Ahmad Syubbanuddin Alwy dan Contoh Puisinya - Penyair Ahmad Syubbanuddin Alwy merupakan penyair yang dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, 26 Agustus 1962 dan tutup usia pada tanggal 2 November 2015 di usia 53 tahun. Kumpulan puisinya, Bentangan Sunyi, diluncurkan pada 1996. Selain itu, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, seperti Puisi Indonesia 1987, Titian Antar Bangsa (1988), Negeri Bayang-bayang (1996), Cermin Alam (1997).
Semasa hidup selain dikenal sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai esais, penggagas Koalisi Sastrawan Santri, peneliti di Center for Social Studies and Culture (CSSC). Masyarakat sastra mengenal beliau sebagai “Raja Penyair Cirebon” sekaligus sebagai penulis yang cerdas, tangkas, detail, lantang, dan berani terhadap persoalan apa saja, termasuk persoalan di luar sastra.
Kenangan Seperempat Abad Silam
jalan-jalan masih berdarah, lika-liku pohon
berkabut dalam risik gelisah, riuh pertempuran
menghambur hancur ke pelukanku semalaman, dan...
Aku terlunta memandang pematang tubuhku penuh ilalang
halilintar menggelepar, bayang-bayang kematian terbentang
juntai bunga api, bilur fajar pagi, dan kilau cahaya galaksi
merayakan kesepian panjang. Dan seperti tak pernah mengenalmu
senantiasa, kuciptakan kembali busur kiblat untuk mengungsi
dan puing-puing, juga retakan waktu yang berangkat tua
menyentuh ulu hatiku dengan sisa kenangan, seperempat abad silam:
alunan dzikir, samudera takbir, dan gemerincing gerimis muram
berpendaran dari sayatan hari-hariku menjadi rintihan puisi
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan masa kanak-kanak itu melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari,
doa-doa para sufi beterbangan meniti tangga-tangga dan pintu langit ampunanmu
rasi bintang-bintang menyisih dari pusaran lambung matahari
deru angin berhamburan membelah pecah imanku yang menyangga
tapi seperti Ibrahim, aku masih menemukan isyarat dan getar rahasia
wajah pualam rembulan, hamparan laut kelam, kemudian kesunyian
di kejauhan, seribu purnama menyepuh berhelai-helai airmataku
yang tergerai dan berdarah, mencium sajadah dan hulu tanah
menara-menara masjid menjulang, ayat-ayat suci bermekaran
di tengah kolam teratai yang bertasbih perih dalam rongga dadaku
seperti orang alim, kuterima gulungan lumpur dan gosong rawa-rawa
juga semenanjung karang, perahu para perusuh yang datang dari jauh
melewati metabolisme darah untuk menyalahkan serat api yang angkuh
kelak melumuri separoh kota menjadi kilang minyak, kuseduh dengan gembira
jaritan caci-maki, lengking gelak-tawa dan rangkaian panjang selongsong senjata
mengapakah perkampungan miskin yang papa kauhanguskan juga menjadi arang
dan menyekapku di tengah kepulauan negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
pesisir bendungan dengan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Semua berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan...
Cirebon, 1999-2000
Susub Landep
Urip ning kene, kaya kari sedepa
segara wis dadi comberan banyumata
sawah dirubung wereng geseng, mrenganga
sedalan-dalan papan reklame gawe nelangsa
lenga lantung, bensin lan solar nyumpeli dada
Apologia Sepasang Mata
1
Di bawah bentangan malam yang semakin memanjang
ke ujung dermaga, dari semenanjung kota-kota tua:
mungkin Batavia, atau barangkali teluk Surabaya
yang kini dipenuhi prasasti, bidadari, berhala, boneka
condominium, dan jangan lupa tahun yang gores
juga seorang pendekar renta yang gelisah memainkan orkes
masih bertahan dalam remang waktu, mengabadikan sunyi
Republik Bagong
Sawise telungpuluh taun urip kaya mati disembur banaspati
getih bari banyumata kang gerememeng umeb ning segara ati
ngatonaken dedhemit lawas: wong-wong duwur pencilakan
wot-wot kreteg rayat reyot digejog-gejog cemera, kaing-kaingan
jegoge mbobok srengenge lapis pitu, mecah terowongane mata
sewu raksasa kemaruk mbeseti sededeg-sepengadeg mahkota
dalan-dalan kobong, kabeh werna kelebet lembayung bolong-bolong
jagat kaya mabok, gedong pemerentahan magrong-magrong dibopong
Sawise urip telungpuluh taun kaya rungseb dicukuli suket alang-alang
sekujur awak growak ngowak-ngawik, bumi lindu, srengenge njomplang
awit segara kang bengkah dadi gili naga, sukma sewaya-waya kaya ara-ara
bocah-bocah enom tawuran duwur wuwungan, nyengget layar dermaga
wakil rayate pada sampyong, sempoyongan nyembur-nyembur ngelindur
beli kelingan purwadaksina, kekirig ndeleng awe-awe tangan batur sedulur
nggelosor ning sorog-sorog gedong pemerentahan, nggegulat kaya rerawat
maesi raine dhewek, dadi wewe-gombel lan merkayangan edan keparat
Ayo, aja wedi aja cilik ati ning lelembut kang kudu dikumbah sumur pitu
ayo, tirakat-tetapa nguleni pikiran, ngopeni batin lan aja klalen: nggosok untu!
Cherbon, 2001
Catatan Mawar
Mawar di tanganku
Seberapa indah kutanam di rumah-Mu
Mawar di hatiku
Seberapa wangi bila kuselipkan dijubah-Mu
Mawar di mulutku
Seberapa sedih bila kulukis di air mata-Mu
Mawar di tintaku
Seberapa tetes bila kualirkan di nama-Mu
Mawar di doaku
Adakah sampai di jarak-Mu?
Yogyakarta, 1986
Semasa hidup selain dikenal sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai esais, penggagas Koalisi Sastrawan Santri, peneliti di Center for Social Studies and Culture (CSSC). Masyarakat sastra mengenal beliau sebagai “Raja Penyair Cirebon” sekaligus sebagai penulis yang cerdas, tangkas, detail, lantang, dan berani terhadap persoalan apa saja, termasuk persoalan di luar sastra.
Oke Sob, untuk lebih mengetahui karya sastra penyair yang sering disingkat ASA ini, mari kita simak dan resapi makna-makna yang terkandung dalam 5 puisi Ahmad Subbanuddin Alwy dibawah ini.
Kenangan Seperempat Abad Silam
jalan-jalan masih berdarah, lika-liku pohon
berkabut dalam risik gelisah, riuh pertempuran
menghambur hancur ke pelukanku semalaman, dan...
Aku terlunta memandang pematang tubuhku penuh ilalang
halilintar menggelepar, bayang-bayang kematian terbentang
juntai bunga api, bilur fajar pagi, dan kilau cahaya galaksi
merayakan kesepian panjang. Dan seperti tak pernah mengenalmu
senantiasa, kuciptakan kembali busur kiblat untuk mengungsi
dan puing-puing, juga retakan waktu yang berangkat tua
menyentuh ulu hatiku dengan sisa kenangan, seperempat abad silam:
alunan dzikir, samudera takbir, dan gemerincing gerimis muram
berpendaran dari sayatan hari-hariku menjadi rintihan puisi
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan masa kanak-kanak itu melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari,
doa-doa para sufi beterbangan meniti tangga-tangga dan pintu langit ampunanmu
rasi bintang-bintang menyisih dari pusaran lambung matahari
deru angin berhamburan membelah pecah imanku yang menyangga
tapi seperti Ibrahim, aku masih menemukan isyarat dan getar rahasia
wajah pualam rembulan, hamparan laut kelam, kemudian kesunyian
di kejauhan, seribu purnama menyepuh berhelai-helai airmataku
yang tergerai dan berdarah, mencium sajadah dan hulu tanah
menara-menara masjid menjulang, ayat-ayat suci bermekaran
di tengah kolam teratai yang bertasbih perih dalam rongga dadaku
seperti orang alim, kuterima gulungan lumpur dan gosong rawa-rawa
juga semenanjung karang, perahu para perusuh yang datang dari jauh
melewati metabolisme darah untuk menyalahkan serat api yang angkuh
kelak melumuri separoh kota menjadi kilang minyak, kuseduh dengan gembira
jaritan caci-maki, lengking gelak-tawa dan rangkaian panjang selongsong senjata
mengapakah perkampungan miskin yang papa kauhanguskan juga menjadi arang
dan menyekapku di tengah kepulauan negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
pesisir bendungan dengan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Semua berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan...
Cirebon, 1999-2000
Susub Landep
Urip ning kene, kaya kari sedepa
segara wis dadi comberan banyumata
sawah dirubung wereng geseng, mrenganga
sedalan-dalan papan reklame gawe nelangsa
lenga lantung, bensin lan solar nyumpeli dada
Urip ning kene, kaya sejagat godhong kelor
awak mlarat-bantat, kari selembar celana kolor
mana-mene mentog, sikil mung bisa selonjor
srengenge gerumpung, ozone krowak umeb bocor
angin molak-malik, zaman wis sulaya lan kotor
awak mlarat-bantat, kari selembar celana kolor
mana-mene mentog, sikil mung bisa selonjor
srengenge gerumpung, ozone krowak umeb bocor
angin molak-malik, zaman wis sulaya lan kotor
Urip ning kene, kebebeng-peteng kaya ning jero bui
sing gedhong pemerentah, sira keranjingan dadi memedhi
bli rumangsa gawe sengsara, mledingi silit bari mungkur ati
rayat jejemplingan dianggep radio bodol, dijejeli kancing kemiti
usus-buntu kebek paku, weteng busung segunung kaya kebo mati
sing gedhong pemerentah, sira keranjingan dadi memedhi
bli rumangsa gawe sengsara, mledingi silit bari mungkur ati
rayat jejemplingan dianggep radio bodol, dijejeli kancing kemiti
usus-buntu kebek paku, weteng busung segunung kaya kebo mati
Ning kulon, wong-wong bli wirang dadi bunglon
ning wetan, wong-wong medheni kaya merkayangan
ning lor, wong-wong pada mringis gemuyu matae bolor
ning kidul, wong-wong krasak-krusuk ngeramped persis bedul
aja brisik, weru bli? Kabeh dadi susub landep: ngerampok negara!
Cherbon, 2005
ning wetan, wong-wong medheni kaya merkayangan
ning lor, wong-wong pada mringis gemuyu matae bolor
ning kidul, wong-wong krasak-krusuk ngeramped persis bedul
aja brisik, weru bli? Kabeh dadi susub landep: ngerampok negara!
Cherbon, 2005
Apologia Sepasang Mata
1
Di bawah bentangan malam yang semakin memanjang
ke ujung dermaga, dari semenanjung kota-kota tua:
mungkin Batavia, atau barangkali teluk Surabaya
yang kini dipenuhi prasasti, bidadari, berhala, boneka
condominium, dan jangan lupa tahun yang gores
juga seorang pendekar renta yang gelisah memainkan orkes
masih bertahan dalam remang waktu, mengabadikan sunyi
2
Tetapi, di tengah gerimis, pendar kegelapan dan percik luka
kita terlanjur gugup, memasuki kota-kota lain yang miskin :
mungkin Negeri Poci, atau gubuk-gubuk pesisir laut utara
yang berserakan di antara pohon api, amis ikan, rawa-rawa
ladang garam, dan yang menggetarkan perahu-perahu bertapa di atas kerontang dada nelayan, menghadap keheningan cuaca
serpihan hari-hari seperti seratus senja yang berayun letih
Tetapi, di tengah gerimis, pendar kegelapan dan percik luka
kita terlanjur gugup, memasuki kota-kota lain yang miskin :
mungkin Negeri Poci, atau gubuk-gubuk pesisir laut utara
yang berserakan di antara pohon api, amis ikan, rawa-rawa
ladang garam, dan yang menggetarkan perahu-perahu bertapa di atas kerontang dada nelayan, menghadap keheningan cuaca
serpihan hari-hari seperti seratus senja yang berayun letih
3
Dan, di bawah bentangan malam, lambaian perih gerimis pagi
kembali kita menemukan sisa-sisa kenangan kota revolusi:
mungkin sebuah metropolitan kecil, atau noktah serambi mekah
yang berjuntaian denngan retakan kraton, grafis candi, labirin
seperti arkeologi, ada yang ingin menceritakan kisah-kisah purba
kepadamu, yang dituliskan dan dilukiskan pada sepasang mata
Cirebon, 1996
Dan, di bawah bentangan malam, lambaian perih gerimis pagi
kembali kita menemukan sisa-sisa kenangan kota revolusi:
mungkin sebuah metropolitan kecil, atau noktah serambi mekah
yang berjuntaian denngan retakan kraton, grafis candi, labirin
seperti arkeologi, ada yang ingin menceritakan kisah-kisah purba
kepadamu, yang dituliskan dan dilukiskan pada sepasang mata
Cirebon, 1996
Republik Bagong
Sawise telungpuluh taun urip kaya mati disembur banaspati
getih bari banyumata kang gerememeng umeb ning segara ati
ngatonaken dedhemit lawas: wong-wong duwur pencilakan
wot-wot kreteg rayat reyot digejog-gejog cemera, kaing-kaingan
jegoge mbobok srengenge lapis pitu, mecah terowongane mata
sewu raksasa kemaruk mbeseti sededeg-sepengadeg mahkota
dalan-dalan kobong, kabeh werna kelebet lembayung bolong-bolong
jagat kaya mabok, gedong pemerentahan magrong-magrong dibopong
Hei, aja klalen aja kelawasen ira kabeh dadi lelembut wong kapiran
sing sejero sumur leng semut geni, suwara rayat bakal njerit ngelawan
sing sejero sumur leng semut geni, suwara rayat bakal njerit ngelawan
Urip wis beli puguh: sengkuni, petruk, cakil, dorna lan kumbakarna
pada dadi topeng kunyuk, kukuluruk nampeki pipi rayat kang ngresula
njejaluk bari nggegayang lading, sikile nyerimpung, tangane nggunting
ngeramped jerowan, njambak rambut, ndondomi cangkeme kang sumbing
naleni ati kang geseng-rumpeng diungkebi wangwa, bobad lan sakwasangka
cengkeromed lan lenggarangan, mbladak-mbaladak mbobol lawang negara
edan separan-paran waras sekejap metra, pengeling-eling kaya obor blarak
kabeh persis jaran lumping, muter-muter kaya kemidi, kaya nginum arak
pada dadi topeng kunyuk, kukuluruk nampeki pipi rayat kang ngresula
njejaluk bari nggegayang lading, sikile nyerimpung, tangane nggunting
ngeramped jerowan, njambak rambut, ndondomi cangkeme kang sumbing
naleni ati kang geseng-rumpeng diungkebi wangwa, bobad lan sakwasangka
cengkeromed lan lenggarangan, mbladak-mbaladak mbobol lawang negara
edan separan-paran waras sekejap metra, pengeling-eling kaya obor blarak
kabeh persis jaran lumping, muter-muter kaya kemidi, kaya nginum arak
Hei, aja kadiran aja cengengesan ira kabeh dadi sesambat atie rayat
sing bunbune bayi kang masi suci, bakal ngerangseg wong sejagat
sing bunbune bayi kang masi suci, bakal ngerangseg wong sejagat
Sawise urip telungpuluh taun kaya rungseb dicukuli suket alang-alang
sekujur awak growak ngowak-ngawik, bumi lindu, srengenge njomplang
awit segara kang bengkah dadi gili naga, sukma sewaya-waya kaya ara-ara
bocah-bocah enom tawuran duwur wuwungan, nyengget layar dermaga
wakil rayate pada sampyong, sempoyongan nyembur-nyembur ngelindur
beli kelingan purwadaksina, kekirig ndeleng awe-awe tangan batur sedulur
nggelosor ning sorog-sorog gedong pemerentahan, nggegulat kaya rerawat
maesi raine dhewek, dadi wewe-gombel lan merkayangan edan keparat
Ayo, aja wedi aja cilik ati ning lelembut kang kudu dikumbah sumur pitu
ayo, tirakat-tetapa nguleni pikiran, ngopeni batin lan aja klalen: nggosok untu!
Cherbon, 2001
Catatan Mawar
Mawar di tanganku
Seberapa indah kutanam di rumah-Mu
Mawar di hatiku
Seberapa wangi bila kuselipkan dijubah-Mu
Mawar di mulutku
Seberapa sedih bila kulukis di air mata-Mu
Mawar di tintaku
Seberapa tetes bila kualirkan di nama-Mu
Mawar di doaku
Adakah sampai di jarak-Mu?
Yogyakarta, 1986
Posting Komentar untuk "5 Contoh Puisi Ahmad Syubbanuddin Alwy"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar