Oleh: Kolaborasi Pengarang
Masih dalam kekagetan yang teramat sangat, Tohari mulai merancang-rancang akan dikemanakan uang sebanyak itu. Ia sedang berpikir untuk menggunakan sedikit uang tersebut untuk belanja online? Siapa tahu? Baru minggu lalu, cucunya memperlihatkan Instagram belanja online yang penuh dengan barang-barang baru menggiurkan mata yang tak pernah dilihatnya.
“Mbah,” kata sang cucu. “Beli ini saja.”
“Apa itu?”
“Smartphone model terbaru.”
“Ahhh enggak mau. Handphone yang Mbah beli sepuluh tahun lalu masih bisa dipakai, kenapa harus beli yang baru.”
Tetapi tiba-tiba, ponsel Tohari berbunyi, langsung yang berbicara Pak Menteri. “Maaf Pak Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong, ini hanya mimpi saya. Lebih baik besok malam Pak Tohari mimpi saja sendiri. Hadiahnya mungkin Rp 1 miliar.”
“Tapi Pak, kalau Rp 1 miliar, saya enggak mau mimpi sendiri. Lebih baik saya mengajak teman-teman saya bermimpi bersama. Banyak tuh yang pengen bisa mimpi dapat Rp 1 miliar. Di antaranya teman-teman penulis cerpen tua seperti saya ini. Putu Wijaya, Budi Darma, atau Seno Gumira Ajidarma. Eh tapi Seno sering kali terlalu banyak improvisasi kalau diajak bermimpi. Lebih baik lagi saya mengajak teman-teman penulis muda untuk bermimpi bersama. Mereka kreatif-kreatif lho Pak kalau diajak mimpi. Kayak itu tuh, Ni Komang Ariani, Iqbal, Guntur, Oddang, Miranda, mereka pinter-pinter lho kalau ngimpi.”
“Silakan saja Pak Tohari. Mau mimpi sendiri atau ngajak teman-teman. Yang penting Bapak sudah cukup jelas kan bahwa hadiahnya sudah dicabut? Coba susun dulu proposal mimpi Rp 1 miliar Pak Tohari, nanti ajukan saja ke saya. Nanti saya kasih kontak nomornya Dirjen saya, si Hilmar itu. Biar nanti dia baca dulu proposal Rp 1 miliar Pak Tohari,” ujar Pak Menteri.
Tohari terdiam sejenak. Ia mencoba menafsir makna di balik perkataan Pak Menteri yang sebenarnya sudah sangat terang benderang itu.
“Maaf Pak Menteri, apakah saya boleh bertanya?”
“Silakan, Pak Tohari.”
“Apakah Bapak bisa mengendalikan mimpi?”
“Mengapa tidak?”
“Bapak pernah mengendalikan mimpi?”
“Berkali-kali.”
“Wah, sungguh elok. Jadi bisa ya, saya meminta diri saya mimpi mendapat Rp 100 juta lalu saya minta sembilan pengarang lain mimpi mendapat Rp 100 juta? Bisa jugakah dalam mimpi itu saya meminta sembilan pengarang lain memberikan uang mereka untuk saya? Lalu, jika sudah terkumpul, bisakah saya meminta diri saya sendiri memberikan uang itu untuk guru-guru miskin di seluruh Tanah Air?”
“Bisa. Mengapa tidak?”
“Kok Bapak begitu yakin?”
“Saya telah melakukan berkali-kali, Pak Tohari.”
Tohari takjub.
“Boleh bertanya lagi Pak Menteri?”
“Silakan, Pak Tohari.”
“Bagaimana cara mengendalikan mimpi itu?”
“Pak Tohari harus tidur tepat pukul 00.13.”
Tohari tak bertanya mengapa harus pukul 00.13. Ia justru menanyakan posisi tidur.
“Kepala harus mengarah ke selatan atau timur?”
“Ke utara, Pak Tohari. Sebelum tidur, bersama sembilan pengarang, Pak Tohari harus membayangkan mendapat uang masing-masing Rp 100 juta bukan dari saya, melainkan dari Pak Jokowi. Pak Jokowi pasti tergerak memberikan uang itu. Hanya, Pak Tohari dan sembilan pengarang, tidak boleh ragu-ragu dalam bermimpi. Paham, Pak Tohari?”
“Paham, Pak Menteri.”
Tohari memang paham pada setiap perkataan Pak Menteri. Akan tetapi, begitu suara Pak Menteri dari seberang menghilang, ia sedikit meragukan metode pengendalian mimpi yang tak masuk akal.
“Mimpi selalu tidak masuk akal,” Tohari membatin, “Karena itu, haruskah aku memercayai metode mimpi Pak Menteri?”
Sunyi. Tohari merasa tak bisa menjawab pertanyaan itu sendiri. Karena itulah, ia perlu menelepon beberapa pengarang.
Mula-mula ia menelepon Triyanto Triwikromo.
“Apakah Anda pernah mengendalikan mimpi?”
“Belum pernah, Pak Tohari, tetapi saya pernah mengendalikan cerita. Cerita apa pun bisa saya kendalikan sesuai keinginan sukma.”
Ia juga bertanya pada Seno. Seno menggeleng. “Saya hanya mahir mengendalikan senja, Pak Tohari. Sesekali saya mengendalikan Tuhan untuk memenuhi doa-doa saya.”
Ia juga bertanya pada Joko Pinurbo. Joko Pinurbo tertawa, “Saya hanya bisa mengendalikan sarung dan celana saya. Celana dan sarung saya jika tidak dikendalikan suka berkibar ke mana-mana, Pak Tohari.”
Tohari juga bertanya kepada cerpenis baru tapi senior Warih Wisatsana. Ia hanya mendapatkan jawaban, “Kalau mau kendalikan mimpi, jadilah ikan terbang dulu…,” kata Warih.
Tak putus asa, Tohari bertanya kepada pengarang lain mengenai teknik mengendalikan mimpi. Kali ini kepada Budi Darma. Budi Darma juga tertawa, “Satu-satunya sosok yang pernah saya kendalikan bernama Olenka. Justru Olenkalah yang bisa mengendalikan mimpi. Coba nanti saya tanyakan kepada dia.”
“Jangan-jangan saya juga bisa bertanya kepada Srintil atau Rasus, ya Pak Budi?”
“Mungkin saja, Mas Tohari. Mungkin saja. Sampeyan tahu di mana harus menghubungi Rasus atau Srintil bukan?”
Tohari mengangguk namun tidak segera melakukan saran Budi Darma. Tohari kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menatap gerimis.
“Masih gerimis air. Bukan gerimis yang telah jadi logam,” Tohari bergumam sambil mengingat Goenawan Mohamad, penyair yang menulis “Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”.
"Masih gerimis yang biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang lebih tabah dari hujan bulan Juni,“ Tohari mendesis sambil mengingat Sapardi Djoko Damono, penyair “Hujan Bulan Juni”.
Tohari terus menikmati gerimis itu. Ia tidak ingin menghubungi Srintil. Ia tidak ingin menghubungi Rasus. Ia justru menelepon Putu Wijaya.
“Bli Putu, apakah Anda bisa mengendalikan mimpi?”
“Bisa. Apa pun bisa saya kendalikan.”
“Bisa bermimpi bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu mengajak beliau menemui Pak Jokowi?”
“Bisa.”
“Bisa meminta Pak Jokowi memberi uang kepada 10 pengarang masing-masing Rp 100 juta?”
“Bisa.”
“Bisa meminta para pengarang memberikan uang itu kepada guru-guru miskin?”
“Bisa.”
“Caranya?”
Tak ada jawaban dari seberang.
“Caranya?”
Masih tak ada jawaban.
“Bli Putu? Ada apa? Bli Putu masih mendengarkan suara saya?”
Tetap tak ada jawaban.
“Halo, Bli? Masih mendengar suara saya?”
“Ya, masih Pak Tohari. Caranya kita harus puasa 40 hari dulu di gua yang paling gelap. Setelah itu puasa 40 hari lagi di gedung paling tinggi. Terakhir kita harus puasa 40 hari lagi di tepi sungai paling kotor.”
“Kok terlalu sulit. Ada cara yang gampang?”
“Ya, memang sulit, Pak Tohari, tetapi saya jamin kita akan bisa mengendalikan mimpi kalau sudah bisa melampaui semua itu.”
“Bli Putu mendapatkan metode itu dari mana?”
“Ya, dari mimpi, Pak Tohari. Sekarang tidur dan bermimpilah agar Pak Tohari mendapatkan metode mengendalikan mimpi! Saya doakan Pak Tohari berhasil. Pak Tohari orang baik. Alam pasti menolong Anda.”
Tohari terdiam. Ia pun bersiap-siap tidur. Di sana ia bertemu dengan semua orang yang dipikirkannya. Pak Menteri yang senyumnya semanis gula. Pak Jokowi yang matanya memantulkan sungai yang berwarna kecoklatan. Dan semua pengarang-pengarang yang ditemuinya itu. Mereka seperti menghadiri sebuah pesta dengan sajian makanan yang serba lezat. Mulai dari kambing guling, sate maranggi, ayam panggang, sampai dengan kue tart kecil rasa cokelat dan karamel.
Tohari tidak ingat kapan pesta itu berakhir, yang jelas ia terbangun dengan badan pegal luar biasa. Seperti sehabis mencangkul sawah sehari penuh. Pintu kamar terbuka sebagian, sementara Tohari hanya tergeletak tanpa daya. Tak kuasa menggerakkan tubuhnya untuk bangkit.
Di luar sana, halaman rumahnya terlihat jorok dengan tumpukan daun berserakan, yang tak sempat dibersihkan. Namun, kali ini daun-daun berserakan itu terlihat berbeda. Warnanya merah terang dan ada dua foto dua orang yang sangat dikenalnya. Dua laki-laki tampan mengenakan kopiah, yang ia kenal betul, namun ujung lidahnya gagal menyebutkan nama kedua orang itu.
Istrinya sudah berulang kali ngomel.
“Tuh lihat rumah tanpa aku. Dari dulu kamu terlalu sibuk berpesta. Sibuk tertawa-tawa seperti pejabat-pejabat itu. Sibuk mencecap kue tart rasa karamel. Lupa pada bibirmu yang hitam dan keriput itu.”
Tohari mengerang keras setelah kembali gagal bangkit dari tempat tidur. Daun-daun gugur makin menumpuk, seperti membentuk gundukan di hadapannya.
Tohari memejamkan mata mengingat-ingat ucapan Pak Menteri. Sedikit-sedikit mulai dipercayainya ucapan laki-laki itu. Karena ia pernah mengetahui seseorang melakukan hal yang sama persis. Teman dari temannya. Namanya Leonardo. Laki-laki itu berwajah kaukasia. Hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti daging durian yang sudah dikupas.
Leonardo menjalankan sebuah misi rahasia dengan bermimpi kolektif bersama teman-temannya. Apa misi rahasianya? Jelas Tohari tidak tahu. Namanya juga rahasia. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tohari mengernyit kesakitan, merasakan tarikan tajam di kedua pipinya yang mengeras.
Bukan saja badannya yang makin mengeras, ternyata urat-urat wajahnya seperti sudah disemen. Tohari memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Agar ia bisa memahami apa yang sungguh terjadi, ketika sekonyong-konyong, seorang laki-laki, yang ia ketahui bernama Eden berbisik di telinganya. “Aku bisa menolongmu. Aku bisa mengajarimu melakukan apa yang dilakukan oleh Leonardo dan kawan-kawannya.” Suaranya serak dan dalam seperti suara Hannibal Lecter.
Tohari tercengang. “Aku bisa mengajak sembilan orang lainnya untuk bermimpi secara bersamaan?” Eden mengangguk yakin. “Namun, kesempatanmu hanya sekali. Dalam kesempatanmu yang sekali itu, ada dua peluang. Peluang berhasil lima puluh persen, peluang gagal lima puluh persen. Jika berhasil, mimpi 1 miliarmu akan terkabul, jika gagal, kesepuluh dari kalian akan terjebak di dalam dunia karangan kalian masing-masing.” Katanya dengan suara yang makin serak seperti tercekik.
“Hah…! Apa maksudnya?”
“Ingat-ingatlah cerpen yang pernah kamu tulis. Seingatku terakhir kau menulis tentang seorang anak yang ingin mengencingi Jakarta. Nah, jika gagal, kau akan hidup di dunia anak-anak yang kau kisahkan itu.”
Tohari merinding. Deru kereta api yang menggetarkan dan suara klaksonnya yang menjerit-jerit, menyerbu ke gendang telinganya. Bau makanan sisa bercampur bau bacin menggulung seperti tornado di depan cuping hidungnya. Kawanan lalat meriung riang merayakan kecepatan tubuhnya yang menumpang bokong kereta yang beroma tak sedap. Debu dan sampah-sampah kecil beterbangan membuat kelilipan.
Anginnya berpusing ke segala penjuru dan menerbangkan gundukan daun berwarna merah terang di halaman. Dua laki-laki berkopiah dan berwajah tampan tersenyum dengan manisnya. Sekilas senyumnya mirip senyum Pak Menteri. Di titik batas alam sadarnya, Tohari melenguh kecil. Aku mau tersenyum dan tertawa. Langit menggelap dan titik embun membasahi kening Tohari yang keriput. Laki-laki itu terkekeh-kekeh geli.
Catatan:
Cerita ini adalah karya kolaboratif dari Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni Komang Ariani, dimulai saat Malam Jamuan Cerpen Kompas, Selasa (31/5/16). Setelah menulis secara langsung di depan undangan, penulisan dilanjutkan secara bergantian dari meja kerja masing-masing. Keenam penulis ini dianggap mewakili 23 penulis cerpen yang diundang malam itu. Judul “Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua” ditulis secara langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang juga hadir.
Posting Komentar untuk "Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua | Cerpen Kolaborasi Pengarang"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar