari kejauhan sebuah mobil melaju kencang. Aku masih berdiri dengan tegap di sudut panggung yang lantainya dipenuhi garis-garis putih, batas terdepan bagi para penonton yang berupa-rupa. Meski sempat kucegah dengan tanda yang menyala-nyala di kepala, mobil itu tak mengubah wataknya. Dalam sekejap, tubuh lelaki pendek tersambar. Ia terpental ke udara, terbang, sebelum akhirnya jatuh berdebam ke atas jalanan, berguling sejenak, tak bergerak.

Sekali lagi, aku ingin berteriak, bertanya-tanya pada manusia kenapa mereka memberiku lampu yang menyala-nyala, bukan suara yang dapat didengar oleh siapa pun? Namun terlambat. Aku masih bisu, masih berdiri di perempatan jalan ibukota yang petang. Lelaki pendek tak lagi bergerak, seiring dengan detak waktu berwarna merah di wajahku berakhir.

Layakkah aku menyesal, lahir dalam keadaan begini? Mengapa aku hanya memberi tanda untuk berhenti, bukan mengerti? Para seniman itu hanyalah secuil kisah. Sedangkan aku, sebatas tanda. (*)

Posting Komentar untuk "Panggung | Cerpen Ken Hanggara"