Didalam keranda ia melihat wajahnya sendiri yang pucat. Tangannya terlipat ke dada. Ada perdebatan beberapa jam yang lalu apakah ia akan dipakaikan jas atau kain kafan saja. Di ujung perdebatan, adiknya yang sedari tadi diam dirundung kabung, berkata dingin, “Dia seorang kolonel.” Mereka mengerti dan pada akhirnya mencabut kapas yang telah disumpal ke hidungnya. Tubuhnya yang menyusut kurus itu dipakaikan jas dan sarung tangan putih sebagai bentuk penghormatan terakhir. Bau jeruk purut dan kemenyan menguar ke udara. Mereka bilang untuk membunuh bau.
Itu adalah akhir September dan hujan baru mulai reda. Orang-orang berkumpul. Keluarga besar, kerabat, dan beberapa mantan anak buahnya dengan uban yang kini menguasai kepala. Wajah-wajah tampak berkabung. Di sudut ruangan ada seorang lelaki berjubah berdiri. Ia memegang surah yasin di tangan kanannya. “Kolonel pergi dalam damai, Tuhan memberkati,” ia meyakinkan orang-orang. Di dalam kerumunan hadirin, Kolonel Saidi dimuliakan.
Seorang lelaki menunduk melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah pukul 11 pagi. Beberapa saling berbisik. Mereka menunggu satu orang lagi tiba sebelum melakukan pemakaman, yaitu Linda, istrinya. Dia telah pergi ke pulau seberang mengurus bisnis perkebunan beberapa hari yang lalu dan sedang dalam perjalanan saat ia mendengar kabar bahwa Kolonel mengembuskan napas terakhir. Tidak ada duka mendalam. Malah, karena sudah bosan mengurus Kolonel, dalam hati ia merasa lega. Selain pula fakta bahwa diam-diam ia memang telah jatuh cinta pada lelaki lain.
Sejak berbulan-bulan sebelumnya, Kolonel telah berjuang melawan penyakit yang menggerayangi tubuhnya. Tidak ada yang tahu, sebenarnya itu bukanlah stroke. Seorang dokter yang ia percayakan untuk merawatnya diam-diam menemukan kenyataan bahwa Kolonel diserang penyakit laten raja singa. Hari itu, sembari terbaring di ranjang, Kolonel memberi isyarat tangan. Dokter menunduk mendekatkan telinga ke arah mulutnya dan mendengar ia berkata, “Jangan sampai ada yang tahu,” bibir Kolonel pucat dan bergetar.
Bahkan sampai sekarang ia merasa yang paling menakutkan baginya adalah kehilangan rasa hormat dari orang-orang kepadanya. Sisa-sisa dari keterampilan lamanya membuat ia tahu cara mengatur bagaimana orang-orang seharusnya berpikir tentang dirinya. Memakai mulut dokter pribadinya, orang ramai hanya tahu bahwa Kolonel diserang penyakit stroke akibat kelelahan dan banyak pikiran. “Tidak banyak kita temukan orang seperti Kolonel akhir-akhir ini. Orang yang bahkan di usia senjanya masih senantiasa berpikir melampaui dirinya sendiri.” Dokter berkata, sesuatu yang bertolak belakang dengan isi hatinya sendiri.
Di hari-hari setelahnya Kolonel sudah tidak lagi dapat berbaring tenang. Dalam pandangan yang mulai kabur, ia melihat dirinya sendiri berjalan menanjak di dalam sebuah terowongan spiral yang sempit, pengap, dan berbau udang busuk sehingga membuatnya mual dan sulit bernapas. Tubuhnya kini memberat sehingga ia harus menumpu pada lengannya yang menapaki dinding licin sehasta demi sehasta. “Ayah….” ia lalu mendengar suara anak kecil berlarian. “Ayah….” Suara itu kemudian memantulkan gema panjang yang membuat Kolonel sesak dan menggigil ketakutan.
Mimpi jahanam, semula ia berpikir. Tetapi lama-kelamaan ia mendapati itu bukan lagi mimpi. Ia tidak tahu dari mana suara itu berasal. Di kesunyiannya yang lain, hati kecilnya berkata bahwa itu adalah anak-anaknya. Tapi bagaimana bisa? Linda tidak pernah memberinya seorang anak pun. “Ayah” gema suara itu melintas lagi lalu menguap ke udara dan menghilang di ujung lorong sebelum kemudian muncul kembali.
Lalu di luar terdengar pintu berderak. Seorang lelaki, perawat pribadinya, masuk dan membantu menegakkan tubuh kolonel. Dengan gerakan hati-hati, ia menyodorkan sendok berisi obat yang Kolonel telan dengan perasaan bosan dan muak.
“Apa kau pikir ini membantu!” ia berkata.
Beberapa minggu setelahnya ia masih punya sisa tenaga untuk mengeluarkan suara dan menepis setiap kali obat mau dimasukkan ke mulutnya. Tetapi lambat laun tenaganya menyusut dan ia kehilangan kesadaran terhadap waktu. Kolonel tak dapat lagi mengeluarkan kata-kata, hanya bisa pasrah mendapati apa yang disodorkan ke mulutnya selama berbulan-bulan, ini hanya rutinitas sia-sia yang kian menyiksanya.
Di luar, halilintar menyambar-nyambar. Kolonel menutup mata. Sebab mengira ia sudah terlelap, si perawat bangkit perlahan dan berjalan keluar. Padahal Kolonel ingin ia tinggal sebentar lagi menemaninya. Tetapi suaranya tidak keluar dan si perawat sudah duluan menutup pintu. Segera setelah itu terjadi di langit-langit kamarnya muncul kembali terowongan dan ia melihat dirinya berada di sana, mendengar suara-suara anak kecil yang makin bertambah.
Ketika Kolonel menutup mata, ia melihat bocah-bocah itu dengan lebih jelas dan mereka berlari ke arah ibunya masing-masing. Dengan serentak perempuan-perempuan itu menegakkan wajah melihat Kolonel. Saat itu pula gulungan-gulungan ingatan lama tergelar dan menjulur kembali. Dua puluh tahun yang lalu ia mengenal mereka. Dan mereka terlihat begitu jorok dan kumuh sekarang. Tubuh mereka kerempeng dengan kedua tulang pipi yang menonjol, payudara yang kempes, dan kulit pucat membiru.
Kolonel masih ingat kata yang ia ucapkan ketika melihat mereka dulu, “Rezeki dari Tuhan.” Ia berkata. Tubuh-tubuh itu kemudian ia jamah. Perempuan-perempuan itu adalah istri dan adik-adik perempuan dari orang yang mereka buru. “Ini cara menyakiti musuh,” ia menyeringai. Sejak saat itu sudah tidak terhitung lagi berapa kali Kolonel dan anak buahnya saling antre untuk apa yang mereka sebut dengan “mengambil jatah”. Hingga bertahun-tahun kemudian, ia mengalami ketergantungan. “Ayah” Dan sekarang ia mendengar suara itu semakin jelas. Sesak berpilin dalam dada Kolonel dan membuatnya menggigil.
Di minggu selanjutnya, ia sudah tidak dapat bergerak dan merasakan perih seperti seekor kambing yang sedang dikuliti hidup-hidup. Dan pula seakan ribuan jarum suntik dihunjamkan ke tubuhnya. Orang-orang menyebut itu hantu alam mimpi. Tetapi bagi kolonel sudah tak ada lagi beda antara alam mimpi dan dunia nyata, dua-duanya bekerja sama membuatnya menderita. Segala yang ia inginkan sekarang adalah maut; ia mengharapkan kematian datang menjemput dan segera membawanya pergi ke alam lain.
Hujan telah reda ketika ada orang berlarian dari pintu depan. Ia mendengar suara yang akrab. Linda, istrinya, ternyata sudah tiba. Ia langsung bersimpuh di pinggir keranda. Ditatap oleh seluruh tamu, ia langsung mengeluarkan sapu tangan dan mulai sesenggukan. “Oh Tuhan, mengapa kau tak menungguku?” Baru ketika itu Kolonel menyadari bahwa itu palsu. Dan ia merasa apa yang ia lewati selama bertahun ini adalah seikat muslihat yang menyakitkan. Tetapi tak dapat ia mengucap sepatah kata pun lagi.
Ketika keranda ditutup, pelan gelap pekat menyelimuti sekujur tubuhnya. Di luar orang-orang masih terdengar membacakan ayat dan penghormatan atas jasa-jasanya. Seorang lelaki berjalan mendekat membawa paku dan sebuah palu di tangannya. Ketika palu menghantam paku pertama di sudut keranda, ia terguncang. Tetapi segera ia menenangkan diri. Bukankah ia akan meninggalkan segala yang menyakitinya? Enam puluh tujuh tahun adalah usia yang sudah cukup baginya. Dan sekarang ia mulai merasa tubuhnya terangkat pelan. Ada iringan doa dan nyanyian sanjung puji di udara yang ujungnya tiba-tiba berubah kembali menjadi tawa bocah cekikikan.
Ia lalu mendengar bunyi yang akrab. Telinganya menangkap suara langkah seseorang mendekatinya. Memakai tisu, orang itu membantu mengelap air mata yang mengalir di pipinya yang pucat. Ia berbisik lembut ke telinganya, “Kolonel, sudah waktunya minum obat,” dan baru ketika itu Kolonel menyadari bahwa ia masih hidup. (*)
Posting Komentar untuk "Maut Bercanda dengan Kolonel Saidi | Cerpen Putra Hidayatullah"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar