Iklan Atas

Blogger Jateng

Cerpen Jaring-jaring Merah | Cerpen HTR


Oleh: Helvy Tiana Rosa


Apakah kehidupan itu? Cut Di­ni, temanku, selalu saja marah bila mendengar jawabanku: Hidup ada­lah cabikan luka. Serpihan tan­pa mak­na. Hari-hari yang me­rang­gas lara.

Ya, sebab aku hanya bisa me­men­­­dam amarah. Bukan, bukan pa­­da rembulan yang mengikutiku sa­­at ini atau pada gugusan bintang yang mengintai pedih dalam liang-liang diri. Tetapi karena aku tinggal se­batas luka. Seperti juga hidup itu.

Dan kini hari telah semakin gelap. Aku tersaruk-saruk berjalan se­­panjang tiga kilometer dari Seu­rue­­ke, menuju Buket Tangkurak, be­­­bukitan penuh belukar dan pepo­hon­an ini. Dadaku telah amat se­sak, tetapi langkahku makin ku­per­cepat. Lolong anjing malam ber­sa­hut-sahutan, seiring darah yang te­rus menetes dari kedua kakiku. Perih. Airmataku berderai-derai.

Ugh!

Aku tersandung gundukan ta­nah. Dalam remang malam, ku­li­hat dua ekor anjing hutan me­ngo­rek-ngorek sesuatu, dan pergi sam­bil menyeret potongan mayat ma­nu­sia. Mereka menatap­ku seolah aku akan berteriak kengerian.

Ngeri?


Oi, tahukah anjing-anjing bu­duk itu, aku melihat tiga sampai tu­juh mayat sehari mengambang di su­­ngai dekat rumahku! Aku juga per­nah melihat Yunus Burong dite­bas lehernya dan kepalanya diper­ton­tonkan pada penduduk desa. Aku melihat orang- orang ditem­bak diatas sebuah truk ku­ning. Darah me­reka muncrat ke ma­na-mana. Aku melihat te­tang­gaku Rohani di­te­lanjangi, diper­ko­sa beramai-ra­mai, sebelum ru­mah dan suaminya dibakar. Aku me­lihat saat Geuchik Harun diikat pa­da sebuah pohon dan ditembak ber­ulangkali. Aku me­lihat semua itu! Ya, semuanya. Ju­ga saat mere­ka membantai … ke­luar­ga­ku, tan­pa alasan.

Ffffffhuuih, kutarik napas pan­jang. Jangan me­na­ngis­ lagi, Inong! Ke­ring airmatamu nanti. Meski le­lah, lebih baik meniru anjing-anjing itu.

Aku merangkak dan maju per­lahan. Dengan ta­­ngan kosong ku­ra­up gundukan tanah me­rah diha­da­panku. Terus tanpa henti ku­gu­nakan kedua cakar tangan ini. Ke­ri­ngatku meng­u­cur deras, wajah dan badanku terkena serpihan ta­nah merah. Sedikit pun tak kuhi­rau­­kan bau bang­kai manusia yang me­nyengat hidung.

Tiba-tiba tanganku meraba se­su­atu. Kudekatkan benda dingin itu ke mukaku. Tulang. Ba­nyak tulang. Ca­karku terus menggali. Ku­te­mu­kan beberapa teng­korak, lalu re­mah-remah da­ging manusia. Ah, di ma­na? Di mana tangan kurus Mak?­­ Mana jari manis dengan cin­cin khas itu? Juga cincin tembaga ber­batu hijau dan arloji tua yang dike­nakan ayah saat orang-orang ber­sen­­jata itu membawanya da­lam keadaan luka parah. Di ma­na? Di ma­­na tangan-ta­ngan mereka? Di ma­na tu­lang-tulang mereka di ta­nam? Di mana wajah tampan Ham­­­­zah? Yang mana teng­korak­nya?

Se­kujur tubuhku gemetar me­na­han buncahan duka. Aku meng­gali, terus meng­gali. Hing­ga aku se­ma­kin le­mas dan akhirnya kembali terisak pilu. Meratapi orang-orang yang kukasihi, yang beberapa wak­tu lalu digiring ke bukit ini.

Sssssssttt!

Tiba-tiba, di antara suara se­rang­­­­­ga malam, ku­ping­ku men­de­ngar langkah-langkah orang. Se­pa­tu-sepatu lars yang menginjak ranting dan daun kering. Mereka me­nu­ju ke arahku!

Aku harus menyanyi. Ya, me­nya­­nyi nyaring, dengan iringan da­wai kepedihan dari sanubari sendiri.

“Perempuan gila itu!” suara se­se­orang gusar.

“Sayang, dulu ia cantik…,” ujar yang lain.

“Ya, juga sangat muda. Ah, su­dahlah, biarkan saja,” kata yang ketiga. “Ia tak berbahaya. Hanya ter­ta­wa dan menangis.”

Aku pura-pura tidak mendengar perkataan si lo­reng-loreng itu. Me­re­ka gila karena mengira aku gila. Tak tahukah mereka bahwa aku tak menyanyi sendiri? Aku ber­nyanyi ber­sama bulan, awan dan udara ma­lam. Bersama desir angin, bu­rung hantu dan lolong anjing hutan. Bersama bayangan Ayah, Mak, Ma’e dan Agam. Kami me­nyanyi, kami menari bungong jeum­pa. Lalu aku tersenyum malu, saat Ham­zah yang telah me­mi­nang­ku, melintas di depan rumah de­ngan se­pe­danya. Dahulu. Ya, dahulu….

***

Inong….”

Aku menggeliat. Cahaya men­tari masuk dari ce­lah-celah bilik. Ha­ngat. Ah, di mana aku? Dipan ini penuh kutu busuk. Berarti…, ya, aku di rumah. Aku bangkit, men­co­ba duduk.

Dari mana, Inong? Aku men­cari­­mu seharian. Ureung-ureung menemukanmu di tepi jalan ke Bu­ket Tangkurak, subuh tadi.”

Kutatap seraut wajah dalam khe­­­rudoung putih di hadapanku. Cut Dini. Tangannya lembut mem­be­lai kepalaku.

Aku cuma jalan-jalan. Aku ti­dak mengganggu orang," jawabku sekenanya.

Aku tahu. Kau anak ba­ik. Kau tak akan meng­gang­gu­ siapa pun…, tetapi jangan pergi ke bukit itu atau bahkan ke rumoh geudong lagi. Ber­ba­ha­ya. Lagi pula kau seorang muslimah. Tidak baik pergi sen­­dirian,” kata Cut Dini sam­­­bil mem­beri­ku minum.

Kugaruk-garuk kepalaku. “The­ri­moung… ghaseh…,” kuteguk minuman itu.

Cut Dini. Ia sangat pe­duli. Ma­ta­­­nya pun selalu me­na­tapku penuh pancaran ka­sih.

Aku kembali merebahkan ba­dan diatas dipan. Sebe­nar­nya aku tak tahu banyak ten­tang Cut Dini. Aku be­lum begitu lama menge­nalnya. Orang-orang bilang ia ang­go­ta … apa itu … LSM? Juga akti­vis masjid. Ia kem­bali ke Aceh sete­lah tamat kuliah di Jakarta. Dan … cuma dia, di an­tara para te­tangga, yang sudi ber­teman de­nganku. Ia mem­be­ri­ku ma­kan, memperhatikanku, men­ceritakan banyak hal. Aku senang se­kali.

Dulu, setelah keluargaku diban­tai dan aku dice­mari beramai-ra­mai, aku seperti terperosok dalam ku­bangan lumpur yang dalam. Se­kuat tenaga kucoba un­tuk mun­cul, menggapai-gapai permu­ka­an. Na­mun tiada tepi. Aku tak bi­sa bang­kit, bahkan me­nyen­­­tuh apa pun, ke­cua­li semua yang ber­na­ma kepa­hit­an. Aku memakan dan memi­num nyeri setiap hari. Sampai aku ber­temu Cut Dini dan bisa menjadi bu­rung. Segalanya te­­rasa lebih ri­ngan.

Tetapi tetap saja aku senang ber­­­­­­­teriak-teriak. Aku melempari atau memukul orang-orang yang le­­­wat. Hingga suatu hari orang-orang desa akan me­ma­sungku. Ka­­ta mereka aku gila! Hah, dasar orang- orang gila! Cut Dini-lah yang me­­larang. Cut Dini juga yang meng­ingatkanku untuk mandi dan ma­kan. Ia menyisir rambutku, me­ng­ajak­­ku ke dokter, ke pe­nga­jian, atau sekedar jalan-jalan.

Baju yang koyak itu jangan dipa­kai lagi,” kata Cut Dini suatu ketika.

Aku suka,” kataku pen­dek. “Ini baju yang di­ja­hitkan Mak. Aku memakainya ketika orang-orang jahat itu datang.”

Itu baju yang tak pantas dilihat. Nanti orang-orang itu bisa menya­kiti­mu lagi,” ka­ta­nya pelan.

Kupandang baju ungu mu­da yang kupakai. Tangannya koyak, ketiaknya juga. Lalu di dekat perut, di­belakang…, bahkan ada sisa-sisa darah ke­­ring di sana.

Aku ingin memakainya,” lirih­ku. “Apa aku gila?” ta­nyaku.

Cut Dini menatap bola ma­­­­­­­­­­­­­­­­­taku dalam. “Menurut­mu?

Aku menggeleng kuat-ku­at. Meng­garuk-garuk ke­pa­la­ku.

Kau sakit. Kau sangat ter­pu­kul,” ujar Cut Dini. Kulihat ia meng­gi­git bibirnya sesaat. Lalu dengan cekatan mem­bung­kus baju itu de­ngan ko­ran.

Aku mengangguk-angguk. Te­rus mengangguk-angguk, sambil meng­goyang-go­yang­kan kedua ka­kiku. Aku suka membantah orang, tetapi tidak Cut Dini.

Sudahlah.”

Lalu seperti biasanya Cut Dini mengambil Al- Quran mungilnya dan membacanya deng­an syahdu. Sua­ranya kadang berubah. Aku se­perti mendengar Hamzah me­ng­a­ji —lewat pe­nge­ras suara— di mu­sala.

Ah, meski tak mengerti, aku ingin menangis setiap mendengar ba­­­caan Al-Quran.

***

Siang itu aku sedang menjadi burung. Aku ter­bang tinggi dan ka­dang menukik seke­tika. Aku hinggap di ranting-ranting po­hon belakang dan me­matuki buah-bu­ah di sana. Huh, se­mu­anya busuk. Aku jadi ingin marah. Bagaimana kalau kucuri saja topi-topi merah si loreng dan kubakar. Hua…­ha…ha, aku tertawa gelak-ge­lak.

Siapa kalian?” tiba-tiba ku­de­ngar suara Cut Dini ber­getar, di ru­ang tamu yang merangkap ka­mar ti­durku.

Aku terbang dan hinggap pada meja kusam disamping rumah, lalu meng­intip ke da­lam le­wat jendela yang ra­puh. Dua lelaki tegap de­ngan ram­but cepak me­nyo­dor­kan se­su­atu pada Cut Di­ni.

Kami orang ba­ik-baik. Kami ha­nya ingin mem­be­ri­kan sum­bang­an sebesar li­ma ra­­­­­tus ri­bu rupiah pa­da Inong.”­

Aku nyengir. Li­ma ratus ri­bu? Horeeee! Apa bisa bu­at be­li sa­yap?

Kami minta ia tidak me­nga­­ta­kan apa pun pada orang asing. Ia atau bisa saja anda se­ba­gai walinya me­nan­da­ta­ngani kertas bermaterai ini.”

Cut Dini membaca kertas itu. Kulihat wajahnya marah. Menga­pa? Kugerak-gerakkan kepalaku me­natap mimiknya, lebih lekat dari jendela.

Tidak!! Bagaimana de­ngan pe­merkosaan dan pe­nyik­­saan se­lama ini, pen­jagal­an di rumoh geu­dong, mayat-mayat yang ber­se­rakan di Bu­ket Tangkurak, Jem­ba­tan Ku­ning, Sungai Tamiang, Cot Pang­­lima, Hutan Krueng Cam­pli…dan di mana-mana!” suara Cut Dini meninggi. “La­­­lu per­­kam­pungan tiga ribu janda, anak-anak yatim yang terlantar…, keji that! Tidak!

Kedua orang itu tampak gugup dan sesaat saling ber­pan­­dangan. “Kami hanya menindak para GPK. Ini daerah operasi militer. Kami menjaga keamanan ma­sya­ra­­­kat.”

Oh ya?” Nada Cut Dini sinis. “Ke­nyataannya ma­­syarakat takut pada siapa? Dulu, banyak yang ter­paksa menjadi cuak, memata-matai dan meng­ang­gap teman sen­diri sebagai pengikut Hasan Tiro da­ri Ge­ra­kan Aceh Merdeka. Te­tapi sekarang semua usai. Tak ada tempat bagi orang seperti kalian di sini.”

Sudahlah, ambil saja uang ini buat Anda. Lu­pa­kan saja gadis gila itu.”

Apa? Gadis gila?? Kukepakkan sayapku dan me­nu­kik ke arah dua lelaki itu. Kulempar mereka de­­­ngan apa pun yang kutemui di meja dan di lantai. Aku berlari ke dapur, dan kembali menimpuki mereka de­ngan panci dan peng­gorengan. Me­reka berteriak-teriak seper­ti anak ke­cil dan berebutan ke luar ru­mah. Pas­ti itu ayah orang yang mem­perkosaku! Pasti ia te­man para pem­­bunuh itu! Pasti mereka orang-orang gila yang suka menakut-na­kuti or­­­ang! Paling tidak mereka cu­ak! Aku benci cuak!

Inong….

Aku berhenti melempar. Aku berhenti jadi burung ajaib. Orang-orang itu kini hanya titik di ke­ja­uh­an.

Masya Allah, nanti perabotan itu rusak,” suara Cut Dini, tetap lembut. “Benahi yang rapi lagi, ya. Aku mau shalat lohor dulu,” kata­nya.

Mengapa aku tak pernah di­ajak salat?” protesku. “Dulu aku sha­lat bersama keluargaku, se­be­lum aku bisa jadi burung,” tukasku.

Jangan menjadi burung, bila ingin shalat seperti manusia,” kata Cut Dini tersenyum.

***

Keluar, Zakariaaa! Ke­lu­ar! Atau kami bakar rumah ini!!

Aku terbangun dan meng­ucek kedua mataku. Ada apa? Pintu rumah kami digedor-ge­dor. Ayah berjalan ke arah pin­tu diikuti Mak. Lalu Ma’e dan Agam, abang dan adikku.

Ketika pintu dibuka, tiba-tiba saja Ayah diseret ke luar, juga Agam dan Ma’e! Beberapa orang meng­­­­angkat Mak dan memba­wa­nya pergi! Sebelum aku berteriak, beberapa tangan kekar merobek-robek bajuku! Aku meronta-ronta. Kudengar Ayah tak putus berdzikir. Dzikir itu lebih mirip jeritan yang menyayat hati.

Ini pelajaran bagi anggota GPK!” teriak seorang lelaki ber­­­­se­ra­gam. Kurasa ia seorang pe­mim­pin. “Zakaria dan ke­lu­ar­ga­nya membantu anak buah Hasan Tiro se­jak la­ma!

Warga desa menunduk. Me­re­ka tak mampu mem­bela kami. Dari kejauhan kulihat api berkobar. Pu­luh­­an orang ini telah membakar be­berapa rumah!

Jangan ada yang menunduk!

Aku gemetar mendengar ben­tak­an itu.

Ayo lihat mereka. Kali­an sama dengan warga Ma­ne… beker­ja­sa­ma de­ngan GPK!” suaranya la­gi.

Kami bukan GPK!”­su­a­ra Ma’e. "Ulon hana teup­heu sapheu!

Lepaskan mereka. Ka­lian sa­lah sasaran!” Ya Allah, itu suara Ham­zah!

Angkut orang yang bicara itu!

Aku melihat Hamzah dipukul bertubi-tubi hingga limbung, la­lu…ia diinjak-injak! Dan diseret per­gi. Air­ma­ta­ku menderas.

Siapa lagi yang mau mem­be­la?” tantang lelaki penyiksa itu po­ngah.

Kami tidak membela, mereka memang bukan orang jahat,” suara Geuchik Harun. “Pak Zakaria ha­nya seorang muadzin. Jiiban­dum ureung biasa.” Sa­mar-samar ku­lihat kepala de­sa kami itu diikat pa­da se­batang pohon.

Serentetan tembakan segera menghunjam tubuh Geuchik Harun, lalu Ma’e abangku! Aku histeris. Tak jauh, kulihat Agam tersungkur dan tak bergerak lagi, lalu Ayah yang berlumuran darah! Tangan-tangan kekar menyeret mereka ke arah truk.

“Bawa mereka ke bukit dekat jalan buntu! Juga gadis itu!

Aku meronta, me­nen­dang,­ meng­­gigit, mencakar, hing­ga aku letih sendiri. Dan aku tak ingat apa-apa lagi, saat tak lama kemudian, nyeri yang amat sangat me­rejam-rejam tubuhku!

Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” aku berteriak se­kuat-kuatnya.

Astaghfirullah, Inong! Inong, bangun!” dua tangan meng­gon­cang-goncang ba­dan­ku.

Air­mataku menganak su­ngai, tetapi aku tak bisa ba­ngun, sebab aku berada di da­­­lam jaring! Banyak orang se­pertiku di sini, di dalam ja­ring-jaring merah ini.

Inong, istighfar….

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­­ayun-ayunkan jaring. Aku dan kumpulan manusia di sini ber­jatuhan ke sana ke ma­ri. Kami tak bisa keluar dari sini! Tolong! Toloo­o­o­o­ong! Di mana sayapku? Di ma­na? Di mana tangan Mak de­ngan cin­cin khas di jari ma­nisnya? Aku ingin menggeng­gamnya. Di mana Ayah, Agam dan Ma’e? Di mana wajah saleh milik Hamzah? Di mana tengkoraknya?

Tangan-tangan raksasa itu meng­­­gerakkan jaring ke sana ke ma­­ri. Aku jatuh lagi. Merah. Silau. Pusing. Pedih. Wajah-wajah dalam jaring pias. Wajah-wajah itu retak, ter­kelupas dan berdarah. Aku men­jerit-jerit dalam perang­kap. Di ma­na sayapku? Aku ingin ter­bang dari sini! Oiiii, tolong ambilkan sayapku! Aku ingin pindah ke awan! Di tanah ke­banggaanku hanya tersisa nes­ta­pa!!

Tak ada yang mendengar. Se­buah pelukan yang sangat erat ku­rasakan. Lalu airmata seseorang yang menetes-netes dan ber­cam­pur dengan aliran air di pipiku.

Allah tak akan mem­biarkan mereka, Inong! Tak akan! Kau harus sem­buh, Inong! Semua sudah ber­lalu. Peristiwa empat tahun lalu dan rezim ini. Te­gar, Inong! Tegar! La hawla wala quwwata illa bi 'l-Lah….

Ka­bur. Samar kulihat Cut Dini. Wajah tulus de­ngan kerudung putih itu. Ia me­­ngusap airmataku.

Lalu tak jauh di hada­pan­ku, ku­lihat beberapa orang. Diantara­nya ber­se­ra­gam. Tiba-tiba takutku na­ik lagi ke ubun-ubun. Aku meng­­gi­gil dan men­de­kap Cut Dini erat-erat.

Ia hanya satu dari ribu­an kor­ban kebiadaban itu, Pak. Tolong, beri kami kea­dil­an. Bapak sudah lihat sen­­diri. Oknum-oknum itu men­­jarah segalanya dari pe­­rem­puan ini!

Takut-takut kuintip lela­ki tegap yang sedang me­na­tap­­ku ini. Apa­kah ia mem­­bawa jaring-jaring un­tuk menangkapku lagi?

Pergiiiii! Pergiiii se­mua­aaa!” te­riakku. “Per­gii­ii­iiii!” aku menjerit seku­at-kuatnya. "Pergiiiiii!" aku men­­­­­ceracau. Sekujur ba­dan­­ku ber­ge­tar, terasa ber­pu­­tar. Orang-orang ini ter­sen­tak, me­na­tapku kasih­an. Hah, apa peduliku?! Aku ingin ber­te­riak, me­nga­­muk, mem­porak­po­ran­­­dakan apa dan siapa pun yang a­da di hadapanku! Aku….

Tiba-tiba suaraku hilang. Aku ber­­teriak, tak ada suara yang kelu­­­ar. Aku menangis tersedu-se­du, tak ada airmata yang mengalir. A­ku mengamuk panik, teta­pi kaku. A­ku mencari bunyi, men­cari bening, men­­­­cari gerak. Tak ada apa pun. Cu­ma luka nga­nga.

Inong…, mereka akan mem­ban­tu kita….

Aku terkapar kembali. Meng­gele­par. Berdarah da­lam jaring.


***


Cipayung, 1998

Referensi:

  • Data yang diterbitkan oleh Forum LSM Aceh, 5 Agustus 1998.
  • Gatra, Republika, Terbit, Kompas ( semua terbitan Agustus 1998).
  • Buletin Kontras no 1/Agustus 1998.
Daftar istilah:
  • Buket Tangkurak : Bukit Tengkorak
  • Geuchik : Kepala Desa
  • Cuak : orang yang jadi mata-mata tentara
  • Ma’e : panggilan untuk Ismail
  • Mak : Mak
  • Rumoh geudong : rumah gedung (tempat penjagalan)
  • Mane : nama desa di Pidie
  • Ureung-ureung : orang-orang
  • That : sekali
  • Ulon hana teupheu sapheu : saya hanya orang biasa
  • Therimoung ghaseh : terima kasih
  • Kherudoung : kerudung

Posting Komentar untuk "Cerpen Jaring-jaring Merah | Cerpen HTR"