Oleh: Rifan Nazhif
Entahlah! Terkadang orang tak memedulikan arti namanya sendiri. Di lain pihak, ada yang merasa namanya kurang keren. Tapi bagi lelaki itu, nama yang dia sandang terasa berat.
Moral. Itulah namanya. Dari kecil hingga dewasa, memang dia acuh tak acuh dengan nama itu. Setelah menikah dan memiliki dua anak, kemudian berangkat haji, barulah dia merasa-rasa ada yang tak beres dengan nama itu. Apakah dia memang sudah sangat bermoral sehingga layak dipanggil Moral? Apakah dia memang sudah menjadi hamba yang takwa sehingga berhak dipanggil haji?
Sungguh dia tak ingin dipanggil Moral, apalagi diembel-embeli haji. Karena itu dia sengaja menambahkan namanya dengan Din. Haji Moraldin. Demikian kiranya. Din itu adalah kependekan dari Komarudin, nama bapaknya.
“Panggil saja aku Pak Din!” Begitulah dia memafhumkan kepada orang-orang yang dekat dengannya. Hanya saja, orang-orang terkadang keceplosan juga. Kerap dia masih dipanggil Pak Haji. Atau, Pak Haji Moral. Berulangkali dia kemudian meralat, “Pak Din!”
Mungkin karena diingatkan terus, orang-orang kemudian memanggil Moral dengan sebutan Pak Din. Kendati ketika sedang tak bersamanya, mereka tetap menyebutnya Pak Haji atau Pak Haji Moral.
Bagaimanapun, di kampung itu, orang sangat menghormati dan memercayainya. Tak peduli dia hanya bekerja sebagai tukang jagal sapi di pasar. Tak peduli badannya lebih pendek di bawah ukuran lelaki dewasa di kampung itu. Tak peduli kulitnya hitam, hidungnya sedang dan uban mulai mengisi kepalanya.
Contohnya saja, kalau sedang shalat fardhu berjamaah di masjid, jalannya selalu dilempangkan ke sajadah imam. Padahal di antara jamaah ada yang lebih tinggi darinya. Lebih tinggi masalah ilmu agama. Lebih tinggi masalah fasih membaca ayat-ayat shalat. Lebih tinggi masalah berapa kali berangkat ibadah haji ke tanah Mekkah. Moral menjadi tak enak hati. Begitupun dia tak dapat menolak.
Belum lagi perkara kas masjid. Moral malahan ditunjuk menjadi bendahara. Padahal dia tahu ada si Kholid yang tamatan SMEA (sekarang SMK). Ada Mirdan yang sarjana muda ekonomi. Mursyid yang pernah bekerja di Bank.
“Kami percaya kepada Bapak!” Begitu kata jamaah.
“Tapi saya hanya seorang penjagal sapi. Saya hanya tahu daging yang empuk dan sehat dan segar. Saya agak sungkan memegang uang. Bahayanya besar. Salah sedikit, khilaf sedikit, bisa masuk neraka.”
Orang-orang tak mau mendengar. Moral ternyata harus takluk dan melaksanakan keinginan jamaah. Terbukti, dia memang fasih menjadi imam shalat. Terbukti, dia memang amanah menjaga kas masjid. Apalagi? Hingga orang-orang sering bertanya ini-itu, yang sebenarnya di luar jangkauan akalnya. Orang-orang suka meminta pendapatnya untuk hal-hal yang pelik. Anehnya lagi, Moral tak menyangka apa yang dia ucapkan selalu menyelesaikan masalah orang-orang itu.
“Aku tak tahan lagi, Bu. Orang-orang selalu menghormatiku. Orang-orang selalu menganggapku hebat, alim. Padahal aku hanya tukang jagal sapi. Aku hanya salah diberi nama Moral. Coba, apakah semua yang kulakukan telah bermoral?” keluhnya suatu hari kepada Maisaroh, istrinya.
“Lho, Bapak ini lucu! Bukankah enak bila dihormati orang? Dianggap hebat dan alim?”
“Aku belum siap menerimanya, Bu. Aku belum apa-apanya, baik soal ilmu agama, ilmu-ilmu lain, juga masalah ibadah. Takutnya, aku besar kepala. Takutnya aku ditunjuk mengemban amanah yang lebih berat. Padahal, aku belum tentu mampu. Masa’ tukang jagal sapi disuruh ngurusi kas masjid!”
Maisaroh hanya tersenyum. Dia kembali disibukkan menampih beras dan memberi makan ayam-ayam dengan menir.
*****
Moral kemudian seakaan ditodong senjata laras panjang. Saat bincang-bincang di pelataran masjid, usai shalat isya berjamaah, Haji Samijan berkata, “Di kampung ini akan diadakan pemilihan kepala kampung. Jadi, setelah rembukan dengan orang-orang di masjid ini, kami berniat menyalonkan Pak Haji Mor, oh…ya Pak Din.”
“Mencalonkan saya menjadi kepala kampung, begitu?” Mata Moral melotot.
“Iya!”
Moral berkeringat dingin. “Apa pantas?”
“Kami kira sangat pantas, Pak,” sambut yang lain.
Moral langsung meriang. Dia pulang dan meminta diselimuti Maisaroh. Ini bukan mencontoh saat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu dari Allah SWT lewat malaikat Jibril. Bukan! Moral sebenar meriang. Moral sangat ketakutan. Coba, kalau nanti diangkat menjadi kepala kampung, dia salah menggunakan fasilitas kampung untuk kebutuhan pribadi. Menggunakan kas kampung untuk kebutuhan dapur. Aduh, bisa berabe! Dosanya turun-temurun.
Itulah, saat Haji Samijan mengantarkan selembar kertas tanda kesediaan menjadi salah seorang calon kepala kampung, Moral menolak mentah-mentah menandatanganinya. Bahkan ketika Maisaroh dan kedua anaknya menyodok-nyodok dari belakang, Moral mendelik, panas hati. Dia minggat ke dalam rumah. Dia tak perduli Haji Samijan menganga kecewa. Maisaroh terpaksa meminta maaf berkali-kali. Haji Samijan kemudian hanya menggeleng-geleng geli. Dasar Haji Moral, tingkahnya lain dari yang lain. Rejeki kok sering kali ditolak!
*****
Umbul-umbul telah ramai dipasang di sepanjang jalan. Cuaca cerah. Orang-orang ramai. Pedagang musiman muncul, dirubung tua-muda. Anak-anak betah berlama-lama mengepung beberapa pedagang mainan. Nah, apalagi? Semua wajah juga cerah. Sumringah.
Lapangan kampung telah pula dipasang tarup. Beberapa kursi panjang, diselang-seling kursi plastik, pun disesaki orang. Di barisan depan yang menghadap ke panggung, dijejerkan sofa merah muda kepunyaan Haji Samijan. Beberapa orang terhormat telah duduk di situ.
“Ayo, Pak! Buruan!” Istrinya manyun. Moral sengaja mematut-matut peci di depan cermin. Moral enggan menghadiri acara itu. Dia lebih tertarik pergi ke pasar menjagal sapi. Tentu pelanggannya ada yang kecewa karena Moral hari ini tak berjualan.
“Iya! Kenapa buru-buru, Bu! Siapa saja yang nanti terpilih menjadi kepala kampung sini, aku tak peduli.”
“Ayolah! Nanti tak enak kalau acara pemilihan sudah dimulai,” gerutu istrinya.
Sambil terpincang-pincang karena sepatu sebelah kanan belum klop masuk ke telapak kakinya, Moral mengejar istrinya. Heran, acara pemilihan kepala kampung kok dianggap hebat begini. Coba, kalau ada pengajian, istri banyak alasanlah, hingga kerap tiba saat pengajian sudah dimulai. Gerutuan memenuhi kepala Moral.
“Nah, Pak Haji Moral!” Midan tersenyum cerah menyambut Moral di gerbang mengarah ke tarup. Moral pura-pura cengengesan. Padahal dia ingin menegur Midan karena salah memanggil namanya.
“Nah, Pak Din. Duduk di depan saja!” Haji Samijan melambai dari podium. Moral terpacak di belakang. Dia memilih duduk di buncit, di bangku panjang. Maisaroh menarik tangan Moral. Yang ditarik balas menarik. Tapi akhirnya Moral melangkah juga. Dia malu kepada orang-orang yang melihat tingkah mereka.
Moral duduk di sofa merah. Dia seperti cacing kepanasan. Dia merasa tak bebas. Apalagi dia harus duduk sejajar dengan pejabat polisi, orang kelurahan dan beberapa lainnya yang berpangkat. Semoga saja acara ini lekas selesai. Moral berandai-andai di samping Maisaroh yang tersenyum ramah kepada orang-orang di sebelahnya.
Ada lima gambar di lima podium di panggung. Gambar nanas, duku, pisang, padi dan jagung. Setelah acara pembukaan dan beberapa kali kata sambutan membosankan, tibalah pengumuman calon kepala kampung.
Moral berniat membuka kancing atas baju safarinya. Tapi Maisaroh lekas menyikut. Mata Maisaroh membola.
“Untuk gambar nanas, adalah milik Pak Sulkhan!” kata Haji Samijan. Orang-orang bertepuk riuh. Pak Sulkhan naik ke panggung dan berdiri di belakang podium bergambar nanas.
“Gambar duku, Pak Lubai.” Semua itu orang-orang hebat. Mereka memang wajar dicalonkan menjadi kepala kampung. “Gambar pisang, Pak Rofii. Padi, Bu Salmah. Dan pepaya… Pak Haji Moral!” Tak tanggung-tanggung Haji Samijan membuat Moral tersentak. Dia dicalonkan menjadi kepala kampung? Siapa yang memberi izin? Siapa yang menandatangani? Ada yang tak beres! Moral melihat Maisaroh cengengesan. Tahulah dia dari mana asal “asap” itu.
Hati Moral ngedumel. Dia tak hendak naik ke podium. Tapi melihat orang ramai, juga pejabat di barisan paling depan itu, dia terpaksa mengalah. Dia tak ingin malu. Tinggal satu doanya, semoga tak terpilih menjadi kepala kampung.
Puas dengan acara coblos-mencoblos, diumumkanlah siapa pemenang pemilu kepala kampung. Lambat pula dirasakan Moral waktu berjalan. Dia melihat Pak Lubai dan semua saingannya. Dia tak enak hati. Mereka semua sahabat-sahabatnya. Moral seringkali mendapat pertolongan dari mereka, baik berupa material maupun spiritual.
“Pemenangnya, kepala kampung kita adalah Pak Haji Moral…din!”
Seolah panggung rubuh dirasakan Moral. Dia ingin menolak mentah-mentah jabatan kepala kampung itu. Namun melihat antusias orang, dia hanya bisa bungkam di podium. Dia melihat saingan-saingannya. Dia semakin merasa tak enak hati.
“Kami percaya kepadamu, Pak Haji Moral!” kata Pak Lubai saat bersantap di rumah Haji Samijan. “Sebenarnya kami semua yang mencalon ini, ingin memilihmu juga. Tapi tentu tak elok calon kepala kampung hanya seorangan. Jadi, supaya ramai, kami berempat mencalonkan juga. Kami yakin Pak Haji Moral orang yang amanah.”
Moral tersenyum. Dalam hatinya kecut, apakah dia sanggup mengemban amanah itu? (*)
Posting Komentar untuk "Haji Moraldin | Cerpen Rifan Nazhif"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar