Yah, bukan namanya ayah jika mudah menyerah dengan keinginannya, setiap ada kesempatan pasti beliau meminta kesediaanku menjadi PNS, apatah lagi dengan statusku yang sarjana pendidikan ini ayah selalu membujukku dengan perkataan, “Percuma, Nak! Kamu sarjana pendidikan, sia-sia ilmu kamu jikalau memilih terjun di dunia usaha, apalagi usaha kedai kopi yang kau jalankan seperti ini sarat akan ketidakpastian pendapatan lebih baik kamu manfaatkan gelar sarjana pendidikanmu dengan menjadi PNS, mengajar di sekolah yang akan membantumu sebisa mungkin agar secepatnya bisa terangkat jadi PNS.”
Saya hanya menghela napas pelan jikalau ayah berkata demikian, apakah ayah belum pernah membaca berita yang yah?? Kalau usaha yang kujalani ini sedang naik daun. Apatah lagi konsumsi kopi bagi kalangan milienial semakin hari semakin meningkat.
“Maaf ayah, saya sudah nyaman dengan profesi yang kugeluti, menjadi seorang abdi negara bukanlah warnaku. Warna saya ada pada kopi, it’s my passion. Saya lebih sreg dan merasa cocok bermesraan dengan mesin kopi, biji-biji kopi ketimbang harus mengenakan pakaian keki—dengan tanda-tanda kepangkatan yang tersemat di dada dan di pundak—lalu mengajar di depan kelas.” Sahutku padanya. Yah! Like father, like son! Begitulah pepatah berbahasa Inggris, selaku anak ayah saya tak mudah goyah akan bujuk rayu. Selalu saja ada alasan yang kuutarakan pada ayah.
“Maaf ayah, menjadi abdi negara bukan keinginanku, bukan warnaku, saya lebih menikmati menggeluti usaha ini walaupun tak dapat dinafikan hasilnya tak seberapa, tapi ada kesenangan tersendiri ketika melihat para pelanggan kedai kopiku tersenyum puas kala menikmati hasil racikan kopi yang kubuat. Dan rasa itu tak bisa dinilai dengan uang.”
Bagiku serasa wajar jika ayah memaksa anak lelakinya tuk menjadi PNS, karena bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, profesi PNS dipandang sebagai satu profesi yang dapat menaikkan derajat sosial seseorang. Selain itu, dalam riwayat keluarga kami tak terlepas dari segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan sebagai abdi negara. Buyut kami pernah menjadi pamong praja sebagai juru tulis di Pos Kantor pada masa Hindia Belanda, kemudian kakek sempat menjadi asisten ahli seorang wijkhoofd—kepala lembaga pemerintahan paling rendah di kota yang berstatus kota otonom—yang membidangi urusan keagamaan pada masa-masa akhir kekuasaan Hindia Belanda. Sedangkan ayah pernah menjadi camat dan kini berstatus sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah, kakak tertua juga seorang PNS, menjadi seorang Guru Sejarah Ahli Pertama di Madrasah Aliyah Negeri. Bagaimana dengan ibundaku? Oh jangan ditanya, beliau menjabat sebagai kepala puskesmas di dekat rumahku. Yah bisa dikatakan cuma diri ini seorang yang memilih jalan berbeda dengan jalan yang ditempuh keluarga. Bahkan pernah satu ketika, ayah menyampaikan—lebih tepatnya bergurau—kepadaku. Saya masih ingat, kala itu semua anggota keluarga menikmati santap siang, lalu setelahnya kita ngopi bareng. “Nak! Ayah cuma mau bilang sama kamu, bahwa menantu idaman itu adalah lelaki yang berstatus PNS!”
Hahaha…. saya hanya tertawa kemudian tersenyum kecut mendengarkan penuturan ayah. Mungkin ayah sengaja memancingku mengingat saya sudah menjalin kasih dengan seorang gadis cantik bernama Suci.
Tapi tawa kecut dan senyum kecut itu menjadi semakin masam tatkala apa yang dikatakan ayah tampaknya benar adanya, menjadi seorang lelaki berstatus PNS cukup ampuh menaikkan posisi tawar di hadapan calon mertua. Ihwal tersebut terbukti kala saya bertandang ke kediaman Suci kekasihku untuk menyampaikan maksud pada ayahnya.
Ayah pacarku itu tak sreg memiliki calon menantu yang profesinya sebagai barista merangkap sebagai CEO kedai kopi. Katanya usaha yang kugeluti masa depannya kurang cerah, penghasilan tidak menentu, kadang naik, kadang turun. Kalau jadi PNS pendapatannya jelas, jenjang kariernya bagus, kalau memasuki masa senja akan terjamin dengan uang pensiunan.
“Yah kalau mau jadi menantu saya, yah! Kamu harus menjadi PNS agar saya bisa tenang melepaskan anak gadisku kepadamu.”
“Maaf, Pak. Saya rasa dengan menjalankan usaha ini sudah cukup untuk menafkahi dan menghidupi anak Bapak. Lagian juga saya tidak cocok deh menjadi seorang PNS.” Kataku kepada ayah kekasihku.
“Usaha kedai kopimu tuh kurang menjanjikan, penghasilannya tidak tetap, mending kamu jadi PNS saja apalagi saya dengar dari putriku kamu itu sarjana pendidikan. Nah mumpung pemerintah membuka pendaftaran CPNS, kamu daftar saja. Sayang sekali loh gelar sarjana pendidikanmu itu dianggurin. Kamu tinggalkan saja usahamu itu, saya ngebet banget lho punya mantu seorang PNS.”
Saya hanya menghela napas panjang mendengar penuturan ayah kekasihku itu. Selama perjalanan pulang dari rumahnya, ada pergolakan batin yang menerpa diri ini, antara tetap menjadi seorang barista dan mengelola kedai kopi yang penghasilannya tak seberapa, atau bersikap realistis atas kenyataan bahwa ayah kekasihku mengharapkan menantu seorang PNS dan di sisi lain juga memenuhi keinginan ayah kandungku.
Baiklah! Semoga apa yang kupilih telah menjadi jalan yang baik. Kuyakinkan diri ini setelah puas mengingat-ingat kejadian yang telah kulalui itu. Kini sepasang bola mataku menatap sebuah angka yang tertera di sudut kanan layar laptop, di sana angka tersebut sedang berjalan mundur dengan pasti….
Bismillah….
Klik…!
Posting Komentar untuk "Pe-En-Es | Cerpen Ilyas Ibrahim Husain"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar