Oleh: Tawakal M. Iqbal
Ciasahan, hanya di Ciasahan orang tua dan anak-anak mudah sekali memercayai kisah, baik sejarah ataupun bualan seorang Kakek kepada cucu-cucunya. Kisah bagaikan sesuatu yang turun dari langit, semisal kitab,yang sakral dalam dada setiap masyarakat. Tetapi, kisah ini, bagi anak kecil, adalah kisah paling fenomenal di antara yang lainnya.
Ini menyangkut banyak hal terutama misteri dan materi. Bagaimanapun kampungannya kampungku tetap saja materi selalu dijadikan prioritas, mengapa anak-anak mau menurut pada orang tuanya untuk bersekolah. Padahal jika dipikirkan, terlalu banyak waktu kami yang terbuang hanya untuk diam di kelas, mendengarkan guru berceramah misalnya. Ada banyak hal di kampungku yang sebetulnya sayang sekali dilewatkan, daripada belajar di sekolah tentunya. Sayangnya, anak-anak di kampungku tidak ada yang berani menolak apalagi melanggar perintah orang tua.
Di belakang rumahku menjulang gunung Tanjoleat. Cukup tinggi. Teman-teman seusiaku, dahulu selalu berangan-angan agar dapat pergi ke puncak untuk dapat menyentuh langit. Yang lainnya berharap bisa bertemu bintang film Bollywood, Amir Kahn atau Amitha Bachan, di balik gunung itu. Mereka kira ada sebuah daratan bernama India di sana. Penuh wanita cantik dengan sindur di antara kedua alis matanya. Aku baru tahu setelah dewasa, kalau India itu tidak pernah ada di balik gunung Tanjoleat. India berada di Asia bagian Barat dekat dengan Pakistan dan Bangladesh.
Tanjoleat, adalah gunung yang dipenuhi bebatuan. Sumber sejarah yang tak pernah terungkap, tentang banyak hal. Persembunyian tentara lokal ketika melawan penjajah, kuburan putri, batu yang mirip perahunya Nuh, sepasang telapak kaki, batu pistol, dan batu ular. Sudah banyak peneliti yang mencoba peruntungannya untuk mengungkap sejarah apa saja yang terpendam di sana. Tapi seringkali tak berhasil. Kecurigaanku selalu timbul ketika para peneliti datang ke kampungku dengan alasan hendak melakukan riset. Aku selalu tidak percaya. Pasti ada sesuatu yang berharga sedang mereka incar, entah apa.
Beribu monyet hidup di sana. Babi hutan, kelelawar, dan harimau kumbang yang mendiami goa-goa di sela-sela tumpukan batu. Konon, kuda emas juga hidup di gunung itu dan setiap Kamis malam, tepat pukul 12.00, kuda itu selalu terbang menuju Tenggara, membentangkan sayap, mengibas-ibaskan ekornya. Kilau keemasan memancar ke mana-mana. Kalau kau seorang penyuka bintang dan seringkali takjub ketika melihat bintang jatuh atau himpunan kunang-kunang terbang ke arahmu, kata kakek, kuda emas lebih indah dari itu. Terdengar seperti dongeng memang. Tetapi, ini terjadi di kampung kami, Ciasahan. Kakek sendiri yang menceritakannya padaku. Suatu sore, ketika hujan deras dan angin pegunungan terasa menusuk.
Jarang sekali ada orang yang melihat langsung kejadian itu. Aku tahu itu lewat cerita-cerita dari teman dan dari Kakekku sendiri. Katanya, hanya orang-orang yang beriman dan memiliki hati cemerlanglah yang dapat melihat kuda itu. Aku pikir hatiku masih cemerlang, sholat, dan hapalan ngajiku tidak ada masalah. Tapi sampai sekarangpun aku belum juga melihat kuda itu terbang di atas rumah. Ini sungguh aneh.
Anak-anak di kampungku, seringkali memimpikan untuk, setidaknya pernah sekali saja melihat kuda itu terbang di atas rumah-rumah dan berharap ia mengeluarkan sesuatu dari pantatnya. Tentu saja orang yang tidak tahu mengenai hal ini menganggap harapan itu adalah harapan paling bodoh. Tapi tidak bagi kami. Setiap seusai sholat, kami selalu berdoa meminta hal itu terjadi.
Aku jadi teringat kisah dahulu. Kau mungkin tidak akan percaya, ketika zaman sekolah dasar dulu, kelas mata pelajaran Bahasa Indonesia tepatnya, saat ibu guru bertanya perihal cita-cita dewasa nanti, teman-teman sekelas mengatakan, ”menjadi penggembala kuda emas”. Dan kau tahu, semua murid mengatakan kalimat yang sama. Ibu guru geram mendengarnya.
”Kalian tidak mengerti apa artinya cita-cita!”
Kami hanya menunduk takut. Baginya cita-cita kami tak memiliki arti. Cita-cita kami hanyalah khayalan anak-anak yang terbuai oleh dongeng-dongeng murahan. Ibu guru tidak mengerti tentang apa yang menjadi keinginan kami. Bagi anak seusia kami itu adalah hal yang luar biasa. Tapi sayangnya hingga kini tak ada satupun yang berhasil mengejar itu.
Memiliki kuda emas merupakan hal paling menyenangkan. Bayangkan saja, kau tidak perlu bangun pagi untuk bekerja. Lembur sampai pagi untuk menghasilkan uang tambahan. Tidak perlu melakukan hal-hal konyol semacam menunggu uang bulanan atau meminjam uang ke tetangga untuk risiko sehari-hari. Kau hanya tinggal beribadah, berdoa, dan menunggu kotoran yang keluar dari pantat kuda. Kotoran itu dalam sekejap mata akan menjadi emas murni 14 karat, berbentuk oval. Harga emas itu cukup untuk melakukan perjalanan mengelilingi dunia setiap Minggunya. Mentraktir seluruh warga kampung selama sebulan penuh. Coba bayangkan, itu luar biasa bukan?
Cita-cita kami sempat sirna ketika beberapa teman bercerita, ”kuda emas itu tidak makan rumput, tapi makan perempuan.” Teman yang satunya bilang, ”kuda itu bukan makan perempuan, tapi makan anak kecil yang pipis di luar rumah”.
Yang lainnya bilang ”makan batu”.
”Pohon mahoni.”
”Ikan mas!”
”Karang.”
”Durian.”
”Kalian tahu dari siapa?"
Semuanya menjawab, ”Kakek!”
”Memang Kakekmu tahu dari mana?”.
Mereka menjawab, ”dari Kakeknya Kakek”.
Aku yang masih bodoh, kadangkala langsung percaya terhadap apa yang teman-teman katakan.
Suatu malam ketika aku terbangun karena merasa kebelet, dan itu sudah tidak dapat ditahan lagi. Aku turun dari ranjang dan segera keluar rumah. Di langit kulihat ada serbuk-serbuk berkilauan dan aku yakin itu bukan kunang-kunang. Suara rengeh terdengar dari jauh. Aku teringat perkataan teman bahwa kuda emas adalah pemakan anak kecil. Aku langsung lari ke dalam rumah dan langsung mengunci pintu. Malam itu terasa mencekam sebelum akhirnya aku memilih pipis di celana. Belum ada kamar mandi di rumahku waktu itu. Untuk pipis saja, aku mesti keluar ke pancuran belakang rumah.
Ibuku memarahiku karena pipis di celana. Kakek datang padaku dan menanyakan alasan mengapa aku ngompol. Aku bersikeras mengatakan kalau aku tidak ngompol. Aku hanya pipis. Tepatnya memilih pipis.
Aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Kakek tentang serbuk emas dan suara rengehan kuda dari Timur sana. Ibu diam. Senyum semringah muncul dari wajah Kakek.
”Akhirnya kuda itu memilih kamu, Nak.”
”Maksudnya?”
”Ya, ia akan sering terbang di atas rumah kita untuk menjaga kita?”
”Aku tidak mengerti, Kek.”
”Nanti kau akan mengerti.”
Konon kuda itu terbang menuju tempat-tempat yang tak pernah diketahui.
”Kuda emas itu menuju Gunung Pongkor untuk menemui kekasihnya,” kata Kakek.
Percintaan antar kedua kuda itu seringkali ditandai dengan purnama yang sempurna. Lalu cahaya yang dipancarkan bulan akan memantul dan mengubah warna putih menjadi kilau keemasan.
”Itu yang membuat Gunung Pongkor kaya akan emasnya.”
”Aku tidak mengerti.”
”Emas yang dijadikan orang-orang sebagai perhiasan, itu adalah telur kuda emas.”
”Hah?”
”Kuda itu tidak beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk membuat telur-telur itu menetas,” ungkap Kakek.
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas sebanyak itu. Dan di tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor, kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek bilang, kuda itu telah terbang dari Papua ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini seringkali sepi.
”Bagaimanapun, kuda emas juga adalah seekor hewan. Sama seperti makhluk hidup lainnya. Dia ingin melihat anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis,” ucap Kakek.
Dan soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah lama hilang di benakku. Aku kini lebih tertarik menentang pertambangan emas ketimbang memburu emasnya.
”Itu yang membuat Gunung Pongkor kaya akan emasnya.”
”Aku tidak mengerti.”
”Emas yang dijadikan orang-orang sebagai perhiasan, itu adalah telur kuda emas.”
”Hah?”
”Kuda itu tidak beranak, tetapi bertelur. Butuh berjuta-juta tahun untuk membuat telur-telur itu menetas,” ungkap Kakek.
Sungguh tragis ketika tahu, membutuhkan waktu berjuta-juta tahun untuk menelurkan emas sebanyak itu. Dan di tempat kuda emas bertelur telah dibangun perusahaan tambang besar. Kau tahu, sejak kejadian aku melihat kuda itu terbang dari Tanjoleat menuju Pongkor, kuda itu tak pernah terlihat lagi. Kakek bilang, kuda itu telah terbang dari Papua ke Maluku, lalu ke Kalimantan, Sumatera sebelum akhirnya ke Tanjoleat, kampung kami. Aku khawatir kuda itu kini telah terbang menuju negara lain untuk mencari sarang baru tempatnya bertelur. Sebab di tempat kami, perburuan emas selalu panas. Lagipula, pohon-pohon di Tanjoleat sekarang telah habis. Banyak kedapatan hewan-hewan liar masuk kampung kami. Sekawanan monyet jarang lagi terlihat memanjat-manjat batuan cadas di Tanjoleat. Kini seringkali sepi.
”Bagaimanapun, kuda emas juga adalah seekor hewan. Sama seperti makhluk hidup lainnya. Dia ingin melihat anak-anaknya tumbuh besar sebelum waktunya di bumi habis,” ucap Kakek.
Dan soal menjadi penggembala kuda emas, hal itu sudah lama hilang di benakku. Aku kini lebih tertarik menentang pertambangan emas ketimbang memburu emasnya.
Posting Komentar untuk "Kuda Emas | Cerpen Tawakal M. Iqbal"
Silahkan Anda berkomentar dengan sopan. Saya harap Anda tidak memberikan komentar Spam. Jika komentar Anda mengandung Spam dengan berat hati akan saya hapus.
Posting Komentar