Oleh: Agus Noor
Hidup mengajarkan padanya, seberuntung-beruntungnya orang beruntung, masih lebih beruntung penipu yang beruntung. Namun, ia juga tahu, penipu yang baik tak hanya mengandalkan keberuntungan, tapi juga mesti pintar memanfaatkan setiap kesempatan.
Kini ia sedang berada di puncak keberuntungannya sebagai penipu. Ia tersenyum menatap wajahnya di cermin. Jangankan orang lain, dirinya sendiri sering merasa tertipu setiap melihat wajahnya sendiri. Barangkali aku memang ditakdirkan menjadi penipu yang baik, batinnya. Lalu ia teringat sebuah cerita yang pernah didongengkan ibunya semasa kanak-kanak.
Penduduk kampung di pinggir hutan itu terkejut ketika mendengar teriak ketakutan seorang anak yang bertemu harimau. Belakangan penduduk kampung itu memang cemas karena seekor harimau terlihat berkeliaran. Dengan membawa bermacam senjata, mereka segera berlarian hendak menyelamatkan. Tak jauh dari hutan, mereka melihat anak yang berteriak minta tolong itu. Tak ada harimau, karena anak itu memang hanya memperdaya seluruh penduduk. Ia memang dikenal anak nakal yang suka iseng dan menipu.
“Bukan anak nakal, Bu,” komentarnya.
“Dengar dulu ibu selesai bercerita!” kata ibunya, lalu melanjutkan.
Beberapa hari kemudian, penduduk mendengar kembali teriakan anak itu minta tolong, “Ada harimauuuuu… Ada harimauuuu….” Tapi penduduk tak peduli. Menganggap itu hanya tipuan lagi. “Kau tahu,” kata ibunya, “anak itu kemudian mati dimangsa harimau. Sekali kau menipu, orang tak akan memercayaimu lagi,” ibunya mengakhiri cerita. Lama ia terdiam merenungkan cerita itu. Ia ngeri membayangkan tubuh bocah itu dicabik-cabik harimau.
Ia tentu saja tahu, kenapa ibu menceritakan kisah itu padanya menjelang tidur. Beberapa kali ibunya kehilangan uang di dompet dan ia selalu menjawab tak tahu setiap kali ditanya. Ibunya menanamkan kejujuran dengan cerita itu. Namun, persoalannya bukan ‘sekali kau menipu, orang tak akan memercayaimu lagi’, seperti kata ibunya, tapi ‘sekali orang tahu kau menipu, orang tak akan memercayaimu lagi’. Ia yakin bocah itu akan selamat bila berhasil membuat orang lain tak tahu bahwa ia telah menipu. Penipu yang baik tak akan pernah membiarkan orang lain menyadari bahwa mereka telah tertipu! Sejak itu, setiap kali ditanya soal uang di dompet yang hilang, ia selalu berusaha agar ibunya tak pernah tahu bahwa ia telah menipunya; dan itu membuatnya senang.
Ada lagi yang terus diingat. Ia sedang bermain di halaman, ketika muncul dua orang lelaki. Ibu tampak gugup dan segera menutup pintu kamar, dimana ayahnya sedang tidur. Dari percakapan yang diam-diam didengarnya, ia tahu ayah terlilit utang. Dua lelaki itu datang menagih, dan ibu bilang suaminya sedang ke luar kota. “Datanglah dua atau tiga hari lagi,” kata ibunya. Kedua lelaki itu jengkel, memaki-maki, lalu pergi. Itu membuatnya yakin: kadang-kadang kau harus berbohong untuk menyelamatkan keadaan. Banyak orang terselamatkan hidupnya oleh kebohongan. Ia tersenyum mengingat itu semua.
Telepon genggam di meja berbunyi, tapi ia membiarkan. Bukan saat yang baik untuk menerima telepon dari siapa pun. Ia harus terlihat sibuk dan tak bisa dihubungi saat ini. Ada peristiwa bertahun lalu yang juga terus diingatnya. Ia masih muda saat itu.
Seorang perempuan datang minta sumbangan. Ia terlihat sopan, mengenakan kerudung, membuat siapa pun yang melihatnya menjadi belas kasihan. Perempuan itu menyodorkan map warna hijau kucel, dan menjelaskan bahwa ia pengurus yayasan sebuah panti asuhan. Ia sering mendengar penipuan model begini. Tapi ia tetap memberikan segepok uang, karena ia juga ingin menipu perempuan itu. “Terima kasih,” kata perempuan itu, lalu menggumamkan doa yang panjang; terlihat senang karena yakin telah berhasil menipu. Padahal, ia juga menipunya dengan memberi uang palsu. Menipu seorang penipu selalu menjadi kepuasan tersendiri. “Permisi, Pak. Semoga Bapak selalu diberi keselamatan oleh Tuhan.” Ia tersenyum mendengar ucapan perempuan itu. Menipu memang lebih meyakinkan bila membawa-bawa agama dan Tuhan. Ia ingat seorang koleganya pernah berkata, “Banyak yang menggunakan agama bukan hanya untuk menipu kita, tapi Tuhan pun mereka tipu juga.” Sebulan kemudian koleganya itu tertangkap karena korupsi pengadaan kitab suci di Departemen Agama.
Pernah pula ia tersangkut kasus seorang kolega yang didakwa menipu pengadaan beras miskin. Dengan gesit dan dengan berbagai cara ia membantah terlibat penipuan itu. Ia lolos, sementara koleganya dihukum 12 tahun karena mengakui semua yang didakwakan. Itu pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan: jangan pernah jujur saat berurusan dengan hukum.
Sejak itu ia lebih hati-hati. Martabat dan nama baik amat penting bagi penipu. Tentu saja, sering kali ia merasa lelah dengan hidupnya yang penuh tipu muslihat. Kebohongan adalah labirin. Kau bisa tersesat di dalamnya. Kebohongan demi kebohongan bisa membuatmu bingung, dan kau tak bisa keluar dari kebohongan-kebohonganmu. Tapi ia selalu meyakini, tidak semua kebohongan itu jahat. Ia tahu, banyak hal baik di dunia ini dimulai dari kebohongan.
Inilah kisah yang ia suka. Pasukan iblis yang bengis mengepung Kota Urzru. Kota itu dikenal sebagai benteng terakhir orang-orang beriman. Perang yang buas berlangsung begitu panjang, sampai kemudian kota itu jatuh. Malam pertama ketika kota orang-orang beriman itu ditaklukkan, seluruh yang masih hidup dikumpulkan. Pasukan iblis menginterogasi mereka satu per satu, “Apakah kamu percaya Tuhan?” Siapa yang tetap berkeras percaya, langsung disiksa dengan cara yang paling mengerikan. Belum lagi matahari terbit, mayat sudah menggunung, lebih tinggi dari menara rumah ibadah di kota itu. Yang terakhir masih hidup adalah seorang lelaki yang dikenal paling taat ibadahnya. Ia gemetar menyaksikan mayat bergelimpangan, bau amis darah yang memualkan. Ia merasa harus menyelamatkan diri. Ia percaya pada Tuhan. Tapi ia memilih berbohong ketika pasukan iblis itu bertanya padanya.
“Apakah kamu percaya Tuhan?”
“Tidak. Saya tak percaya Tuhan.”
Dan pasukan iblis membiarkannya hidup. Meninggalkannya sendirian di kota itu. Bertahun-tahun kemudian Kota Urzru bagai bangkit dari kubur. Orang yang telah menipu iblis itu berhasil membangun kembali kota. Ia kemudian dikenal sebagai orang paling dermawan. Ia menyantuni semua orang miskin yang datang kepadanya. Tak ada satu pun anak telantar di kota itu. Orang itu berhasil membuat Kota Urzru menjadi kota termakmur pada zamannya. Andai orang tersebut tak menipu iblis-iblis itu, Kota Urzru pasti tak akan pernah selamat.
Kisah itu selalu menghiburnya bila ia diusik perasaan bersalah. Bahkan seorang penipu pun membutuhkan hal-hal yang bisa menenteramkannya. Ia yakin, persoalannya bukan berbohong atau tidak berbohong, tapi untuk apa kamu berbohong. Ia tersenyum, memandangi cermin di kamarnya yang sejuk dengan perabot-perabot mahal; guci-guci antik abad XI dan beberapa arca kuno yang ia beli dari seorang penyelundup, koleksi lukisan masterpiece dari para pelukis ternama. Ia tahu itu lukisan palsu. Tapi apa yang tidak palsu di ruangan ini? Di cermin ia melihat wajah seorang yang capek, tapi selalu ingin terlihat necis.
Tiba-tiba ia tak hanya melihat wajahnya. Seperti gerombolan hantu, puluhan wajah muncul dalam cermin. Wajah anak-istrinya yang tampak bangga dengan kesuksesan hidupnya, meski selama ini ia selalu menipu mereka. Lalu muncul wajah guru-gurunya semasa sekolah, yang berkali-kali ia tipu setiap ujian. Wajah orangtuanya. Lalu puluhan wajah yang ia kenal dan tak ia kenal, menatapnya dengan sinis, mencibir, ada yang pucat dan menatapnya dengan pandangan kosong. Wajah-wajah itu tak bertubuh. Seolah topeng melayang-layang dan berdesakan mengepung. Ia melihat wajahnya yang pucat di tengah kepungan wajah-wajah itu. Ia menggigil. Ia ingin menghancurkan cermin itu. Tapi mendadak di cermin itu muncul wajah seorang perempuan yang membuatnya berdebar. Ia mengenal perempuan itu lima tahun lalu, ketika mengunjungi sebuah kota kecil. Lebih muda 15 tahun dari istrinya. Kini ia mesti lebih hati-hati bila ingin bertemu perempuan itu. Tiba-tiba ia merasa takut dan cemas. Saat itulah pintu diketuk. Ia segera berusaha menenangkan diri begitu melihat istrinya masuk.
“Lho kok belum siap? Sudah ditunggu lho….”
Ia memandangi istrinya yang sudah terlihat begitu rapi.
“Sebentar,” jawabnya pelan.
“Jangan lama-lama berdandannya!”
Ketika istrinya menutup pintu, ia lega. Seperti perasaan seorang anak kepergok saat hendak berbuat salah. Ia tak boleh mengecewakan istrinya. Selama ini ia percaya, setiap penipu memiliki hari keberuntungan. Dan ini adalah hari keberuntungan bagi seorang penipu seperti dirinya. Tak usah terlalu gugup. Saat ini ia merasa berada di puncak kariernya sebagai penipu. Kesempatan baik tak pernah datang dua kali bagi seorang penipu. Sukses menipu satu orang itu biasa. Berhasil menipu jutaan orang tentulah prestasi luar biasa. Di luar sana, para penipu lain pasti iri kepadanya.
Ia menarik napas dalam-dalam. Ia segera mengenakan jas dan kembali mematut diri di depan cermin. Gagah. Penipu yang baik tahu kapan saat terbaik untuk menipu, batinnya, seakan ingin menipu bayangan dirinya di cermin. Ini hari yang tak akan ia lupakan. Mungkin kelak ia akan menulis memoar bagaimana ia sampai di puncak karier seperti ini. Tentu ia akan menulis hal-hal sebaliknya di memoar itu. Dengan perasaan mantap ia melangkah keluar kamar.
Puluhan orang yang sudah menunggu seketika bertepuk tangan melihat kemunculannya. Orang-orang langsung menjabat tangannya.
“Selamat, Pak Presiden….” (*)
Jakarta, 2014
Posting Komentar untuk "Hari Baik untuk Penipu | Cerpen Agus Noor"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar