Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur….
Setengah jam lalu Ruminah memang masih melihat ayahnya berbincang dengan seorang tamu laki-laki yang menurutnya cukup aneh, suaranya agak berat, sepatunya besar, kepalanya botak, dan bahasa Indonesianya sangat baku. Ayah Ruminah memang sering berdiskusi dengan tamu-tamunya tentang puisi. Ia bisa memaklumi kalau teman ayahnya hampir semua aneh, sebab ayahnya penyair, suka berteman dengan yang aneh-aneh. Misalnya, ada teman ayahnya yang suka berbicara dengan celana, Ruminah lupa namanya. Tetapi Ruminah tidak pernah merasa ayahnya aneh, atau mungkin saja ia menolak logika nyata itu, bahwa sebenarnya sang ayah itu juga aneh, bahkan mungkin yang paling aneh, hanya saja Ruminah enggan untuk mengakuinya.
Koleksi buku puisi ayahnya sangat banyak, ada perpustakaan kecil yang terletak di dekat halaman belakang. Namun Ruminah jarang sekali menengoknya, sebab ia juga tak begitu tertarik dengan puisi, ia mengunjungi perpustakaan itu hanya ketika dipanggil untuk membantu membersihkan dan merapikan buku-buku yang berserakan. Ayahnya memang begitu: kalau sudah kumat—istilah “kumat” ini datang dari ibunya—maka sang ayah akan berendam berjam-jam di perpustakaan itu, mengenakan kacamata, lantas membaca seperti melahap segala-galanya. Ruminah terkadang membaca beberapa judul buku yang dirapikannya: Hujan Bulan Juni, Menjadi Penyair Lagi, Dongeng Anjing Api, Jantung Lebah Ratu, Sejarah Lari Tergesa, Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing….
Karena membaca judul-judulnya saja sudah aneh, maka Ruminah tak pernah membuka barang selembar isi dari buku-buku itu, meski ia tahu bahwa ayahnya sangat berharap ia membukanya barang sesaat.
Namun rasa tak-penasaran Ruminah bobol juga ketika melihat sebuah buku puisi tergeletak di atas meja, sementara sang ayah sudah pergi dengan tamunya, mungkin ke tepi danau, mencari inspirasi, mungkin sudah menyatu dengan hujan.
Ruminah lantas iseng membuka salah satu halaman buku puisi itu, dan menemukan sebuah puisi berjudul “Di Halaman Belakang”, dan matanya terantuk pada kalimat “Tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur.”
Ia berhenti di situ, dahinya mengernyit. “Apa benar?” gumamnya. Sejenak ia merenung. “Kalau begitu kenapa tidak ada yang mau berjalan mundur, ya?”
Entah mengapa, Ruminah mencerna kalimat itu begitu cepatnya. Ia mulai berpikir, matanya melihat benda-benda di ruang tamu: meja, sofa, guci, kaca jendela, nyamuk, lalat, semut, keramik, lampu, bayangan tubuhnya.
Ruminah hendak menciptakan tanda-tanda. Ia melihat segala sesuatu, berharap, barangkali ada yang berjalan mundur di rumah ini.
Ya. Barangkali, ada.
“NAH, pasti ayah belum membaca kalimat di puisi itu. Ayah ‘kan tidak berjalan mundur,” pikir Ruminah di malam harinya, ketika ia tak bisa tidur akibat kalimat itu. Tiba-tiba ia ingin sekali menunjukkan halaman buku puisi yang masih diingatnya itu kepada sang ayah, tetapi ayah dan ibunya sedang bertandang ke rumah tetangga, barangkali ada keperluan. Lagipula, entah di mana buku itu sekarang: baru saja ia ke ruang tamu, tetapi meja telah kosong, sang ayah pasti sudah merapikannya. Pasti akan susah sekali buku itu dicari di perpustakaan. Ia jadi bingung, lalu kembali ke kamar.
Sekarang Ruminah benar-benar yakin dan percaya dengan kalimat tersebut. Bahwa tak ada yang akan kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur. Ruminah mengingat-ingat, memangnya apa yang sudah ia tinggalkan selama ini?
Untuk mengetahuinya, Ruminah mulai belajar untuk berjalan mundur. Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Ia tersenyum-senyum sendiri. Di percobaan pertama, ia mencoba melangkah mundur dari jendela menuju pintu kamar. Ruminah bergerak perlahan-lahan. Agak sulit ternyata kalau menghadap ke depan dan melangkah ke belakang. Namun nyatanya ia berhasil. Ruminah berjalan mundur tanpa gangguan, hanya tangannya yang meraba-raba ke belakang, takut menabrak sesuatu, ia menjadi lebih hati-hati, sampai akhirnya tangannya menyentuh daun pintu.
Ruminah lega. Ia bisa berjalan mundur meski hanya empat meter, tetapi ia benar-benar melihat apa yang ada di dalam kamarnya, di sekelilingnya, dan segala sesuatu menjauh perlahan-lahan.
“Kalau berjalan maju, aku meninggalkan sesuatu, tetapi kalau berjalan mundur, aku tidak meninggalkan sesuatu, justru aku yang ditinggalkan.” Ia memulai kesimpulan perdananya.
Karena masih penasaran, Ruminah mencoba berjalan mundur di tempat yang lebih jauh, kali ini dari kamarnya menuju pintu depan. Ia keluar kamar. Sejenak ia melihat jalan yang tidak lurus, meja kaca, lemari dan beberapa vas bunga, dan ia harus melakukan satu belokan.
Ruminah mulai berbalik, menghadap pintu kamar, dan mulai berjalan mundur. Kebetulan juga suasana rumah sedang sepi. Ia tak perlu was-was kalau-kalau nanti dibilang gila.
Ruminah bergerak. Langkah pertamanya berhasil, dan ia baru sadar, satu langkah saja berjalan mundur, dadanya berdegup kencang, takut menabrak sesuatu.
“Jadi, kalau berjalan mundur, kita selalu waspada.” Gumam Ruminah. Ia senang, ia senang karena menemukan hal baru, benar-benar baru meski sangat sepele. Tetapi setelah beberapa langkah, badannya menyenggol sesuatu. Ia terkejut. Sebuah vas bunga! Ruminah cepat-cepat menoleh. Ternyata tidak sampai jatuh, hanya terguling di tepi lemari. Ia lantas mendirikannya kembali, dan berbalik, melanjutkan langkah mundurnya.
Beberapa puluh detik kemudian Ruminah sudah tiba di pintu depan. Ia lega, meski kali ini agak lama dan tidak begitu mulus. Tetapi baru kali ini ia berjalan mundur. Hal sederhana yang sebelumnya tak sempat ia pikirkan. Ruminah begitu girang, ia melompat-lompat beberapa kali, tertawa sendiri, lantas bergegas masuk kamar, menutup pintu, melompat ke kasur, dan tidur.
APA yang ada di pikiran Ruminah pun akhirnya terbawa ke dalam mimpi. Dan ternyata ia mengalami mimpi yang ajaib.
Dalam mimpinya, Ruminah melihat sebuah kota, di mana semua manusia berjalan mundur; bahkan tak hanya manusia, semua kendaraan juga berjalan mundur: mobil, sepeda motor, becak, gerobak sampah, bus kota, mikrolet, truk, kereta api, hingga pesawat di langit, semuanya mundur. Namun anehnya, tak satupun dari kendaraan itu bertabrakan. Seakan-akan ada mesin otomatis yang mengatur segalanya. Orang-orang pun juga tak saling membentur, mereka berjalan begitu pelan, begitu tenang. Setiap kali hendak berbelok, mereka berhenti, seperti menunggu sesuatu.
“Tidak, tidak,” gumam Ruminah. “Mereka tidak bertabrakan karena mereka saling berhati-hati.”
Ruminah mulai mencari pembenaran atas apa yang dilihatnya. Ia juga melihat ke arah matahari, yang jangan-jangan juga berjalan mundur!
“Aduh. Apakah hari-hari juga ikut mundur? Apakah waktu juga ikut mundur? Apakah semuanya takut akan meninggalkan sesuatu?” pikir Ruminah. Tiba-tiba saja naluri kepenyairan mulai tumbuh dalam dirinya, tentu saja Ruminah tak menyadarinya. Ia mulai mempertanyakan hal-hal yang mendasar: apakah orang-orang pernah mengamati sendiri jejak kaki yang ditinggalkannya? Apakah orang-orang melihat benda-benda apa yang meninggalkannya? Apakah orang-orang sudah tidak lagi rakus untuk melihat apa yang jauh di depannya, melainkan sibuk untuk melihat apa yang justru ditinggalkannya?
“Dengan berjalan mundur, seseorang bisa melihat jejak kakinya sendiri, seseorang bisa melihat seluruh benda menjauhinya, namun tak satu pun yang luput dari pandangan.”
Tetapi dalam mimpinya itu ia heran, tak ada seorang pun yang dikenalnya, semua adalah orang-orang asing, kotanya pun asing.
“Ini bukan Purworejo,” batinnya. Namun hal itu tak mengurangi ketakjubannya, ia mulai menelusuri kota, mencari barangkali ada yang dikenalnya. Dan ia semakin heran.
“Seharusnya mereka tetap bertabrakan, setidaknya satu atau dua kali. Aku saja menabrak vas bunga sewaktu berjalan mundur dari kamar ke pintu depan. Orang yang berjalan maju saja masih sering bertabrakan, apalagi kereta api kalau lewat perlintasan yang tidak ada palang pintunya, suka menabrak mobil sembarangan.”
PAGI harinya, Ruminah bangkit dan melompat ke depan cermin. Setelah merapikan rambutnya yang kusut, ia segera melangkah ke pintu, membukanya. Dan ia terkejut.
Ruminah melihat ayah dan ibunya berjalan mundur. Ia menoleh ke kiri, kucing Persia peliharaannya juga ikut mundur, dan ia pun semakin heran ketika melihat ikan-ikan di akuarium juga berenang mundur dengan ekor warna-warni yang senantiasa bergerak menciptakan riak air.
Apa aku masih dalam mimpi, gumamnya. Ia segera menggigit bibirnya sendiri untuk membuktikan bahwa ini bukan mimpi, ia juga mencubit pergelangan tangannnya beberapa kali, sampai akhirnya lari ke kamar mandi, mengguyur kepalanya dengan air.
Bukan mimpi.
“Ada apa, Ruminah?”
Terdengar suara ayahnya dari arah meja makan. Ruminah segera meraih handuk, ia merasakan semuanya, gigitan di bibir, cubitan, dan guyuran air. Tetapi ia masih tidak percaya. Ia berhambur menuju ayahnya, tentu saja ia berlari maju.
“Ayah. Apa ini masih mimpi?” tanya Ruminah dengan sedikit terbata-bata.
“Hah? Mimpi?”
“Ya. Apa ayah sudah baca satu kalimat di buku puisi yang tertinggal di meja kemarin?”
“Buku puisi?”
“Betul. Buku puisi Afrizal Malna. Kenapa sekarang ayah berjalan mundur? Apa ayah sudah membaca kalimat ‘tak ada yang kita tinggalkan kalau kita berjalan mundur’? Apakah ayah takut meninggalkan sesuatu?”
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu, justru ayahnya yang tak paham. Sejak kemarin lelaki itu memang sudah heran, mengapa anak gadisnya tiba-tiba berjalan maju, ke depan. Padahal semua makhluk yang bisa bergerak di dunia ini, di atas bumi ini, termasuk waktu dan hari-hari, sejak dahulu jelas berjalan mundur.
“Sudahlah, kamu ini aneh-aneh saja. Ayah mau berangkat kerja.” Lelaki itu beranjak dari meja makan, berjalan mundur ke pintu depan, mengambil sepatu.
“Tapi, Yah. Ini pasti gara-gara….”
Ruminah berlari mengejar ayahnya, tetapi belum selesai ia bicara, gadis itu terkejut bukan kepalang. Jantungnya hampir saja lepas melihat apa yang ada di hadapannya.
Kali ini, sang ayah memakai sepatu di atas kepalanya. (*)
Posting Komentar untuk "Ketika Semua Berjalan Mundur | Cerpen Sungging Raga"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar