Oleh: Humam S. Chudori
“Tolong, barang-barang ini Bapak bawa kalau akan berangkat haji. Batu-batu ini untuk melontar jumrah,” katanya.
“Jadi, untuk melontar jumrah kita harus membawa batu sendiri dari rumah?” tanya saya tidak mengerti.
Haji Maskud diam. Ia tampak bingung mendapat pertanyaan saya. Saya juga merasa janggal setelah Haji Maskud menyerahkan batu itu dan menyuruh saya membawanya ke Tanah Suci. Sebab, sepengetahuan saya, untuk melontar jumrah, calon haji tidak perlu membawa batu dari rumah. Lalu, mengapa Haji Maskud membawa batu kemari? tanya saya dalam batin.
Memang, sepuluh hari lagi saya akan berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Dari semua kegiatan pelaksanaan ibadah tersebut, salah satunya adalah melontar jumrah. Dan, melontar jumrah dilakukan dengan menggunakan batu. Bukan dengan benda lain—bukan dengan logam atau kayu.
“Apakah untuk melontar jumrah kita harus membawa batu sendiri dari rumah?” Saya mengulangi pertanyaan setelah Haji Maskud terdiam cukup lama.
“Bukan begitu maksud saya, Pak,” jawab Haji Maskud.
“Lantas?” tanya saya.
“Batu-batu itu saya ambil dari sana. Maksudnya untuk melontar jumrah.”
Saya diam. Sengaja memberi kesempatan kepada Haji Maskud untuk menjelaskan maksudnya. Sebab, sejak pertama menyerahkan batu-batu itu, ia tampak bingung. Apalagi setelah saya melontarkan pertanyaan tolol. Saya katakan demikian lantaran semua orang tahu bahwa untuk melontar jumrah, calon haji tidak perlu membawa batu dari rumah. Namun, tanpa pernah saya rencanakan sebelumnya, tiba-tiba mulut saya mengajukan pertanyaan konyol tersebut. Bahkan, sempat mengulanginya. Mempertegas pertanyaan sebelumnya.
“Silakan minum, Pak Haji.” Saya mempersilakan sang tamu.
Haji Maskud menyeruput teh yang masih hangat. “Begini maksud saya, Pak Budi,” kata Haji Maskud setelah meletakkan cangkir di atas meja. “Saya mau minta tolong Pak Budi untuk mengembalikan batu-batu ini ke tempatnya.”
Saya diam.
“Ya, letakkan saja batu-batu ini di sana,” tambah Haji Maskud. “Atau, nanti Bapak menggunakannya untuk melontar jumrah.”
Selanjutnya, Haji Maskud mengatakan, sejak batu-batu itu terbawa ke rumahnya, ia merasa tersiksa. Betapa tidak, batu-batu itu selalu saja ribut di tempatnya. Memang, ia tidak menyadari bahwa batu-batu tersebut terbawa olehnya.
Setelah selesai melaksanakan rukun Islam yang kelima, Haji Maskud tidak segera mengeluarkan barang-barangnya yang ada di koper. Tak sempat. Lantaran, tak henti-hentinya tamu yang datang. Hingga ia dan istrinya merasa kurang tidur. Namun, ia tak mungkin mengusir tamu yang bertandang ke rumahnya.
Malam kedua ketika hendak tidur, Haji Maskud seperti mendengar ada sesuatu yang mengetuk-ngetuk kopernya yang berada di kamar tidurnya. Semula, ia pikir suara itu adalah Cicak yang berhasil menangkap serangga yang agak besar. Memang, reptil ini, apabila berhasil menangkap mangsa yang tidak langsung bisa ditelannya, ia akan membanting-banting mangsa yang ada di mulutnya. Bila Cicak tersebut berada di permukaan kayu, menempel di lemari, misalnya, lemari itu akan mengeluarkan bunyi-bunyian. Seperti ada jari yang mengetuk perabotan yang terbuat dari kayu tersebut. Namun, jika Cicak tersebut berada di dinding, tak ada bunyi-bunyian yang dikeluarkan saat reptil kecil itu berusaha melumpuhkan mangsa yang ada di mulutnya. Itulah sebabnya Haji Maskud tidak segera bangun. Namun, setelah agak lama, suara tersebut tak berhenti. Akhirnya, Haji Maskud bangun. Ia mengecek kopernya yang masih belum dibuka.
Haji Maskud merasa heran setelah menggeser kopernya. Lantaran, suara ketukan-ketukan itu masih terdengar. Kali ini, Haji Maskud yakin suara itu bukan berasal dari Cicak yang sedang melumpuhkan mangsa. Bagaimanapun, jika benar suara tersebut dari Cicak, dapat dipastikan suara itu akan terhenti. Sebab, Cicak akan langsung lari ketakutan jika tempatnya berpijak bergeser.
Setelah dicermatinya, ternyata bunyi itu berasal dari dalam koper. Haji Maskud membuka tempat itu. Alangkah terkejutnya ia setelah membukanya. Betapa tidak, ia melihat tiga butir batu di sana.
“Mengapa batu-batu ini ada di dalam koper saya?” tanyanya dalam batin setelah melihat ada tiga butir batu di dalam koper. “Siapa yang….”
Tiba-tiba, batu-batu itu meloncat dari dalam koper. Menghentikan pikirannya. Barangkali, jika ia kurang sigap menghindar, batu-batu tersebut akan mengenai mukanya. Sebab, ia tak pernah menduga sebelumnya jika benda itu akan meloncat. Keluar dari koper.
Beberapa saat lamanya, Haji Maskud sempat tercenung. Memikirkan batu-batu yang sudah tergeletak di lantai kamarnya. Batu-batu itu berjejer satu sama lain setelah melompat dari dalam koper. Padahal, jika memperhatikan bagaimana batu-batu itu terlempar dari koper, seharusnya mereka tidak jatuh di tempat yang sama. Paling tidak, ada jarak di antara ketiga batu tersebut. Kenyataannya tidak demikian.
Sejurus kemudian, lelaki yang belum seminggu tiba di Tanah Air itu pun ingat. Ketika mengambil batu untuk melontar jumrah, jumlahnya lebih banyak dari yang seharusnya digunakan. Maksudnya, andaikata batu-batu yang akan digunakan untuk melontar jumrah terjatuh sebelum digunakan, ia tak perlu memungut batu lagi.
Ia tak ingat bagaimana batu-batu tersebut terbawa ke dalam koper meski sudah berpikir keras untuk mengingatnya. Yang diingatnya, ia memang mengambil batu-batu tersebut lebih banyak dari yang semestinya. Pun, ia lupa berapa kelebihan batu yang dipungutnya tersebut. Karena merasa benda itu bukan sembarang batu, ia menyimpan batu-batu tersebut di laci yang ada di dalam lemari pakaian.
Esoknya, tatkala hendak menyimpan liontin berbentuk Ka’bah yang dibelinya di Tanah Suci, Hajah Susilowati menemukan batu-batu di laci. Tanpa bertanya kepada suaminya terlebih dulu, Hajah Susilowati mengambil batu-batu ada di dalam laci tempat menyimpan barang-barang berharga. Lalu, ia membuangnya di halaman depan rumah. Perempuan ini sama sekali tidak pernah tahu bahwa batu yang dibuang tersebut bukan sembarang batu.
Haji Maskud merasa baru saja memejamkan mata tatkala dibangunkan istrinya.
“Pak! Bangun, Pak!” Hajah Susilowati membangunkan suaminya setengah berbisik. “Pak, ada yang mengetuk pintu rumah kita, Pak.”
Agak malas, Haji Maskud membuka mata. Lalu, katanya, “Ya, tidak mungkinlah. Memangnya, pintu pagar tidak digembok?”
“Ssttt! Coba Bapak dengar baik-baik,” Hajah Susilowati meletakkan telunjuknya di depan bibir.
Benar. Setengah sadar dan tidak, Haji Maskud mendengar suara pintu rumahnya seperti diketuk. Setelah yakin ia mendengar suara ketukan pintu, lelaki itu bangun. Keluar dari kamar. Ia hendak melihat siapa yang mengetuk pintu rumahnya pada tengah malam.
“Hati-hati, Pak!” Hajah Susilowati mengingatkan. Ia mengikuti sang suami yang berjalan mengendap-endap. Menuju pintu.
Di depan pintu, Haji Maskud berhenti. Ia tak langsung membuka pintu. Bukan lantaran perlu waspada, siapa tahu yang mengetuk pintu rumahnya orang yang berniat jahat. Suara ketukan itu tidak di tengah pintu, tetapi di bawah. Dekat lantai.
Sebelum bertindak lebih jauh, Haji Maskud menyibak gorden di pinggir pintu untuk memastikan sesuatu yang telah membuat ia dan istrinya terbangun. Ternyata, tak ada siapa-siapa yang berdiri di balik pintu. Namun, suara ketukan itu tak juga berhenti. Setelah yakin tak ada orang di sana, lelaki bertubuh tambun itu membuka pintu.
Alangkah terkejutnya Haji Maskud ketika melihat tiga butir batu tergeletak di balik pintu. Ia pun memungut ketiga batu tersebut. “Ibu menyingkirkan batu yang ada di laci?” tanyanya kepada sang istri setelah ia mengamati benda-benda tersebut.
Hajah Susilowati mengangguk. “Ya, tadi siang batu-batu itu saya….”
“Ini bukan batu biasa, Bu.” Haji Maskud memotong kalimat istrinya. “Coba Ibu perhatikan, apakah batu-batu ini yang tadi dikeluarkan dari laci?”
Hajah Susilowati diam. Ia memperhatikan dengan saksama bentuk batu yang ada di telapak tangan suaminya. Benar. Bentuk serta ukuran batu itu sama persis seperti yang dilemparkannya ke halaman rumah tadi siang.
“Batu ini batu yang kita pakai untuk melontar jumrah,” lanjut Haji Maskud setelah agak lama istrinya terdiam. Lalu, ia menjelaskan sebabnya batu itu disimpan di laci.
Malamnya, suami-istri tersebut memutuskan menyimpan batu itu ke dalam laci di lemari pakaian bersama barang berharga lainnya.
Sepuluh hari kemudian—setiap malam—pasangan suami-istri yang sudah menikah selama lima belas tahun, tetapi belum mempunyai anak itu, selalu mendengar suara gludak-gluduk dari laci yang terdapat di tengah lemari. Suara itu baru terdengar setelah lewat tengah malam. Sekitar pukul dua dini hari. Anehnya, setelah mereka bangun, tiba-tiba bunyi gludak-gluduk itu lenyap. Seolah-olah bunyi-bunyian itu hanya untuk mengusik ketenangan tidur mereka.
Karena merasa terganggu oleh ulah benda-benda itu, Haji Maskud menceritakan hal ini kepada Kiai Said. Ia pun ingin tahu apa yang seharusnya dilakukan terhadap benda-benda yang terbawa dari Tanah Suci itu.
“Mengapa mesti terganggu?” Kiai Said balik bertanya setelah Haji Maskud memaparkan ceritanya. “Justru mestinya kita bersyukur. Mengapa demikian? Karena, dengan begitu, Bapak bisa bangun setiap malam untuk mengerjakan qiyamul lail. Iya, kan?”
Haji Maskud menganggukkan kepalanya beberapa kali. Benar juga kata Pak Kiai, batin Haji Maskud. Mengapa tidak kami manfaatkan untuk shalat malam jika dibangunkan batu-batu itu?
“Nah, soal batu yang terbawa itu, tunggu saja nanti kalau ada kenalan Bapak yang mau umrah atau naik haji. Titipkan saja sama dia,” tambah Kiai Said.
*****
“Itulah sebabnya batu-batu ini saya bawa kemari. Karena, saya sudah yakin jika Bapak akan segera berangkat ke Tanah Suci pada musim haji sekarang ini,” lanjut Haji Maskud setelah menceritakan ulah benda-benda itu.
Saya seperti tak percaya dengan pengalaman Haji Maskud yang diceritakan itu. Saya anggap cerita dari lelaki yang meninggalkan tiga buah batu terlalu mengada-ada. Namun, setelah benda-benda yang ditinggalkan Haji Maskud berada di rumah, saya baru percaya bahwa cerita Haji Maskud tidak mengada-ada. Sebab, baru semalam benda itu tersimpan di rumah, mereka sudah melakukan hal yang sama di koper saya. Mereka seolah-olah ingin segera dikembalikan ke tanah asalnya.
Humam S Chudori, cerpenis yang tinggal di Tangerang Selatan. Sejumlah cerpennya beberapa kali dimuat di sejumlah media nasional.
Posting Komentar untuk "Batu | Cerpen Humam S. Chudori"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar