Iklan Atas

Blogger Jateng

10 Contoh Puisi Medy Loekito

Contoh Karya Sastra Medy Loekito - Medy Loekito dikenal sebagai penyair wanita dengan puisi-puisi pendek yang sederhana. Ia merupakan sastrawan pertama yang menggugat peran dan fungsi sastra porno bagi pendidikan dan masa depan bangsanya. Tulisannya tersebar di berbagai media massa, baik di dalam maupun di luar Indonesia.



Karya-karyanya antara lain:

Antologi Puisi Tunggal
  • “In Solitude”, Penerbit Angkasa, Bandung, 1993.
  • “Jakarta, Senja Hari”, Penerbit Angkasa, Bandung, 1998.
Antologi Puisi Bersama
  • “Festival Puisi Indonesia XIV”, PPIA, Surabaya, 1994.
  • “Trotoar”, Roda Roda Budaya, Tangerang, 1996.
  • “Jakarta, Jangan Lagi”, Kolong Budaya, Magelang, 1996.
  • “Antologi Puisi Indonesia”, Penerbit Angkasa, Bandung, 1997.
  • “Resonansi Indonesia”, Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2000.
  • “Sembilan Kerlip Cermin”, Pustaka Jaya, Jakarta, 2000.
  • “Dewdrops at Dawn”, The International Library of Poetry, USA, 2000.
  • “Jakarta dalam Puisi Mutakhir”, Dinas Kebudayaan Propinsi DKI Jakarta dan Masyarakat Sastra Jakarta, Jakarta, 2000.
  • “Graffiti Gratitude”, Yayasan Multimedia Sastra & Penerbit Angkasa, Bandung, 2001.
  • “Surat Putih”, Risalah Badai, Jakarta, 2001.
  • “Dari Fanzuri ke Handayani”, Horison, Kakilangit, The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
  • “Gelak Esai & Ombak Sajak, Anno 2001”, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2001.
  • “Horison Sastra Indonesia”, Horison, Kakilangit, The Ford Foundation, Jakarta, 2001.
  • “Pasar Kembang”, KSI Yogyakarta, 2001.
  • “Batu Merayu Rembulan”, Yayasan Damar Warga, Jakarta, 2003.
  • “Bisikan Kata, Teriakan Kota”, Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, Jakarta, 2003.
  • “Selagi Ombak Mengejar Pantai 8”, KEMUDI – Pusat Studi & Pengembangan Kebudayaan Asia, Malaysia, 2004.
  • “Maha Duka Aceh”, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005.
  • “Les Cyberlettres”, Yayasan Multimedia Sastra, Jakarta, 2005.
  • “Surat Putih 3, Negeri Terluka”, Risalah Badai – Jakarta & Logung Pustaka – Yogyakarta, 2005.
  • “Bumi ini adalah Kita jua”, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Jakarta, 2005.
  • “Perempuan Penyair Indonesia 2005”, Risalah Badai & Komunitas Sastra Indonesia, Jakarta, 2005.
  • “Le Chant des Villes” (Nyanyian Kota), Centre Culturel Français, Jakarta, 2006.
  • “Legasi”, Warisan Wong Kampung, Malaysia, 2006.
  • “Yogya, 5,9 Skala Richter”, Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2006.
  • “Selendang Pelangi”, Penerbit Indonesia Tera, Magelang, 2006.
  • “The Poetry of Nature”, 2007.
Antologi Puisi Digital
  • “Cyberpuitika”, Yayasan Multimedia Sastra, 2002.
  • Buku kumpulan esai
  • “Cyber Graffiti”, Yayasan Multimedia Sastra & Penerbit Angkasa, Bandung, 2001.
  • “Kongres Bahasa Indonesia VIII”, Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003.
  • “Sastra Kota”, Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya, Jakarta, 2003.
  • “Cyber Graffiti, Polemik Sastra Cyberpunk”, Yayasan Multimedia Sastra & Penerbit Jendela, Yogyakarta, 2004.
Pengantar buku
  • “Dua Tengkorak Kepala”, kumpulan cerpen Motinggo Busye.
  • “Dalam Kemarau”, antologi puisi Dharmadi.
  • “Graffiti Gratitude”, antologi puisi cyber.
  • “Cyber Graffiti”, kumpulan esai cyber.
  • “Perjalanan Nol”, kumpulan sajak TS Pinang.
Berikut, karya sastra dari Medy berupa puisi yang bisa Sobat simak.



lepas terbang membenam jalaku
kala malam-malam menyita bayang
wajahmu nan rupawan dalam kebiruan yang mengelam
bebas benangnya mengikat ikan
laut beriak
wajahmu
wajahku
dalam jala
menghimpit hari dan rindu mendudu satu
di laut
cintamu
cintaku
dalam jala


1978 


Kampung Naga

di sini keindahan bernyanyi
tanpa ada telinga yang mendengar
dan keramaian merebak
tanpa pandang yang terengah
tangga tanah basah
adalah lambaian petani tua pada anak cucu
berapa lamakah sebuah bangsa
akan bertahan
ketika sang penerus
lari menukar warisan dengan keserakahan
mungkinkah padi tumbuh
tanpa ada yang menabur benih

1992


A Commemoration

betapa indah awal sebuah petaka
tatkala cinta dan berahi tak lagi punya batas
dan segumpal nilai seketika hilang makna
tidaklah menolong air-mata terburai
atau merutuk gemawan yang terhentak seribu kaki kuda
hingga senja taklah lebih dari layar koyak
dendam perjalananmu membuatku terpana
namun pada akhirnya adalah tiada
dan tiba-tiba kutakut rindu

saat langit-langit di atas sana menciut
malam datang disertai kelamnya
mungkin engkau telah ada di sana
jauh terpisah dari pelukanku


bau wangi bunga menyentuh hidungku
dalam kamar di mana kau berbaring,
adinda,
beku nadimu menyentuh sukmaku


kemarin masih kau alunkan lagu bintang kecil
kemarin boneka-boneka itu masih tidur dalam
pelukanmu
kini,
sunyi sepi meraupi waktu yang berdetak cepat


dengarlah, dinda
burung kuk kuk lonceng kita berbunyi
dengarlah, adinda
kuberlagu nina bobok di sisimu
dengarlah, adinda
desis embun menimpa kelopak bunga


adinda,
malam tergagap dalam gelapnya
bintang-bintang suram tenggelam dalam lautan awan
tiba-tiba dingin merasuki celah poriku
meregang tubuhku kedinginan
seperti juga tubuhmu yang beku
namun kita tak dapat lagi berdekapan


akh,
serasa kau semakin jauh
di sini, aku sepi sendiri
sesaat lagi tengah malam kan tiba
sedang hujan di luar tak juga reda
seolah turut meratapi kepergianmu


lilin-lilin di kakimu telah suram cahayanya
kembali wangi bunga terhirup olehku
membuat darahku seolah membatu
aku tak kuasa lagi menatap wajah pucatmu nan ayu
sedang selimut tak mampu lagi memanaskan
tubuhmu


adinda,
hari esok tak kau jumpai lagi
terdengar sayup-sayup burung kuk kuk bernyanyi lagi


malam yang mengintip dari balik jendela
membuatku
meremang
kukecup keningmu
selamat malam adinda

1978


Tatkala Cinta tak Berarti Memiliki

di bawah bayang-bayang garis cahaya bulan
kupintal hasrat-hasrat tanpa harap
menyanyi lagu-lagu sumbang
sambil tengadah ke langit kosong
tidaklah mungkin lagu tercipta dari sebuah nada
dan segenggam pasir tak mungkin menjadi sebuah
rumah
bahkan segala kenanganpun pergi
tinggalkan ‘ku dalam kesendirian yang sempurna


1992



kupungut ludahku
dalam anak sungai yang mengalir
lalu kutanam
pada celah rimba
dan aku mendengar kidung
sayup tertelan ombak keriput
dari laut menuju ke laut
dari karang bersentuh ke karang
dari nyaring suaraku ke seberang sana
jauh tertinggal sekelopak melati biru
beralun berkidung, tertelan ludahku


1978


Cinta Sepi

dalam sepi kutanam cinta
bagai fatamorgana menjelang pagi
di akhir kokok ayam yang pertama
kau pergi, lalu sepi
tinggal cinta melangkah pergi
lewat jalan sepi
mencari kubur jasadmu tersembunyi


1978


Di Bukit Pengalengan

bara merah senja mencabik dingin
serakah melahap daun-daun teh
yang terhampar di bukit-bukit
berbatas pohon pinus dan jalan setapak
tiada yang lebih indah selain
pertemuan petang dan malam
ketika gigil dingin menghembus
membelai pipi-pipi kemerahan bocah gunung
di sini harta tidak lagi punya arti
karena setitik hujanpun tak mampu kubeli
bahkan bisik lembut bukit-bukit
tak mampu kujawab


1992


Dari Balik Jendela Puncak Chase Plaza

dari balik jendela puncak Chase Plaza
Jakarta terkapar di bawah
terhimpit bayang-bayang
pengemis cilik yang bercermin pada kaleng coca-cola
rindu susu ibu yang tak lagi ada
tidaklah menarik kilau BMW
atau bis reyot
mereka tak ubahnya mainan dari balik kaca etalase
bahkan dalam mimpipun tak juga ada
di balik debu kaca dan marmer
mentari meleleh pada wajah legam
hidup hari ini sekedar harapkan malam tiba
dan usailah lelah mengais nasib
untuk hari esok yang tak pernah pasti


1992

apalah arti sebuah mimpi
ketika lelap terserak pada malam-malam tanpa
suara
kucari hadirmu lepas fajar hingga petang
tersendat tergeragap laksana petir tanpa gelegar
sementara waktu membenamkan segala harapan
dunia seperti kapal yang karam
terjerembab pada kedalaman tanpa batas
tiada yang lebih pasti daripada gelap
tatkala bulan kehilangan cahaya
dan halilintar kehilangan kilatnya
adakah yang lebih berduka selain hati yang rindu
betapa ingin kulihat wajahmu
pada kesia-siaan yang akrab denganku kini


1992