Remy Sylado dan Contoh Puisinya - Remy Sylado yang dilahirkan di Makasar, 12 Juni 1945 ini adalah seorang seniman dan sastrawan Indonesia yang serba bisa (multi talent). Remy dapat menghasilkan berbagai karya seni dalam berbagai bidang seperti seni drama lewat pertunjukan teaternya, seni sastra lewat novel, cerpen, puisi, dan karya skenario.
Salah satu kehebatan Remy Sylado dibanding dengan para penyair/sastrawan lainnya, yakni dalam karya sastranya beliau dapat menghidupkan kata-kata Arkai, dengan menciptakan kata-kata baru, atau memberdayakan kata-kata lama yang selama ini tidak pernah dipakai. Resikonya bagi para pembaca kadang-kadang tidak segera menangkap maksud dari pemakaian istilah kata yang digunakan beliau. Bahkan penggunaan kata istilah yang ada dalam karya tulis beliau belum tentu ada di kamus bahasa Indonesia, sebab beliau menggunakan istilah kata dari beragam bahasa, seperti Bahasa Sansekerta, Jawa, Sunda, Manado, Betawi, Ambon, dan beberapa bahasa asing lainnya.
Tugas seorang penulis sastra bukanlah sekadar membuat cerita, melainkan membuat dan menghadirkan gagasan pemikirannya. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah karya sastra, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa riset, novel tersebut cenderung akan kering. Salah satu novelnya yang terkenal dan sempat difilmkan adalah Ca-bau-kan (Hanya Sebuah Dosa).
Remy sejak duduk di bangku sekolah dasar sudah berprestasi di bidang seni. Saat duduk di sekolah dasar (SD), juara lomba seni lukis tingkat SD se-Semarang pernah disandangnya. Kecintaannya kepada seni lukis berlanjut hingga perguruan tinggi. Selepas menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas (SMA), pria yang bernama asli Japi Panda Abdiel Tambayong ini kemudian mendaftar di Akademi Kesenian Surakarta Jurusan Seni Rupa untuk memperdalam bakatnya di seni lukis. Di dunia sastra dan pertunjukan, pendiri kelompok teater 23761 ini sangat terampil, baik sebagai pemain drama maupun sebagai penulis cerita.
Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Dibalik kegiatannya dibidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Salah satu kehebatan Remy Sylado dibanding dengan para penyair/sastrawan lainnya, yakni dalam karya sastranya beliau dapat menghidupkan kata-kata Arkai, dengan menciptakan kata-kata baru, atau memberdayakan kata-kata lama yang selama ini tidak pernah dipakai. Resikonya bagi para pembaca kadang-kadang tidak segera menangkap maksud dari pemakaian istilah kata yang digunakan beliau. Bahkan penggunaan kata istilah yang ada dalam karya tulis beliau belum tentu ada di kamus bahasa Indonesia, sebab beliau menggunakan istilah kata dari beragam bahasa, seperti Bahasa Sansekerta, Jawa, Sunda, Manado, Betawi, Ambon, dan beberapa bahasa asing lainnya.
Kepenulisan mantan Ketua Pusat Kebudayaan Bandung ini semakin terasah ketika dia berkarier sebagai wartawan. Pada 1965, Remy pernah menjadi wartawan di majalah Tempo di Semarang. Setelah itu, ia kemudian menjadi redaktur di majalah Aktuil Bandung dari 1972 sampai 1975. Di sana, dia sekaligus menjadi redaktur pertama rubrik “Puisi Mbeling”. Baginya, sastra harus bisa memberikan penghiburan dan pengharapan kepada pembacanya. Karya sastra tersebut dapat dibuang ke tempat sampah apabila tidak memuat keduanya.
Tugas seorang penulis sastra bukanlah sekadar membuat cerita, melainkan membuat dan menghadirkan gagasan pemikirannya. Baginya, pengarang tidak dapat menghadirkan gagasan pemikiran secara asal-asalan kepada pembaca. Untuk menghasilkan sebuah karya sastra, perlu dilakukan riset terlebih dahulu. Alasannya, jika ditulis tanpa riset, novel tersebut cenderung akan kering. Salah satu novelnya yang terkenal dan sempat difilmkan adalah Ca-bau-kan (Hanya Sebuah Dosa).
Remy juga telah menghasilkan beberapa novel yang lain, seperti Kembang Jepun, Parijs van Java: Darah, Keringat, Airmata, Kerudung Merah Kirmizi, Menunggu Matahari Melbourne, dan Sam Po Kong. Selain itu, Remy menulis drama, seperti Siau Ling dan 9 Oktober 1740. Keduanya memiliki latar belakang sejarah yang kuat. Teks drama 9 Oktober 1740 bercerita tentang kisah percintaan antara Hein de Wit dan Hien Nio yang di dalamnya terdapat intrik politik, pengkhianatan, dan sentimen kebangsaan.
Oke Sob,untuk lebih mengenal karya Remy Sylado dalam bentuk puisi, berikut Admin sajikan 10 Contoh Puisi Remy Sylado. Silahkan disimak ya..
Oke Sob,untuk lebih mengenal karya Remy Sylado dalam bentuk puisi, berikut Admin sajikan 10 Contoh Puisi Remy Sylado. Silahkan disimak ya..
Belajar Menghargai Hak Asasi Kawan
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika
laki putra
ya perempuan putri
jika
laki kawan
ya perempuan kawin
jika
kawan kawin
ya jangan ngintip.
Pahlawan yang Sok Pahlawan
yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)
yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
gambar pejuang dengan pamrih
Individualisme dalam Kolektivisme
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau Aku kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
Presiden pertama
bermain mata dengan komunis
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis
Presiden ketiga
bermain mata dengan presiden kedua
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata
Tiada Air Mata Bagi Seorang Bedebah
Ia membangun rumah di atas harkat impian
bertiang dendam berjajar-jajar
berlantai harap bertingkat-tingkat
berjendela rindu bergandeng-gandeng
padahal di atasnya ia cuma butuh satu atap
yang menutup rahasia dari kuasa satu matahari
menembus gudang penyimpan segala rombeng nestapa
Asal hatinya menangisi esok yang bagian kemarinnya
muncul sebuah telunjuk menyuruhnya lihat ke puri
yang terus berdiri walau dipukul gelombang
di laut menuju tanah tepi bekas Batavia
“Maukah kau mengulangi tinggal di dalamnya
tempat orang-orang memelihara geram dan kesumat?”
suara perempuan–apakah Pertiwi–lahirkan gairah
Ia berhenti berharap menemukan perhentian
Di itu puri tinggal merpati berekor-ekor
bersayap emas berparuh emas berkaki emas
terbang sampai di lingkar bimasakti
tapi senang diam di etalase
Ia tangkap merpati-merpati
dan berubah jadi satu merpati
Mati mimpinya membangun rumah di atas harkat
dan telunjuk yang pernah menyuruh memilih
kini menuding-nuding jidat dan matanya
“Upah dosa adalah maut,” suara itu
Ia menjerit meraung gaung berkilo-kilo siapa peduli
Tiada air mata bagi seorang bocah bedebah–hatta!
Berdiri Seorang Ibu
sakit
adalah rasa
aku tidak pernah mengerti
mengapa ada air di kelopak mata
kalau kau sakit
dan rambutmu putih sudah
apakah kau seperti aku juga
membayangkan ajal sebagai karunia
tanyakan sakit
pada seorang perempuan
ketika ia memberi buah zaman
atas ajaran nenek moyang peri cinta
berteriak waktu sakit
supaya jiwa terkuras
dari ketertekanan
dan ketakutan
hidup
menjadi indah
setelah sakit pergi sementara
dan di depan mata berdiri seorang ibu.
Permata
Seperti permata yang digosok dari cuma batu
kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
dari keringat duka bercampur luh
menumpahi persediaan rasa sabar
Warna kulit dan tambo silsilah, memang
gampang mempermainkan krama nasib
dan kita senang mengingat-ingat borok
itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
hingga kita dikirakan keledai selama berabad
Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
terhibur kita dengan melihat ke bawah
Pandang semua masalah selaku pelukis
menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
dan lukis dengan visi penyerahan
sebab apa untung dibius rasa bersaing
toh semua kematian cadangnya ketelanjangan
Permata kita yang asli mesti kita bilang
ada di matinya kemauan-kemauan darah.
Nasihat Ibu
Nasihat ibu tidak selalu diterima anak
namun selalu indah mekar dalam merenung
ibu tidak memberi batu buat anak yang minta roti
Para satria sejati tidak berselisih dengan musuh
tapi dengan kesempatan yang sembunyi dalam waktu
Seekor domba batu terpeleset di ngarai
mengerang mengunggu angon membawa tongkat
Yang membutuhkan telinga di dalam hati
menyaring antara kenyataan dan pernyataan
Geram di saat hilang akal membuat kepala berasap
sebagai puntung yang terpaksa padam oleh ludah
Ibu mengakhiri lagu ninabobo buat anak
supaya anaknya terus melek tidak tidur
Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.
jika
laki mahasiswa
ya perempuan mahasiswi
jika
laki saudara
ya perempuan saudari
jika
laki pemuda
ya perempuan pemudi
jika
laki putra
ya perempuan putri
jika
laki kawan
ya perempuan kawin
jika
kawan kawin
ya jangan ngintip.
Pahlawan yang Sok Pahlawan
yang berjuang dulu
dan mati dalam perang
memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)
yang berjuang dulu
tapi hidup senang sekarang
ingin juga disebut pahlawan
gambar pejuang dengan pamrih
karena
kita orang indonesia
suka
menyingkat kata wr.wb.
maka
rahmat dan berkah ilahi
pun
menjadi singkat
dan tidak utuh buat kita.
Individualisme dalam Kolektivisme
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau Aku kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
kau kau kau kau kau kau kau
Presiden pertama
bermain mata dengan komunis
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis
Presiden ketiga
bermain mata dengan presiden kedua
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata
Tiada Air Mata Bagi Seorang Bedebah
Ia membangun rumah di atas harkat impian
bertiang dendam berjajar-jajar
berlantai harap bertingkat-tingkat
berjendela rindu bergandeng-gandeng
padahal di atasnya ia cuma butuh satu atap
yang menutup rahasia dari kuasa satu matahari
menembus gudang penyimpan segala rombeng nestapa
Asal hatinya menangisi esok yang bagian kemarinnya
muncul sebuah telunjuk menyuruhnya lihat ke puri
yang terus berdiri walau dipukul gelombang
di laut menuju tanah tepi bekas Batavia
“Maukah kau mengulangi tinggal di dalamnya
tempat orang-orang memelihara geram dan kesumat?”
suara perempuan–apakah Pertiwi–lahirkan gairah
Ia berhenti berharap menemukan perhentian
Di itu puri tinggal merpati berekor-ekor
bersayap emas berparuh emas berkaki emas
terbang sampai di lingkar bimasakti
tapi senang diam di etalase
Ia tangkap merpati-merpati
dan berubah jadi satu merpati
Mati mimpinya membangun rumah di atas harkat
dan telunjuk yang pernah menyuruh memilih
kini menuding-nuding jidat dan matanya
“Upah dosa adalah maut,” suara itu
Ia menjerit meraung gaung berkilo-kilo siapa peduli
Tiada air mata bagi seorang bocah bedebah–hatta!
Berdiri Seorang Ibu
sakit
adalah rasa
aku tidak pernah mengerti
mengapa ada air di kelopak mata
kalau kau sakit
dan rambutmu putih sudah
apakah kau seperti aku juga
membayangkan ajal sebagai karunia
tanyakan sakit
pada seorang perempuan
ketika ia memberi buah zaman
atas ajaran nenek moyang peri cinta
berteriak waktu sakit
supaya jiwa terkuras
dari ketertekanan
dan ketakutan
hidup
menjadi indah
setelah sakit pergi sementara
dan di depan mata berdiri seorang ibu.
Permata
Seperti permata yang digosok dari cuma batu
kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
dari keringat duka bercampur luh
menumpahi persediaan rasa sabar
Warna kulit dan tambo silsilah, memang
gampang mempermainkan krama nasib
dan kita senang mengingat-ingat borok
itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
hingga kita dikirakan keledai selama berabad
Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
terhibur kita dengan melihat ke bawah
Pandang semua masalah selaku pelukis
menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
dan lukis dengan visi penyerahan
sebab apa untung dibius rasa bersaing
toh semua kematian cadangnya ketelanjangan
Permata kita yang asli mesti kita bilang
ada di matinya kemauan-kemauan darah.
Nasihat Ibu
Nasihat ibu tidak selalu diterima anak
namun selalu indah mekar dalam merenung
ibu tidak memberi batu buat anak yang minta roti
Para satria sejati tidak berselisih dengan musuh
tapi dengan kesempatan yang sembunyi dalam waktu
Seekor domba batu terpeleset di ngarai
mengerang mengunggu angon membawa tongkat
Yang membutuhkan telinga di dalam hati
menyaring antara kenyataan dan pernyataan
Geram di saat hilang akal membuat kepala berasap
sebagai puntung yang terpaksa padam oleh ludah
Ibu mengakhiri lagu ninabobo buat anak
supaya anaknya terus melek tidak tidur
Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.
Posting Komentar untuk "10 Contoh Puisi Remy Sylado"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar